Catatan Pinggiran SUHARTOKO*
Fenomena menarik mewarnai proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Indonesia yang diagendakan tergelar pada 27 November 2024. Fenomena yang bisa dibilang sebagai anomali demokrasi ini seperti wabah yang menyebar ke berbagai daerah di negeri ini. Apa itu?
Fenomena politik yang bisa memantik “perlawanan senyap” dari pemegang hak suara ini berupa maraknya pasangan calon (paslon) tunggal dalam Pilkada serentak. Partai-partai politik yang mendudukkan wakilnya di kursi parlemen seperti tidak memiliki nyali bertarung dengan mengusung kader-kader terbaiknya dalam Pilkada. Sebaliknya, mereka beramai-ramai mendukung dan mengusung hanya satu paslon. Pratis, tidak ada pertarungan paslon sebagai kontestan Pilkada sebagaimana lazimnya dalam pesta demokrasi.
Karena hanya ada satu paslon, maka stigma yang beredar ke publik: Pilkada selesai sebelum coblosan berlangsung. Tidak ada lawan yang perlu dikhawatirkan oleh paslon tunggal untuk bisa melenggang ke kursi pucuk pimpinan pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten ataupun kota. Paslon tunggal –sesuai konstitusi—hanya akan berhadapan dengan kotak kosong atau oleh sebagian masyarakat disebut dengan istilah bumbung kosong.
Data di sekretariat Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, bahwa Pilkada serentak 2024 di Indonesia dipastikan bakal diikuti oleh 37 paslon tunggal. Bahkan sebelumnya, yang sudah terdaftar di KPU sempat tercatat sebanyak 44 paslon tunggal. Namun, hingga akhir penutupan pendaftaran, tujuh daerah akhirnya mampu menghadirkan paslon baru, sehingga dari 44 paslon tunggal sebelumnya, akhirnya menyusut menjadi 37 paslon tunggal. Jumlah yang tidak sedikit!
Dari 37 daerah yang hanya memiliki satu paslon, Papua Barat merupakan satu-satunya provinsi yang akan menghelat pemilihan gubernur dan wakil gubernur melawan kotak atau bumbung kosong. Sementara ada 5 kota akan memilih walikota/wakil wali kota. Kelima kota itu adalah Kota Pangkal Pinang (Kepulauan Bangka Belitung), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), Kota Tarakan (Kalimantan Utara), dan dua di Jawa Timur, yakni Kota Pasuruan dan Kota Surabaya. Sisanya, sebaran paslon tunggal terdapat di berbagai kabupaten di Indonesia (Selengkapnya lihat tabel).
Sementara di Jawa Timur (Jatim), sebaran paslon tunggal terdapat di lima daerah, yakni di tiga kabupaten dan dua kota. Kelima daerah dimaksud adalah Kabuaten Trenggalek, Ngawi, dan Gresik. Dua daerah lainnya yang juga ber-paslon tunggal adalah Kota Pasuruan dan Surabaya. Di lima daerah kabupaten/kota itulah, Pilkada serentak di Jatim akan mempertarungkan paslon tunggal dengan kotak atau bumbung kosong.

Sumber: KPU RI
Meski nyaris tak ada lawan, KPU selaku penyelenggara Pilkada tetap memberikan kesempatan kepada paslon tunggal untuk menyampaikan visi dan misi dalam format debat terbuka. Paslon tunggal juga tetap harus mengikuti proses pengundian nomor urut, sehingga tidak serta-merta, calon tunggal dalam kolom surat suara Pilkada, mesti menempati nomor 1.
Terlepas bahwa secara normatif paslon tunggal yang dalam puncak Pilkda (hari H coblosan) harus berhadapan dengan kotak atau bumbung kosong adalah sah-sah saja, namun fenomena itu bisa dinilai sebagai anomali demokrasi. Rakyat sebagai pemilik suara, saat coblosan dalam pemilu legislatif Februari 2024 lalu, tentu berharap kelak lahir kader-kader terbaik partai maju dalam kontestasi Pilkada untuk memimpin pemerintah daerah, baik di posisi gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupti, atau wali kota/wakil wali kota.
Namun kenyataannya, partai-partai yang mempunyai hak mengusung calon terbaiknya maju dalam kontestasi Pilkda, justru menafikan kehendak rakyat pendukungnya. Mereka beramai-ramai larut dalam orchestra dan kenduri politik: paslon tunggal. Dengan rela hati mereka menjual tiket Pilkada kepada hanya satu paslon, lewat rekomendasi yang diberikan pada paslon tertentu. Kehendak dan kepentingan rakyat sebagai bentuk partisipasi publik, benar-benar tersingkirkan.
Anomali atau ketidaklaziman berdemokrasi dalam jagat politik inilah kemudian menjadi fenoma hadirnya paslon tunggal yang dalam Pilkada serentak 2024 tercatat tersebar di 37 daerah di Indonesia. Akankah Pilkada dengan paslon tunggal kelak mampu mewujudkan out put tata kelola pemerintahan daerah yang ideal dan tidak koruptif, di tengah mandul dan terpasungnya fungsi kontrol lembaga legislatif, karena dukunngan terpusat pada satu paslon? Wallahu a’lam bisshowab. {*}
*) SUHARTOKO, Pemimpin Redaksi RadarJatim.id.