SIDOARJO (RadarJatim.id) – Laporan terkait adanya dugaan pungutan liar (pungli) program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Desa Sidokepung, Kecamatan Buduran tahun 2023 lalu masih mandek di Kepolisian Resor Kota (Polresta) Sidoarjo.
Tidak hanya soal pungli PTSL saja yang dilaporkan Hj. Elly Wahyuningtiyas, SH, M.Psi bersama warga lainnya ke Polresta Sidoarjo pada tanggal 05 Januari 2024 lalu.
Namun, mereka juga melaporakan Pemerintah Desa (Pemdes) Sidokepung terkait adanya dugaan penggelapan dokumen masyarakat, menghalang-halangi program prioritas pemerintah, penyalahgunaan wewenang, pencemaran nama baik masyarakat dan wanprestasi Pemerintah Desa (Pemdes) Sidokepung.
Suhartoyo, salah satu warga Desa Sidokepung mengatakan bahwa pihaknya melaporkan ES, mantan Kepala Desa (Kades) Sidokepung ke Polresta Sidoarjo atas dugaan melakukan penggelapan berkas PTSL miliknya bersama 94 orang lainnya.
“Sehingga berkas tersebut tidak bisa dikirim panitia PTSL Desa Sidokepung ke BPN (Badan Pertanahan Nasional, red) Sidoarjo,” kata Suhartoyo kepada awak media, Jum’at (27/12/2024).
Ia menduga bahwa ES yang saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo itu, dengan sengaja menyimpan 95 berkas PTSL warga Sidokepung agar tidak bisa diproses oleh BPN Sidoarjo.
Kejadian itu baru diketahui, ketika Es mengembalikan berkas dan uang biaya PTSL milik 95 orang warga ke sekretariat, sebelum ES mengundurkan diri sebagai Kades Sidokepung untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Sidoarjo.
“Berkas (PTSL, red) milik saya disimpan oleh Bu Kades. Dan, tidak ditandatangani sehingga tidak bisa dikirim oleh panitia PTSL Sidokepung pada saat itu ke Kantor BPN (Sidoarjo, red),” terangnya.
Dijelaskan oleh Suhartoyo bahwa berkas persyaratan pengajuan PTSL dari 95 warga itu sengaja disimpan dan tidak ditandatangani oleh ES, karena sering sering bertentangan dengan kebijakan-kebijakan ES saat menjabat sebagai Kades Sidokepung.
“Menurut jawaban panitia PTSL Sidokepung bahwasannya berkas milik saya dan 94 warga lainnya dibawa Bu Kades dan tidak dikirim ke BPN, karena saya dan 94 warga yang lain dianggap tidak sejalan dengan kebijakan Bu Kades,” jelasnya.
Ia mengaku bahwa pada saat itu, dirinya bersama 94 warga lainnya pada awalnya menolak untuk mengurus akta perolehan hak ke notaris, karena program PTSL tidak mewajibkan pemohon untuk mengurus akta perolehan hak dari notaris.
“Mungkin itu yang membuat berkas PTSL kami tidak dikirim ke BPN,” pungkasnya.
Penggelapan dalam jabatan adalah bentuk tindakan korupsi dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti suap untuk melindungi pemberi suap dan lain-lain.
Adapun, ketentuan terkait pidana korupsi penggelapan dalam jabatan diatur dalam pasal 8, pasal 9 serta pasal 10 huruf a, huruf b dan huruf c Undang Undang (UU) Nomor 20 tahun 2001.
Tindak pidana korupsi terkait penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam pasal 8 UU Nomor 20 tahun 2001 memiliki unsur-unsur sebagai berikut : pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan dalam menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu.
Bagi mereka yang melanggar pasal 8 UU Nomor 20 tahun 2001 akan dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 750 juta. (mams)







