GRESIK (RadarJatim.id) – Gaduh pascaperhelatan Grand Final Cak & Yuk Gresik yang berlansung Sabtu (12/8/2023) malam belum juga reda. Perbincangan seputar kurang jeli dan sembrono-nya panitia pelaksana –sehingga memantik reaksi publik—masih saja berlangsung.
Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Gresik mereaksi keras atas ketidakpatutan panitia pelaksana dan mendesak agar meminta maaf kepada publik, Sosiolog dan Pemerhati Kebijakan Publik Hamim Farhan angkat bicara. Sepakat dengan MUI, Hamim juga minta agar secara sportif dan elegan panitia pelaksana mau minta maaf kepada masyarakat secara terbuka. Hal itu sebagai bentu tanggung jawab moral, karena hasil kerjanya ternyata memantik reaksi publik.
Tidak hanya itu, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga (Disparekrafbudpora) Kabupaten Gresik selaku penyelenggara event dua tahunan itu agar tidak lepas tangan begitu saja. Dinas yang dipimpin drg Saifudin Ghozali ini seyogyanya ikut terpanggil mendinginkan suasana dengan mengklarifikasi ke publik apa yang sebenarnya terjadi dan memberikan penjelasan tuntas, sehingga tidak berlarut-larut. Salain itu, secepatnya perlu dilakukan evaluasi secara mendalam dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural masyarakat yang ada.
“Terlepas bahwa secara konten apa yang direaksi publik itu bisa saja debatable, secara bijak mestinya mempertimbangkan aspek-aspek kearifan lokal yang tak terbantah, bahwa masyarakat Gresik adalah masyarakat religius. Dan ingat, ini sudah menjelang tahun politik, yang jika tidak hati-hati dalam bersikap, maka bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin memancing di air keruh. Jika itu terjadi dan banyak pihak yang memanas-manasi, kan kasihan Pemkab, khususnya Pak Bupati (Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani, Red),” ungkap Hamim, Senin (14/8/2023) malam.
Sebagaimana ramai diberitakan, acara Grand Final Cak & Yuk Gresik yang berlangsung di Wahana Ekspresi Poesponegoro di Jl. Jaksa Agung Suprapto Gresik itu menampilkan keberagaman etnis yang ada di Kabupaten Gresik. Karenanya, beberapa iringan lagu juga disesuaikan dengan etnis-etnis yang ada di Kota Santri dan Kota Wali ini.
Di antaranya, etnis dengan nuansa kolonial, Tionghoa, Arab, juga pribumi. Demikian juga, pada kesempatan itu diputar lagu lawas berbahasa Belanda berjudul Geef Mij Maar Nasi Goreng. Lagu itu berisi testimoni seorang wanita Belanda kelahiran Surabaya soal kuliner di kota Surabaya, yang sebagian liriknya menyangkut sate babi. Tidak hanya itu, penampilan finalis Cak & Yuk ternyata mengenakan kostum setengah terbuka yang memperlihatkan sebagian dada finalis perempuan (Yuk).
Hal itulah yang memantik reaksi sebagian publik dan netizen Gresik, bahkan termasuk Ketua MUI Gresik, KH Mansoer Shodiq. Mereka menilai, apa yang tersuguh dalam helatan Grand Final Cak & Yuk itu tidak mencerminkan Gresik sebagai Kota Santri dan Kota Wali. Karena itu, Kiai Mansoer pun mendesak panitia pelaksana untuk meminta maaf kepada masyarakat Gresik secara terbuka.
Kiai Mansoer menilai apa yang tersaji di panggung itu bisa mencederai marwah Gresik sebagai Kota Santri dan Kota Wali yang masyarakatnya religius. Ia sepakat, bahwa promosi wisata dan kuliner khas Gresik itu bagus. Namun, sambungnya, menyebut sate babi dalam lirik lagu dalam event yang disaksikan oleh masyarakat secara terbuka itu sangat memprihatinkan. Karena itu, ia minta agar lagu itu segera direvisi pada bagian lirik yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Gresik jika dihajatkan untuk duta wisata itu.
Pada bagian lain, Hamim mengatakan, perhelatan Cak & Yuk Gresik telah berlangsung perpuluh-puluh kali. Namun selama itu pula berjalan dengan baik dan tidak ada masalah yang bersinggungan dengan isu SARA dan etika sosial, meski sejak dulu komposisi kandidat mesti ada keragaman agama dan mengusung kearifan budaya lokal.
Ia menduga, panitia tahun ini mau menampilkan keragaman budaya dan agama dalam konteks Gresik sebagai kota industri yang meniscayakan modernisasi atau kemajuan zaman Tetapi, katanya, harus diingat sisi lain Gresik sebagai simbol Kota Santri secara historikal, tak bisa dikesampingkan. Dengan demikian, sensitivitas etika dan nilai-nilai keagamaan warga mayoritas perlu tetap dipertimbangkan.
“Apalagi hanya event sekelas (maaf) lokal Gresik. Putri Ariyani yang fenomenal di panggung internasional atau kelas dunia itu, tetap memakai busana Muslim sebagai identitas dan tidak masalah. Sebab, itu justru sebagai simbol dan ciri khas budaya bangsa. Lha kok ini yang level Gresik saja ingin menggerus kearifan lokal yang ada,” tandasnya.
Dengan kejadian tersebut, ia berharap ada evaluasi mendalam para pihak yang berkompetensi, terutama Disparekrafbudpora Gresik, agar penyelenggaraan di tahun-tahun yang akan datang tak lagi bikin gaduh dan memicu reaksi publik. Berkreasi dan berinovasi, lanjut Hamim, sah-sah saja sebagai konsekuensi kemajuan zaman, apalagi di era industrialisasi sekarang ini.
“Tetapi ingat juga Gresik ini masih dikenal sebagai Kota Santri yang secara historikal tidak bisa dinafikan. Jadi, jangan cederai dengan hal-hal sepele yang sebenarnya bisa dengan mudah dihindari,” pesannya. (sto)







