Oleh Moh. Husen*
Tulisan ini merupakan apresiasi dan upaya sederhana dalam menjaga tradisi di sebuah desa. Namun, siapa pun boleh saja menganggap tulisan ini hanyalah percakapan kecil kelas warung kopi yang penuh dengan khayalan dan tidak laku. Sebab, umumnya yang dianggap laku atau absah hanyalah percakapan kaum intelektual di kampus atau percakapan ilmiah seorang doktor.
Kalau sampai ada percakapan kelas warung kopi, patut diragukan. Padahal yang la roiba fihi alias tak meragukan, hanyalah firman Tuhan. Kalau katanya manusia, seberapa tinggi gelarnya, tetap saja relatif dan boleh diragukan. Termasuk kata perkata dari percakapan ini. Sangat boleh diragukan, tidak legitimate, dan boleh dianggap khayalan.
Di desa A, pagi itu sebuah percakapan meluncur bersahutan, bergiliran. Jangan bertanya kenapa desa A. Jangan pula bertanya percakapan ini sebuah khayalan pemikiran penulisnya belaka ataukah kenyataan.
“Betapa luar biasa masyarakat desa A,” kata seseorang, “Hewan saja di hormati, apalagi manusia. Orang dulu sangat mengerti tata krama dan berterima kasih kepada hewan yang selama ini membantu penghidupannya.”
“Orang dulu,” sambung sebelahnya, “Sangat mengerti bahwa ia harus berterima kasih kepada sungai, udara, tanah, hewan dan tetumbuhan yang menemaninya. Sekarang ini, untuk bisa berterima kasih dan menghormati kepada sesama manusia saja terkadang tidak gampang.”
“Hewan saja di hormati, apalagi manusia,” sambung sebelahnya lagi, “maka menjadi lucu jika ada manusia yang tak saling menghormati, mentang-mentang jabatannya lebih tinggi gengsi minta maaf jika salah, kaya sedikit saja sudah enggan minta tolong padahal perlu minta tolong.”
“Manusia sering merasa berdiri sendiri dan merasa tidak bersaudara atau terputus dan memutus dengan alam. Tentu ini kesadaran yang juga lucu dan tertinggal jauh dari peradaban desa yang sudah berabad-abad sangat lama,” seorang kawan depannya mulai turut berpendapat.
“Peradaban desa,” tambahnya, “Sudah lama mengerti, bahwa udara, tumbuhan, hewan dan seluruh isi di alam raya ini merupakan saudaranya yang saling berhubungan karena semuanya ‘dilahirkan’ oleh Sang Pencipta Yang Mahatunggal.”
Percakapan tersebut boleh dianggap khayalan penulis belaka. Namun, di Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur ini, benar-benar ada sebuah tradisi Ritual Keboan. Sebuah tradisi yang digelar masyarakatnya setiap 1 Sura atau 1 Muharram.
Selain doa bersih desa, tradisi Keboan ini merupakan simbol masyarakat tersebut dalam menghormati kebo atau kerbau yang selama ini telah membajak sawahnya. Juga dalam rangka bersyukur dan berharap agar hasil panen di desa tersebut selalu melimpah.
Orang membuat atau menjadi kerbau duplikat dalam tradisi Keboan sebenarnya adalah bentuk pernyataan yang paling nyata, bahwa manusia tidak akan bisa hidup berdiri sendiri. Manusia bukan hanya butuh manusia lain, tapi ia juga butuh kerbau. Kerbau saja dibutuhkan, apalagi manusia.
Disebut ritual agar manusia juga tidak lupa kepada Sang Maha Pencipta, sehingga doa-doa tulus seluruh masyarakat dalam tradisi Keboan agar dikaruniai keselamatan, kesehatan, kesejukan dan kerukunan, serta kesejahteraan, menunjukkan peradaban umat manusia yang rendah hati kepada penciptanya dan alam semesta.
Demikianlah, betapa mengagumkannya peradaban desa. Pantas seorang budayawan nasional di negeri ini pernah mengatakan, bahwa Indonesia sebaiknya harus banyak belajar kepada desa. Desa lebih tua. Dan, desa tetap desa andai tak pernah ada negara atau negara tiba-tiba membubarkan diri.
Jangan bertanya: “Kok nama budayawan nasionalnya dirahasiakan? Apakah dia Sujiwo Tejo, Emha Ainun Nadjib, atau siapa?”
Banyuwangi, 11 Mei 2023
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id. Tinggal di Rogojampi-Banyuwangi.