Oleh Ahmad Zianur Haqi Payapo
Era reformasi yang digadang-gadang sebagai momentum perubahan fundamental dalam tata kelola pemerintahan, ternyata menyimpan ironi tersendiri. Alih-alih mewujudkan birokrasi yang bersih, efisien, dan melayani, sistem administrasi publik di era ini justru kerap terjebak dalam pusaran kepentingan politik partai yang berujung pada praktik oligarki. Kondisi ini menjadi penghambat serius bagi terwujudnya cita-cita reformasi yang sesungguhnya.
Salah satu akar masalahnya terletak pada kuatnya pengaruh partai politik dalam proses rekrutmen, promosi, dan penempatan pejabat publik. Sistem meritokrasi yang seharusnya menjadi landasan utama dalam pengelolaan sumber daya manusia aparatur, sering terabaikan demi mengakomodasi kepentingan politik sesaat. Akibatnya, jabatan-jabatan strategis di pemerintahan lebih banyak diisi oleh orang-orang yang memiliki kedekatan atau loyalitas terhadap partai penguasa, tanpa mempertimbangkan kompetensi dan profesionalitas yang memadai.
Praktik seperti ini tentu saja berdampak buruk terhadap kinerja birokrasi secara keseluruhan. Birokrasi menjadi kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, karena lebih sibuk mengamankan kepentingan politik kelompok tertentu. Kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan pun kerap tidak berpihak pada kepentingan umum, melainkan lebih menguntungkan kelompok-kelompok yang memiliki akses kekuasaan.
Selain itu, politik transaksional yang melibatkan partai politik dan pejabat birokrasi juga menjadi lahan subur bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Proyek-proyek pemerintah yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, seringkali dijadikan ajang untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok. Akibatnya, anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, justru bocor dan tidak tepat sasaran.
Ironisnya, upaya reformasi birokrasi yang telah dilakukan selama ini, belum mampu mengatasi masalah ini secara tuntas. Regulasi yang ada seringkali tidak efektif dalam mencegah intervensi politik terhadap birokrasi. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait juga masih lemah, sehingga praktik-praktik yang merugikan kepentingan publik tetap saja terjadi.
Untuk keluar dari jebakan oligarki ini, diperlukan langkah-langkah yang lebih komprehensif dan sistematis. Pertama, perlu ada komitmen yang kuat dari seluruh elemen bangsa, terutama dari para pemimpin politik, untuk mewujudkan birokrasi yang profesional, netral, dan berintegritas. Komitmen ini harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya sekadar retorika politik.
Kedua, sistem rekrutmen dan promosi pejabat publik harus benar-benar didasarkan pada meritokrasi, tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Lembaga independen yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi, perlu dilibatkan dalam proses seleksi pejabat publik, untuk memastikan bahwa yang terpilih adalah orang-orang yang benar-benar kompeten dan profesional.
Ketiga, pengawasan terhadap kinerja birokrasi harus diperketat. Lembaga-lembaga pengawas, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harus diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengungkap dan menindak praktik-praktik KKN yang terjadi di birokrasi.
Keempat, partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja birokrasi juga perlu ditingkatkan. Masyarakat harus diberikan akses yang lebih luas untuk mendapatkan informasi tentang kebijakan-kebijakan publik dan anggaran pemerintah. Dengan demikian, masyarakat dapat ikut mengontrol dan memberikan masukan terhadap jalannya pemerintahan.
Dengan langkah-langkah yang komprehensif dan sistematis, diharapkan sistem administrasi publik kita dapat terbebas dari pengaruh oligarki politik. Birokrasi yang bersih, efisien, dan melayani, bukan lagi menjadi sekadar mimpi, tetapi menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. (*)
*) Ahmad Zianur Haqi Payapo, Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.