(Selamat Jalan, Presiden Malioboro)
Oleh DEWI MUSDALIFAH
Kabar duka menyelimuti dunia seni, khususnya, sastra Indonesia. Salah seorang tokohnya, Umbu Landu Paranggi, harus menghadap Sang Khaliq. Ia meninggal dunia, di Rumah Sakit Bali Mandara, Selasa (6/4/2021), pukul 03.55 WITA
Lahir di Sumba Timur 10 Agustus 1943, Umbu yang dijuluki sebagai Presiden Malioboro itu merupakan penyair sekaligus guru bagi sejumlah penyair (muda) seperti Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Eko Tunas, Linus Suryadi A.G., juga Iman Budhi Santoso. Ia pernah dipercaya mengasuh rubrik Puisi dan Sastra di Pelopor Yogya, dan rubrik Apresiasi di Bali Post.
Kesaksian Cak Nun pula, almarhum merupakan orang yang tekun mendalami proses kejiwaan murid-muridnya. Ia dinilai cukup jeli dan teliti melakukan nahi munkar (mencegah kemungkaran, Red.), ketika ada di antara anak-anak asuhnya mengalami “kesesatan jiwa”, terutama kesombongan mental dan kekaburan proses rohani.
“Sebab Umbu menemani murid-muridnya itu di tengah peradaban manusia modern yang penuh kesesatan jiwa, yang sok, keminter dan kemlinthi,” ujar Cak Nun.
Memang, tidak semua orang terkenal layak dikenang. Untuk layak dikenang sisi kemanusiaanya haruslah bak juara. Dan, Umbu Landu Paranggi adalah salah satu contoh, bahwa karya fenomenal bukanlah segalanya.
Umbu melakukan kerja-kerja kebudayaan, “meniadakan diri” untuk menumbuhkan potensi manusia lain. Ia semacam pupuk yang menyempurnakan kerja akar, menyuplai gizi kepada dahan, ranting, hingga rimbun daun.
Tahun 70-an, Umbu membentuk Persada Studi Club di daerah Malioboro, Yogyakarta, tempat para penyair, sastrawan, dan seniman besar menjalani proses kreatifnya.
Sejak saat itu Umbu memiliki cara tersendiri untuk menggairahkan iklim sastra, khususnya puisi, hingga melahirkan sejumlah penyair beken di negeri ini.
Ia pu pernah menggawangi media puisi dan membuat kegiatan yang mendorong keberlangsungan regenerasi sastrawan pecinta puisi, hingga akhir hayatnya di Bali.
Baginya, menjadi terkenal tidaklah penting. Bahkan, ia pernah mengambil naskah puisinya sendiri supaya tidak diterbitkan full di majalah Horison. Padahal, saat itu majalah sastra Horison menjadi barometer sastra Indonesia.
Itulah laku empu yang sangat memahami energi sastra. Di matanya, sastra selayak aliran sebuah sungai, usapan dari udara, dan laut pada gelombangnya. Sastra merupakan amsal atau perumpaan, simbol dari pemaknaan menjadi manusia.
Sebab, sastra berbicara tentang pengalaman tubuh, batin dan rasa. Sebagaimana agama mengajarkan untuk bersaksi terhadap segala ucapan dan tindakan. Sastra juga sebuah proses penjernian pada keutamaan peran manusia. Dan, hal ini yang paling indah dari informasi yang disampaikan oleh Tuhan.
Seorang sastrawan tidak bisa berhenti hanya pada lahirnya karya. Sebab, karya hanyalah sarana untuk mengenal sastra yang sesungguhnya. Begitupun puisi yang merupakan bagian dari sastra, ada di dalam dan yang keluar dari diri. Ia mewujud utuh.
Dan, Umbu Landu Paranggi adalah puisi itu sendiri. (*)
*) Penulis adalah pegiat literasi (sastra) dan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik.







