SURABAYA (RadarJatim.id) – Desa wisata seharusnya bukan sekadar destinasi wisata desa, apalagi hanya berwisata ke desa. Desa wisata adalah upaya pemberdayaan masyarakat desa untuk meraih kesejahteraan bersama. Ini sebuah gerakan terpadu dan berkelanjutan.
“Desa wisata seharusnya digarap secara utuh. Tidak hanya menguntungkan segelintir orang atau hanya menguntungkan satu kampung saja, tetapi harus menguntungkan desa yang bersangkutan secara menyeluruh,” kata Mahsun, Ketua Lembaga Desa Wisata Tamansari Banyuwangi dalam acara Caféinsignt serial diskusi kota dan desa yang digelar DPP INKINDO Jatim, Senin (14/2) kemarin.
Bincang-bincang virtual melalui Zoom tersebut mengangkat topik menarik Bagaimana Desa Wisata Menjadi Juara. Selain Mahsun, hadir pula narasumber Widya Astuti, Humas Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Jawa Timur, Ketua Pokdarwis Magetan sekaligus Humas Randu Gede Hidden Paradise.
Statemen Mahsun tadi agaknya bukan sekadar retorika, tetapi dirinya telah melaksanakannya, karena dirinya adalah pegiat pokdarwis yang aktif. Sukse mengelola Desa Wisata Tamansari di Desa Licin, Kabupaten Banyuwangi.
Desa wisata yang dikelola BUMDes ini berkembang cukup pesat. Pemberdayaan masyarakat setempat telah terbukti berjalan. Berkat keberhasilan itu Tamansari kemudian mendapat penghargaan sebagai juara 1 Anugerah Desa Wisata Indonesia Tahun 2021, untuk kategori desa wisata digital.
Ini jelas membanggakan, karena di Indonesia sudah ada desa wisata dengan jumlah sekitar 1.800 desa wisata. Dari jumlah tersebut sebanyak 300 desa masuk dalam kategori nominasi desa wasata yang bagus. Menariknya, Jawa Timur termasuk dalam provinsi yang meraih jumlah nominator terbanyak dibanding provinsi lain.
“Tamansari ini kami kelola sebagai desa wsiata seutuhnya. Tidak hanya fokus menggarap objek wisatanya saja tetapi juga mengakomodasi kegiatan masyarakat setempat, mulai dari kegiatan kesenian, budaya, dan ekonomi. Kami juga melibatkan banyak pihak, pokdarwis, BUMDes, lembaga desa, kepala desa dan perangkatnya, juga kelompok masyarakat lainnya,” katanya dari .
Pelibatan tersebut terlihat dari cara pengelolaannya yang melibatkan banyak pihak. Satu hal yang menonjol adalah adanya satu rest area desa. Tempat titik kumpul pertama wisatawan yang masuk ke desa wisata Tamansari. Dari situ kemudian wisatwan dipandu menuju objek wisata sesuai paket yang dipilihnya.
Sedikitnya ada tiga destinasi unggulan. Pertama, paket adventure dengan mengajak wisatawan menikmati kawah Gunung Ijen yang jaraknya dari Desa Licin sekitar 17 kilometer. Kedua, wisata budaya Taman Gandrung Terakota. Ketiga, menuju destinasi wisata Sendang Sruni.
Menurut Mahsun, mengelola desa wisata tidaklah gampang, banyak tantangan yang dihadapi. Apalagi di masa pandemi dua tahun ini. Kemampuan survival benar-benar diuji. Untungnya sekarang kondisi sudah mulai membaik, setidaknya sudah setengah pulih.
Tamansari memang layak dijadikan inspirasi. Yang digarap tidak hanya destinasi wisata tetapi semuanya. Pemberdayaan UMKM, BUMDes, pelaku seni, perajin, hingga penumbuhan kampung smart dengan menerapkan digitalisasi. Kesenian daerah juga turut dihidupkan dengan cara merangkul sanggar tari gadrung, tari jaranan, barong osing, campursari, hingga seni hadrah. Tidak ketinggalan seni membatik dan menganyam bambu.
Manajemen pengelolaannya tergolong canggih. Sebagian besar transaksi, sistem administrasi, dan publikasi sudah dilakukan secara online. Sistem pelaporan secara digital sehingga stakeholder dapat memantau perkembangan usaha setiap saat secara real time. Peminat dapat menengok lamannya di tamansariijen.com dan membeli tiket secara online.
“Kami juga sudah melakukan barcodesasi. Benda-benda wisata di Tamansari sudah diberi barcode sehingga pengunjung tinggal memempelkan hapenya untuk mengenali dan mengetahui informasi lebih detail,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut pegiat pokdarwis dari Kediri, Adi Hasto Utomo, menyatakan, ada tiga kunci sukses dalam mengembangkan desa wisata yang lazim disebut dengan 3S. “Kunci 3S ini gampang diucapkan tetapi berat untuk dijalankan. S pertama adalah solid. Semua komponen yang terlibat haruslah solid, kompak. Nah, S pertama ini saja sudah sulit,” katanya.
Sedangkan S yang kedua adalah speed. Butuh kecepatan untuk menangkap peluang dan mengembangkan usaha. S ketiga adalah smart. Desa wisata harus dikelola dengan cerdas serta memanfaatkan teknologi modern.
Melengkapi kunci sukses 3S itu, Widya Astuti, Ketua Pokdarwis Magetan menambahkan bahwa rumus 3S itu tidak boleh dibolak-balik, karena sudah merupakan urutan bahkan merupakan hirarki.
“Tidak bisa langsung melompat ke smart, kalau tidak diawali dengan solid. Pondasi pertamanya memang soliditas. Setelah kelompok sudah solid baru dapat dinaikkan speednya dan kemudian dikembangkan smartnya,” katanya. Ibarat kegiatan baris-berbaris, meski dikomandani oleh orang yang punya speed tinggi dan smart, apabila personel anggotanya tidak solid, tentu barisan akan kocar-kacir. (rio)