Oleh Moh. Husen*
Memasuki awal bulan Ramadan, seorang penulis catatan kultural tiba-tiba disodori sebuah ide oleh pemikirannya sendiri, bahwa kali ini sebaiknya ia menulis dengan judul Menahan Kontroversial di Ruang Publik. Mungkin karena bulan puasa, sehingga naluri pemikirannya mengajak si penulis untuk menahan diri.
Namun, ia tak sepakat dengan judul verbal semacam itu. Menurutnya, mending menulis dengan judul Cangkem Embongan, tapi isinya adalah ajakan agar pembaca memahami sebuah rIsiko jika dirinya dengan gampang dan seenaknya membicarakan hal-hal yang kontroversial, sensitif dan berbahaya di jalanan atau di ruang terbuka.
Persoalan kontroversial yang paling cepat melejit adalah hal-hal yang berkaitan dengan syariat agama. Biar pun pleno rekapitulasi penghitungan suara pemilu 2024 disinyalir rawan pencurian perolehan suara antarcaleg, asalkan tidak ada yang berfatwa mengubah shalat lima waktu menjadi satu waktu, maka masyarakat tidak akan ramai.
Kalau kita lagi kaya, berkuasa serta sehat wal afiat, biasanya punya kecenderungan lebih sabar, tidak aneh-aneh, apalagi kontroversi. Dikritik keras kayak apa pun biasanya kita masih bisa landai, tidak peduli, tidak marah, juga tak perlu ngegas. Bahkan, kita bisa terlena dalam posisi “tidak tahu bahwa kita tidak tahu”. Masih lumayan kalau “kita tahu bahwa kita tidak tahu”.
Memang kita tidak bisa bicara banyak kepada orang yang hanya tahu huruf A, lingkungan dan teman sehari-harinya hanya A, segenap wacana dan segala referensi yang ia miliki hanya A, ilmunya cuma A, grup WhatsApp yang ia ikuti juga hanya gelombang A, bahkan tidak punya guru, kecuali hanya pada tataran A.
Sehingga tidak mengherankan sama sekali kalau kita mengemukakan pemikiran B, padahal belum C dan D apalagi E, langsung dengan mantap tanpa malu-malu kepada kanan-kiri, segera nge-gas ke kita: “Kamu itu salah. Yang benar itu A !!!”
Maka, puasa mengajak kita untuk “menanggalkan A” hingga batas waktu tertentu supaya kita berpeluang merasakan dan menemukan, bahwa dalam hidup ini ada B, C, D, dan seterusnya. Kita “diam” dan “nyepi” sebentar agar bisa mendengar dan mengetahui, bahwa ternyata ada suara B dan C yang begitu nyata dan terang benderang adanya.
Laparnya kita dalam berpuasa memberikan peluang agar lebih peka dan mendengar. Sedangkan kenyang berpotensi membuat kita tertidur alias tidak tahu mana salah dan mana benar, mana yang sebaiknya kita dukung menjadi pemimpin, dan mana yang omongannya beserta janji-janjinya harus kita buang di tong sampah kehidupan.
Semoga tulisan ini tidak kontroversial karena judul yang dipilih adalah Pintu Lapar Puasa. Selamat berpuasa. Jangan terlalu tegang. Santai saja. Dan, jangan lupa guyon. (*)
Banyuwangi, 12 Maret 2024
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.







