Oleh MOH. HUSEN
Kata orang, tulisan-tulisan saya lebih sering berbau guyonan satir dalam menuangkan sebuah ide. Padahal saya menulis tanpa berfikir kategori. Pokoknya menulis. Itupun belum tentu ada idenya, apalagi guyon satirnya.
Menurut Mbah Google, satir adalah sejenis lelucon yang dimaksudkan untuk mengejek kejahatan atau kesalahan manusia, seringkali dengan hiperbola, meremehkan, sarkasme, dan ironi.
Ah, daripada ribet soal kategori, mending saya segera menulis saja. Bahwa nanti ternyata bermakna satir atau getir, terserah pembaca saja untuk memaknainya, menyebutnya, atau mengkategorikannya.
Bersama sahabat AW dan AF, Minggu siang itu kami bincang-bincang masalah pendidikan dan jabatan. Agar perbincangan tak terlalu serius, saya belok-belokkan ke hal-hal yang lucu-lucu agar saya kelihatan bisa mengimbangi pembicaraan.
Misalnya saja, ternyata benar-benar tidak guyon kalau diantara kita pernah mendengar ungkapan bahwa pimpinan tidak bisa salah, sehingga jika diantara kita belum pernah menjadi pemimpin apa saja, segeralah, entah bagaimana pun caranya supaya menjadi pemimpin.
Kan enak, kalau hanya gara-gara jadi pemimpin, kita tidak bisa salah. Atau asal sarjana pasti pandai. Meskipun tetap ada satu dua orang pemimpin yang manusiawi, yang tetap bertahan menjadi manusia biasa, sehingga dia dengan rileks masih meyakini dirinya bisa salah dan lupa.
Saya sendiri ini, bukan hanya bisa salah dan lupa, tapi juga bisa marah. Kalau sebuah kemarahan bisa dianggap sama dengan musik rock, maka betapa falsnya jika orang kecil macam saya ini yang menyanyikannya. Ngomong biasa saja fals. Apalagi sampai teriak-teriak nge-rock.
Jangankan nge-rock tipis-tipis, suatu hari ada orang yang mungkin menyangka saya ini adalah manusia fi ahsani taqwim yang perlu dimanusiakan. Sehingga seseorang ini ingin repot-repot meminta maaf kepada saya setelah mendengar ternyata saya bisa nge-rock.
Seseorang yang tak mengerti bahwa yang harus dihormati pada zaman ini bukanlah orang kecil, segera ditegur oleh temannya agar jangan sampai meminta maaf kepada orang yang lebih rendah. Padahal dari tinggi badan, saya ini lebih tinggi dari seseorang yang ketinggalan informasi prihal orang kecil pantasnya diludahi dan di-klindes.
Nah, bersama AW dan AF ini, kami sedikit mendiskusikan bahwa ada jabatan pemimpin yang mendadak menjadi prestisius. Bisa mengangkat harkat dan martabat. Seorang tokoh saja bisa sedih karena tidak dijadikan pimpinan di tempat ini. Juga bisa tersinggung bila dicopot. Serta mampu membikin orang serasa naik pangkat.
Jabatan tersebut adalah menjadi satu-satunya admin dalam Grup WhatsApp (GWA) non profesional dan struktural. Anda jangan tertawa. Ini serius. Meskipun kami semua tertawa atas lawakan ringan seputar admin GWA ini. Pak Haji Anu bisa cemburu berat hanya karena tak jadi admin GWA.
“Jadi, bagi yang tidak punya posisi strategis di mana-mana. Atau di segala lini masyarakat posisi apa saja sudah penuh. Sepertinya sekarang ini menjadi admin WA Grup merupakan jabatan yang prestisius, hehehehe….” Demikian waktu itu saya omong.
Semoga kita semua menjadi pribadi yang senantiasa sehat wal afiat dan waras. Amin. (*)
Banyuwangi, 30 September 2022
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id. Tinggal di Rogojampi-Banyuwangi.