Oleh Moh. Husen*
Beberapa minggu belakangan ini yang lagi rame di mana-mana, ya di pasar, di kantor, di warung kopi, di rumah tangga, dan yang paling rame di grup WhatsApp adalah persoalan zonasi, salah satu mekanisme atau jalur penerimaan peserta didik baru. Mereka kasak-kusuk membicarakannya bagai seminar ilmiah di kampus.
Kalau kita browsing di internet, persoalan penerimaan peserta didik baru (PPDB) melalui jalur zonasi senantiasa muncul dari tahun ke tahun. Dari internet kita bisa melihat SMP dan SMA mana saja yang ketahuan bermain curang dalam sistem zonasi ini.
Yang paling miris adalah tatkala di suatu siang seorang anak mengabari orang tuanya, bahwa beberapa teman yang dia kenal tiba-tiba berada di urutan sepuluh besar zonasi, padahal dia tahu rumahnya berjauhan dari sekolah yang dituju.
Kita semua tahu anak-anak sejak sekolah di tingkat dasar sudah bisa mengoperasikan handphone, bahkan sudah pegang handphone sendiri. Apalagi siswa baru SMP atau SMA. Mereka fasih sekali kalau sekadar memantau perkembangan zonasi.
“Waduh, iya ya…” Si ortu mencoba kalem saja menanggapi protes anaknya. Ia mencoba menenangkan anaknya.
“Tapi kamu pasti masuk nih. Meskipun kamu tergeser hingga nomor urut 50, kamu tetap masuk karena rumah kita hanya sekian meter dari sekolah,” sambung si ortu mencoba meredam anaknya.
Kemudian diliriknya anaknya main game di handphone-nya. Si ortu mengamati gelagat anaknya yang setelah protes, kemudian cuek kembali dengan persoalan yang ada. Hingga akhir jam penutupan pendaftaran jalur zonasi, anaknya diam saja dan bersyukur dia masuk sekolah negeri idamannya.
Sebenarnya saat anaknya protes itu, si ortu maunya protes juga, menelfon panitia PPDB sekolah idaman anaknya, tapi dia urungkan. Dia sekeluarga dari dulu memang bukan tipe orang suka protes. Mungkin sudah gawan bayi, atau ada sistem yang secara samar dan halus mematikan hak berbicara.
Iseng-iseng silakan bertanya kepada artificial intelligence alias kecerdasan buatan atau yang populer disebut AI mengenai faktor apa saja yang membuat orang takut berbicara atau protes. Sedangkan orang lain berani terang-terangan menindas, mencuri, dan menipu.
“Sekolah itu tempatnya wong pinter, bukan tempatnya wong goblok. Mestinya setiap satu jam, panitia zonasi itu ngecek, apakah titik yang dipasang oleh pendaftar online itu menipu atau tidak, sesuai alamat KK yang di-upload atau tidak,” Si ortu tadi nggerundel dalam hati.
Sayangnya dia penakut, tak berani protes. Dan semua anak yang tahu kecurangan zonasi semacam ini, belum tentu akan protes. Kalau boleh berkelakar: “Tidak semua anak berbakat untuk protes, karena tidak semua anak kelak jadi DPR yang berani memprotes kebijakan pemerintah, hehehe…”
Terkait rame-rame persoalan zonasi ini, seorang kawan di grup WhatsApp membagikan video wawancara Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar mengenai polemik zonasi, pada Sabtu, 8 Juli 2023. Dirinya juga mengeluhkan sejumlah pihak yang memalsukan alamat demi bisa masuk sekolah negeri.
Niat baiknya zonasi itu, menurut Muhaimin, memberikan kesempatan kepada semua kalangan masyarakat untuk bisa mengakses pendidikan yang bermutu. Tapi karena motivasi untuk berebut lembaga pendidikan yang bermutu ini tinggi, orang berebut memalsukan alamat di zona-zona pendidikan yang berkualitas itu.
“Karena itu, solusinya tidak ada cara lain. Mari pemerintah mempercepat kualitas pendidikan yang merata di mana-mana, tidak di satu zona tertentu, tetapi semua harus naik kelas pendidikan kita,” kata Muhaimin dalam video wawancara dengan beberapa media yang beredar di grup WhatsApp.
Semoga sistem zonasi dalam dunia pendidikan negeri, makin lama makin membaik. {*}
Banyuwangi, 16 Juli 2023
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.







