GRESIK (RadarJatim.id) – Suhu politik terkait pencalegan untuk DPRD Gresik mulai memanas. Ketatnya persaingan antar-calon legislatif (caleg), baik antarpartai maupun separtai, membuat mereka saling mengintai gerakan politik masing-masing.
Di daerah pemilihan I yang meliputi Kecamatan Gresik dan Kebomas, misalnya, salah seorang caleg dari PKB, Ainul Farodisa, MPd, diduga telah memobilisasi para siswa Madrasah Ibtida’iyah (MI), jenjang pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD), di Kelurahan Sidomukti, Kecamatan Kebomas untuk melakukan pendataan calon pemilih pemilu 2024.
Namun, oleh sang caleg, temuan dan pengaduan itu dibantah. Ia berdalih, form yang dibuat sebenarnya untuk relawannya, bukan untuk para siswa sekolah tersebut yang kemudian diteruskan kepada orang tuanya. Lewat guru kelas, calon bernomor urut 2 di dapil-nya yang juga guru di sekolah itu diduga menitipkan form khusus kepada para siswa MI. Tujuannya, mendata anggota keluarga masing-masing. Setelah form diisi data anggota keluarga, dikembalikan lagi ke guru kelas dan diminta menyertakan foto kopi KTP bagi yang sudah memilki KTP.
Pada kop (bagian atas) form kertas putih ukuran setengah A4 itu, dengan jelas tertulis: DATA PEMILIH AINUL FARODISA, M.Pd, CALEG PKB DPRD II GRESIK DAPIL I (KEBOMAS-GRESIK) dan disamping kirinya tertera logo PKB. Kemudian di bawah kop form itu tertulis: Desa/Kelurahan, Kecamatan, Nama Pendata, dan No. Tlp. Nama caleg AINUL FARODISA, M.Pd ditulis lebih tebal (di-bold), sehingga nampak lebih mencolok ketimbang tulisan lain yang tertera pada form pendataan tersebut.
Informasi yang dihimpun dalam dua pekan terakhir menyebutkan, sejumlah wali murid yang menerima form pendataan itu dari anaknya mengaku kaget sekaligus menyayangkan jika untuk kepentingan pemilu legislatif, sampai melibatkan anak-anak usia MI/SD. Bahkan, lebih disayangkan lagi, hal itu dikoordinasi atau dimobilisasi lewat guru kelas di sekolah.
“Anak-anak seusia itu tahu apa soal pemilu? Usia MI atau SD kan masih terlalu kecil untuk dilibatkan dalam pendataan pemilu. Saya tahu tujuannya pasti untuk menjaring dukungan di kalangan wali murid. Tapi, mengapa mesti dikoordinir oleh guru, dan itu terjadi di sekolah? Kalau langsung ke rumah mungkin lain cerita,” ungkap seorang wali murid kelas 2 yang tinggal di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Gresik, Jawa Timur, Kamis (5/10/2023).
Pengakuan serupa juga disampaikan sejumlah wali murid di Desa Sekarkurung dan Gulomantung Kecamatan Kebomas yang anaknya juga bersekolah di MI di kawasan Giri tersebut. Mereka sepakat, bahwa apa yang dilakukan caleg –lewat guru kelas—itu tidak sepatutnya dilakukan. Selain kurang mendidik dan berpotensi meracuni peserta didik yang masih belia, hal itu patut diduga sebagai penyalahgunaan wewenang dan sebagai upaya mobilisasi massa yang tidak sepantasnya dilakukan.
“Kok tidak langsung ke rumah atau lewat RT/RW saja. Itu lingkungan pendidikan dasar, mosok ya pantas kalau dijadikan ajang atau sarana kampanye? Saya berharap kepada semua wali murid yang telah menerima form itu, baik yang sudah mengembalikan atau belum, ayo rame-rame kita laporkan kasus ini ke para pihak yang berwenang,” ungkap wali murid lainnya dengan nada protes.
Diketahui, Undang-undang (UU) Nomor 10/2016 Pasal 16 dan UU nomor 7/2017 tentang Pemilu Pasal 280, secara tegas melarang pelibatan anak-anak dan orang yang tidak memiliki hak pilih. Selain 2 peraturan perundangan tersebut, pelibatan anak-anak dalam kampanye juga menyalahi UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak, dan berkonsekuensi ancaman tindak pidana dengan hukuman penjara bagi pelakunya.
“Melibatkan anak pada pemilu 2024 memiliki efek kurang baik,” kata Ketua Bawaslu Rahmad Bagja dalam sambutan saat penandatanganan MoU Bawaslu dengan KPAI di Jakarta, Selasa (23/5/2023).
Bantahan Caleg
Saat dikonfirmasi, Ainul Farodisa membantah, bahwa ia telah memobilisasi siswa MI di sekolah tempatnya mengajar untuk kepentingan pen-caleg-annya. Diakui, form isian data tersebut memang miliknya, tetapi itu untuk para relawannya, yang sebagian adalah para guru di sekolah tersebut, bukan untuk siswa.
“Sama sekali saya tidak menyiapkan form itu untuk anak-anak, untuk kemudian diteruskan ke orang tuanya. Itu untuk relawan saya. Kebetulan, sebagian memang teman-teman guru. Jadi, tidak benar kalau saya memanfaatkan atau memobilisasi anak-anak untuk pemilu. Saya juga tahu aturan,” tegas Ainul Farodisa.
Ia Kembali menegaskan, sampainya form isian data keluarga itu tanpa sepengetahuan atau perintahnya. Diduga, mengapa form itu sampai di tangan para siswa, saking semangatnya para guru yang juga relawan Ainul itu, sehingga menitipkannya untuk orang tuanya.
Padahal, tandas Ainul, form itu untuk pegangan relawan atau tim sukses sebagai bahan pemetaan kekuatan dukungan. Sekali lagi ia memastikan, bahwa pihaknya sama sekali tidak punya niatan untuk melibatkan anak-anak siswanya untuk aktivitas menjelang pemilu itu.
“Mungkin saking semangatnya teman-teman, sehingga form yang mestinya disebar ke masyarakat sebagai mapping kekuatan dukungan, sebagian sampai ke tangan anak-anak untuk orang tuanya yang mungkin sudah dikenalnya,” tandasnya. (sto)







