Oleh Dr ARIO BIMO UTOMO
Sejak 2006, Surabaya memiliki sebuah brand kota bertajuk Sparkling Surabaya. Rumusan brand yang lahir pada era pemerintahan Wali Kota Bambang Dwi Hartono ini bertujuan mengubah citra Surabaya agar tak hanya dikenal sebagai kota industri, namun juga sebagai kota wisata berskala internasional. Adanya brand tersebut menandai arah Surabaya yang lebih berwawasan global.
Semarak, itulah karakteristik utama yang coba diusung oleh Sparkling Surabaya. Melalui brand tersebut, Surabaya ingin dikenal sebagai kota yang tak pernah tidur dan selalu siap menyambut siapa pun yang hadir. Maka dari itu, tak heran jika Sparkling Surabaya kerap muncul melalui kampanye-kampanye visual. Lazim, ditemui logo brand ini di brosur, poster, serta spanduk yang dipampang di sejumlah lokasi publik. Tak lupa, kesemarakan itu juga diwujudkan secara harfiah melalui gemerlapnya lampu di taman-taman ataupun di jalan-jalan.
Kini, brand Sparkling Surabaya telah genap berusia 17 tahun, usia yang dalam skala manusia kerap dianggap menandai kedewasaan. Dalam rentang waktu yang tak singkat itu, tentu kita patut bertanya, sudahkah Sparkling Surabaya menjadi brand yang relevan bagi kota ini?
Pentingnya Brand Kota
Dalam kajian interdisipliner tentang manajemen perkotaan, sejumlah penulis seperti Anholt (2004), Clark (2007), dan Temporal (2001) sepakat, bahwa brand yang kuat adalah sebuah kebutuhan bagi kota di era globalisasi. Hal ini wajar, karena globalisasi dapat diibaratkan sebagai belantara. Tanpa sebuah penciri yang kuat, maka kota-kota tidak akan punya daya saing.
Terdapat sejumlah studi kasus brand kota yang berhasil. Misalnya, yang dilakukan Barcelona. Menurut Jordi Xifra (2009) dalam Building Sport Countries’ Overseas Identity and Reputation, kota di Spanyol ini memiliki brand sebagai “Ibu Kota Olah Raga Dunia” yang dijadikan acuan pembangunan kotanya.
Bergeser ke Amerika Serikat, brand lain yang sukses adalah apa yang dilakukan New York dengan slogan I♥ NY-nya. Saking suksesnya, brand tersebut bahkan ditiru di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Kita kerap melihat kombinasi “NY” diganti dengan nama-nama destinasi wisata domestik.
Namun, proses branding kedua kota tersebut pun tentunya tak dimulai dari ruang hampa. Di Barcelona, sepak bola sudah lama merasuk dalam identitas masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan Barcelona adalah menunjuk FC Barcelona sebagai duta pariwisata dan menggelar promo tur bertema olah raga.
Setali tiga uang, kampanye I♥ NY yang digalang New York pun tak lahir kemarin sore. Ia sudah digagas sejak 1977 demi memoles citra New York dari kota bisnis yang membosankan menuju kota impian sejuta umat. Kampanye tersebut didukung besar-besaran oleh pemerintah hingga seniman sekaliber Frank Sinatra. Maka bisa dikatakan, membuat brand sebuah kota adalah sebuah komitmen.
Brand dan Realita Kota
Bloom Consulting, sebuah lembaga spesialis manajemen brand, menyatakan, bahwa brand kota adalah soal “menyelaraskan persepsi warga dengan realita”. Ketika sebuah brand kota gagal menyelaraskan diri dengan realita, maka di sanalah brand tersebut akan mengalami krisis identitas.
Namun demikian, dalam studi diplomasi publik, brand kota hanyalah strategi jangka menengah untuk meraih reputasi global. Investasi jangka panjang sebuah kota untuk dapat dikenal adalah pada publiknya. Hal ini terdapat pada praktik, nilai, kebudayaan, serta karakteristik yang diinternalisasikan warganya sehari-hari.
Maka, sebuah brand kota yang kuat tak hanya mudah diingat, namun juga lahir dari kepekaan akan karakter warga kota yang diwakilinya. Keith Dinnie (2011) dalam bukunya, City Branding: Theory and Cases, juga me-wanti-wanti, bahwa sebuah brand harus jelas, unik, namun realistis alias sesuai dengan cerminan warganya. Brand perlu lahir dari denyut nadi kota, bukan sebaliknya.
Kembali pada Sparkling Surabaya. Brand ini memuat visi yang cukup ambisius. Ia tak hanya membayangkan Surabaya sebagai kota industri, tetapi juga berupaya menyajikan Surabaya sebagai kota bisnis, perdagangan, jasa, budaya, serta hunian berskala internasional. Namun, sudahkah Sparkling Surabaya mencerminkan ke-Surabayaan sebagaimana dipersepsikan warganya?
Penelitian dari Ramadhan dkk (2015) yang berjudul ‘Pengaruh City Branding Terhadap Minat Berkunjung Serta Dampaknya pada Keputusan Berkunjung’ mengindikasikan, bahwa penerapan Sparkling Surabaya belum dapat secara maksimal mendongkrak jumlah wisatawan ke Surabaya. Salah satu hal yang menjadi penyebab adalah kurangnya pemahaman terhadap Sparkling Surabaya, termasuk oleh warga Surabaya itu sendiri.
Ini patut disayangkan, padahal warga adalah komponen utama dari sebuah kota sebelum berbicara mengenai infrastruktur atau potensi ekonomi. Sebuah brand harus bisa dihidupkan oleh masyarakat, dan di saat yang sama harus bisa pula menghidupi mereka.
Maka dari itu, Insch dan Florek dalam A Great Place to Live, Work and Play (2008) menambahkan, bahwa persepsi masyarakat terhadap brand kota harus rutin dimonitor. Beberapa pertanyaan bisa diajukan, misalnya: (1) sejauh mana masyarakat memahami brand kota yang kini diterapkan oleh pemerintah? atau (2) apakah brand yang ada saat ini sudah sejalan dengan persepsi mereka?
Dari situ, pemerintah kota dapat mengevaluasi kesuksesan brand yang ada, sehingga program-program yang diambil dapat lebih relevan. Mengenai hal ini, tentu saja kerja sama antara pihak pemerintah, akademisi, serta masyarakat amat dibutuhkan demi menjamin brand yang kuat.
Di usianya yang ke-17 ini, sepertinya sudah saatnya arah implementasi Sparkling Surabaya mendapatkan perhatian khusus. Kota seperti Surabaya terlalu besar untuk tidak memiliki brand global yang menjual, apalagi ketika kota-kota lain di Indonesia mulai berlomba memoles citra. Di tengah segala potensi dan ambisi yang dibawa Sparkling Surabaya, agaknya brand ini perlu menjawab terlebih dahulu pertanyaan yang diajukan oleh Armada Band, “Mau dibawa ke mana?” {}
*) Penulis adalah dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jawa Timur, Pemerhati Diplomasi Kota.







