SURABAYA (RadarJatim.id) — Etika Komunikasi memperhatikan keragaman budaya dan klaster sosial. Karena itu, budaya orang Surabaya berbeda dengan budaya orang Yogyakarta. Demikian pula, berkomunikasi dengan dosen dan atasan, tentu berbeda jika dengan teman.
Demikian disampaikan Ketua STIAMAK Barunawati Surabaya, Dr Gugus Wijonarko, MM, dalam Seminar Literasi Digital dari Kementerian Kominfo di kampus Bisnis Pelabuhan dan Bisnis Logistik Tanjung Perak Surabaya, dengan tema “Cerdas, Bijak dan Beretika di Era Transformasi Digital”, Selasa (19/3/2024).
Gugus menjelaskan, literasi digital adalah kemampuan menggunakan TIK untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat dan mengomunikasikan informasi dengan kecakapan koqnitif maupun teknikal. Literasi digital memungkinkan individu untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat digital.
Sementara untuk berjejaring, katanya, perlu mempromosikan dan berkontribusi pada isu-isu sosial dan politik yang mereka pedulikan, serta memungkinkan partisipasi dalam diskusi dan pengambilan keputusan yang melibatkan teknologi.
“Literasi digital memiliki dampak signifikan terhadap pengembangan karier dan keterampilan individu. Keterampilan itu berupa kemampuan beradaptasi teknologi, mengembangkan keterampilan baru dan menghadapi tantangan dunia kerja,” ujarnya.
Ia juga menyinggung tujuan literasi digital yang disebut untuk meningkatkan kemampuan koqnitif SDM di Indonesia agar keterampilannya tidak terbatas mengoperasikan gawai/gadged. Budaya literasi digital yang tidak mengenal batasan ruang, tempat, dan waktu, menurut Gugus, akan mengembangkan kompetensi mahasiswa sesuai bakat dan passion, melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdek (MBKM).
Pada bagian lain ia mengungkapkan, perguruan tinggi tertantang menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan literasi baru, yang meliputi literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia yang berakhlak mulia.
Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu terus meningkatkan proses pembelajaran berbasis digital dengan capaian pembelajaran lulusan melalui proses student centered learning. Sementara civitas akademika perlu meningkatkan kompetensi dengan membuat video pembelajaran atraktif, inovatif, dan adaptif dengan platform medsos sebagai referensi utama.
“Bahan ajar juga terdigitalisasi melalui online yang menyediakan referensi bahan ajar daring bermutu dari banyak perguruan tinggi di Indonesia, yang dapat diakses dan diunduh dengan mudah dan gratis. Oleh sebab itu, e-learning merupakan salah satu transformasi kegiatan belajar-mengajar di dalam bentuk digital yang dilakukan secara tatap muka dan atau virtual (hybrid and blended learning),” paparnya.

Dalam pandangan dia, platform aplikasi proses pembelajaran daring, seperti Zoom juga Google Meet, sudah menjadi kebutuhan civitas akademika.
Pada bagian lain, Gugus memaparkan bagaimana mencegah dampak negatif digitalisasi dalam pembelajaran. Menurutnya, untuk mencegahnya, mahasiswa bisa menghasilkan prestasi akademik dan temuan riset unggulan. Sementara perguruan tinggi melihatnya sebagai peluang dan tantangan agar bisatetap eksis, bertahan.
“Kita perlu mencegah dampak negatif literasi digital yang tidak terkendali seperti adanya transmisi hoax, ujaran kebencian, intoleransi, termasuk radikalisme, pornografi dan kejahatan siber lainnya,” tndsnya.
Ia menyaranan agar semua pihak lebih bijak dalam mengakses teknologi, khususnya informasi dan komunikasi. Undnag-undang (UU) ITE No. 19/2016 sebagai “rambu-rambu” yang harus ditaati tidak dilanggar dan memaksa individu yang belum beretika menjadi lebih bermawas diri dan berhati-hati melangkah, bertutur, dn berkomentar.
Sementara Kementerian Kominfo (Kemenkominfo) melalui pejabat TIK Kominfo, Ucik Rohmayanti dan Miftahul Huda, mengajak ratusan mahasiswa yang mengikuti seminar untuk bijak dan beretika di era digital. Dengan demikian, informasi digital yang ada tidak ditelan mentah-mentah, tanpa ad seleksi secara bijak dn beretika.
Terdapat empat pilar literasi digital menurut Kemenkominfo yang perlu dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Keempatnya adalah digital skill, berupa kemampuan memahami perangkat keras dan lunak serta sistem operasi digital. Kedua, digital culture untuk membangun wawasan kebangsaan dan budaya di ruang digital. Ketiga, digital ethics yakni menyesuaikan diri berpikir rasional dan beretiket. Dan keempat, digital safety, untuk meningkatkan kesadaran perlindungan dan keamanan data diri. (fai/sto)







