Oleh: Moh. Husen*
Ingin rasanya saya menulis puisi tentang Ibu di Hari Ibu. Seumpama saya bisa menulis puisi, saya tidak berani mengatakan bahwa puisi saya baik, sedangkan puisi karya orang lain tidak baik.
Orang kok begitu yakin bahwa karyanya baik, pemikirannya baik, cara bergaulnya baik, cara memimpinnya baik. Kenapa jadi orang kok nggak bisa biasa-biasa saja.
Benak saya ngomong seperti itu bukan karena atas dasar saya ini orang baik atau orang yang rendah hati. Melainkan karena saya selalu punya naluri untuk jadi orang yang penakut.
Orang berani sangat jelas sombong kepada orang lain, sementara saya baru berani nekat bertengkar dengan orang lain kalau pas tidak punya uang.
Di tengah kegagalan saya ingin menulis puisi tentang Ibu karena memang tidak bisa menulis puisi sejak dulu, tiba-tiba ada ide untuk menulis tentang guru.
Pasalnya, di hari Ibu ini saya ndilalah-nya sempat sedikit bersinggungan dengan seorang guru dan kepala sekolah di tingkat SMP.
Namun sudah beres cukup melalui kecanggihan teknologi komunikasi yang mampu mempermudah, cepat, tanpa harus bertemu.
Malam hari menjelang Hari Ibu, seorang guru SMP saya chat via WhatsApp: “apa benar ini nomor handphone-nya kepala sekolah?” Sembari saya tunjukkan nomornya.
Dia jawab begini: “Pak, jika ada kepentingan, monggo langsung ke sekolah.”
Saya tertawa sambil misuh dan melawak dalam hati: “Kapokmu kapan, Sen?”
Ternyata nasib saya apes dan jauh lebih buruk daripada kurir paket Toko Online yang jika bertanya meskipun belum kenal, tapi dijawab detail tanpa dibelokkan dan tidak dianggap seolah baru faham kalau sudah bertatap muka.
Saat saya mengusulkan kepada kepala sekolah agar kembali mewajibkan wali kelas mengadakan home visit, pesan saya itu lama sekali tidak dibalas lebih dari 24 jam. Tidak kayak kurir paket Toko Online. Begitu saya desak, baru dijawab, itu pun saya dianggap: “tidak elok lewat WA dalam komunikasi apalagi belum kenal.”
Waduh, saya apes lagi. Padahal para wali kelas kepala sekolah itu memasukkan kontak HP para wali murid tanpa menunggu kenal dan bertatapan wajah terlebih dahulu, dan berkomunikasi dengan lancar. Dan tidak dianggap kurang elok oleh wali murid.
Akhirnya, sore pada Hari Ibu itu, saya to the point menasehati kepala sekolah. “Intinya: jangan sampai ada kesan yang menduga bahwa sekolah itu bisanya cuma menagih sumbangan tapi tidak bisa membalas WA. Padahal balas WA itu gratis dan mudah,” begitu pesan chat WA saya meluncur.
Saat menjelang Maghrib, saya jadi bengong dan bergumam: ini Hari Ibu atau Hari Guru ya, kok saya jadi serius seperti merasa Hari Guru. Dan kenapa pula awak ini menasehati kepala sekolah yang sudah senior, yang sudah punya anak dan cucu, yang mungkin jangan-jangan sudah tidak bisa salah karena sudah senior.
Duh, Gusti. Berikanlah petunjuk-Mu. (*)
Banyuwangi, 22 Desember 2024
*Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.