SURABAYA (RadarJatim.id): Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin, M.A., menyarankan agar setiap lembaga pendidikan mengembangkan “simaya” sebagai fokus orientasi. Apa itu simaya? Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005-2015) itu memaparkannya dalam acara SAIM’S Tribute to Teachers di Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) Surabaya, Jl. Medokan Semampir Indah 99, Senin (6/10) sore.
“Simaya atau simahu itu berasal dari bahasa Arab atau bahasa Persia. Kira-kira bahasa Indonesianya itu citra diri, atau self-esteem dalam bahasa Inggris. Ada dalam Al-Qur’an, simahum fi wujuhihim min atsaris sujud,” katanya di hadapan para pendidik.
Dijelaskan, citra diri perlu dirumuskan oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan sebagai acuan pendidikannya. Kemudian citra diri ini harus benar-benar disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah, kepada guru, murid, maupun pihak terkait. Harus dijelaskan sejak awal masa pengenalan studi. Harus dicamkan dan dipahami karena merupakan panduan.
Prof Din tidak sekadar berwacana, tetapi telah menerapkan di pesantren yang dikelolanya, Pesantren Modern Internasional, Dea Malela, Kec. Lenangguar, Kab.Sumbawa, NTB. Dalam pesantren tersebut terdapat satuan pendidikan SMP dan SMA dengan menggunakan bahasa pengantar Inggris dan Arab.
Menurutnya, orientasi citra diri untuk pengembangan pendidikan mengarah kepada tiga hal dengan urut-urutan sebagai berikut: membentuk manusia beriman, berakhlak mulia, dan berilmu. Awalnya dirinya meletakkan ilmu di urutan kedua. Tapi kemudian disadarkan bahwa al-adab qobla ilmi. Adab itu sebelum ilmu. Maka ilmu diposisikan di bawah akhlak.
“Dalam pendidikan yang terpenting adalah menanamkan keimanan yang kuat, bukan sekedar menghafal rukun-rukun iman, tapi bagaimana penghayatan akan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, terutama kepada akhirat,” kata dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan beberapa kampus lainnya itu.
Baginya, tiga aspek itu (iman, akhlak, ilmu) menjadi dasar yang seharusnya menjadi acuan utama lembaga pendidikan Islam. Selanjutnya dapat ditambah lagi dengan beberapa aspek lain sesuai dengan visi misi lembaga yang bersangkutan.
Di Pondok Dea Malela, Prof Din mengaku menambahkan empat poin lagi, yang diyakini dapat memberi kontribusi yang berarti. “Empat poin yang saya pilih: mandiri, kreatif, inovatif, dan kompetitif, dengan sejumlah alasan. Ya tentu, berdasarkan pengamatan. Hasil pendidikan nasional kita dan oleh lembaga-lembaga Islam, umumnya kurang menghasilkan output yang mandiri,” katanya.
Baginya, kemandirian itu penting sekali sebab perkembangan lanjutan dari seorang anak adalah oleh dirinya sendiri. Para pendidik hanya membimbing pelajar dalam batas waktu tertentu. Guru TK membimbing dua tahun, guru SD 6 tahun, SMP 3 tahun, dan guru SMA tiga tahun. Setelah itu semua berpulang kepada kemandirian alumni untuk mengembangkan dirinya sendiri.
Prof Din menyayangkan pendidikan masyarakat di Indonesia yang kurang berorientasi kepada pengembangan sikap mandiri . “Saya pernah di Amerika, kuliah S2 dan S3, hampir lima tahun di sana. Anak-anak balita di sana tidak pernah digendong ibunya, dibiasakan berjalan sendiri. Ya kebetulan trotoarnya bagus dan aman. Di apartemen atau di supermarket sering saya perhatikan. Kalau anaknya terjatuh, nangis, ibu Amerika itu gak pernah langsung menggendong. Get up! Disuruh bangun sendiri, bangun dia, jalan lagi. Coba kalau di Indonesia?” katanya.
Berikutnya yang perlu dikembangkan adalah kreativitas, daya cipta. Bangsa dan umat ini tidak akan maju kalau generasi penerusnya tidak kreatif. Mereka juga harus dapat melakukan pembaruan atau inovatif, serta mampu berkompetisi untuk menggapai sukses.
Sementara itu Ketua Badan Pembina Yayasan Insan Mulia, Dr. Moh. Sulthon Amien, M.M. yang tampil sebagai narasumber, menambahkan bahwa alhamdulillah sekolah SAIM sudah merumuskan simaya, sebagaimana yang disarankan Prof. Din Syamsuddin. “Di SAIM kami menekankan aspek mandiri, ramah, inovatif, dan berani,” katanya. (rio)