SURABAYA (RadarJatim.id) – Ungkapan Menteri Sosial yang baru dilantik Tri Rismaharini yang akan pulang pergi Jakarta-Surabaya untuk tetap menyelesaikan tanggung jawab sebagai Walikota Surabaya berujung polemik. Rangkap jabatan yang dilakukan Risma dinilai menabrak ketentuan Undang-undang (UU) Pemerintahan Daerah.
Sebelumnya, Risma mengaku akan rangkap jabatan dalam dua bulan ke depan, selain kini menjadi Menteri Sosial, ia pun masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya hingga Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih dilantik pada 17 Februari 2021.
Risma mengaku telah mendapatkan izin dari Presiden Joko Widodo untuk mengemban dua jabatan sekaligus. Dirinya mengaku akan pulang pergi Jakarta dan Surabaya selama merangkap jabatan dan melakukan beberapa peresmian proyek yang akan digelar di pengujung jabatan dirinya.
Dr. Hufron Pakar Administrasi Negara menanggapi, hal ini sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan dua landasan hukum perundangan yang berlaku. Yakni, UU Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 76 ayat 1 dan UU Nomor 38 Tahun 2008 pasal 23 tentang Kementerian Negara.
“Di situ diatur secara jelas bahwa kepala daerah atau wakil kepala daerah dilarang merangkap jabatan sebagai jabatan negara lainnya, yg dimaksud jabatan lainnya di eksekutif, jabatan legislatif maupun yudikatif. Begitu halnya di Kementerian Negara,” urai Hufron.
Dia menegaskan, rangkap jabatan bila dilihat secara perspektif yuridis sudah sangat jelas diatur secara tegas lewat UU Pemerintahan daerah maupun UU Kementerian negara tadi.
“Secara eksplisit atau ekspresi verbis sudah jelas, sehingga nggak ada diskresi,” tegas dia.
Terkait ijin dari Presiden, Hufron menegaskan, presiden memiliki wewenang atau hak prerogratif mengangkat dan memberhentikan jabatan menteri.
Namun, presiden tidak memiliki wewenang dalam konteks rangkap jabatan. Pasalnya sudah ada landasan hukum perundangan berupa UU yang jelas dan disebutkan sebelumnya. Dengan demikian tidak bisa wewenang diskresi.
“Wewenang diskresi (presiden) itu bisa diambil kalau, pertama, ketentuan dalam perundangan itu tidak lengkap dijabarkan, kedua, peraturan perundangannya multitafsir. Tapi dalam dua UU tadi pasal larangan ini jelas secara eksplisit, maka tidak ada diskresi,” urai Hufron.
Lantas, bagaimana bila aturan ini diabaikan? Konsekuensinya, lanjut Hufron, Risma akan segera diberhentikan dari jabatan kepala daerah. Hal ini tertulis jelas di UU Pemerintahan Daerah pasal 78 ayat 2E, implikasinya yang bersangkutan (merangkap jabatan) diberhentikan dari jabatan kepala daerah.
“Pemberhentian pun ada mekanismenya, yakni Harus diusulkan oleh DPRD Surabaya lewat paripurna dihadiri sedikitnya 3/4, dan diputus 2/3 dewan yang hadir. Kemudian diajukan ke Mahkamah Agung. MA akan memeriksa dan memutus dan mengadili sesuai bukti yang ada, berupa SK Jabatan. Nah, dari situ DPRD menyerahkan hasil keputusan kepada Kemendagri untuk mengeluarkan surat pemberhentian. Dan kemendagri wajib memberhentikan,
Kalau istilah hukum pmberhentian atau pemakzulan kepala daerah,” urai dia.
Hufron menambahkan, sejatinya Risma segera meletakkan jabatan Walikota karena telah menghadapi pelantikan dan mengucap sumpah jabatan di depan kitab suci. Yang mana dalam sumpah diantaranya ialah sumpah untuk mematuhi aturan perundangan dengan selurus-lurusnya.
Pakar administrasi negara ini juga memuji kapasitas Risma yang layak menyandang Jabatan Menteri Sosial menggantikan Mensos sebelumnya yang terjerat kasus korupsi Juliari Batubara.
“Saya mengapresiasi atas capaian prestasi Walikota Surabaya dua periode. Kini beliau
Diangkat menjadi mensos, saya rasa pantas beliau menjadi pengganti,” pungkas Hufron. (Phaksy/red)







