Oleh Dwi Angger Retno Ningsih*
Pandemi Covid-19 yang melanda pada 2019-2020 yang telah merontokkan banyak sektor ekonomi-bisnis, dampaknya juga memangkas pendapatan pemerintah. PAndemi juga menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta mendorong defisit anggaran 2020 menjadi lebih dari 6%.
Perlahan tapi pasti, perekonomian membaik secara signifikan. Setelah pertumbuhan negatif pada awal tahun 2020, diproyeksikan tumbuh sebesar 3,69% pada tahun 2021. Realisasi penerimaan negara tahun 2021 jauh di atas target Rp 2.003 triliun karena dipengaruhi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terkait harga komoditas migas dan nonmigas.
Kondisi ini berlanjut pada tahun 2022. Penerimaan pemerintah pada Januari 2022 sebesar Rp156 triliun, naik 54%, karena surplus anggaran sebesar Rp 28 triliun. Lonjakan harga komoditas dipengaruhi oleh kendala struktural sisi penawaran, mood konflik antara Rusia dan Ukraina, dan meningkatnya permintaan global, serta fakta bahwa harga komoditas akan terus meningkat dari waktu ke waktu perlu diwaspadai.
Harga yang lebih tinggi untuk komoditas utama Indonesia, seperti minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara akan mengimbangi dampak kenaikan harga minyak, menghindari masalah neraca berjalan dan terus meningkatkan pendapatan pemerintah. Perbaikan ekonomi tahun ini juga sangat istimewa, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) nominal mencatat pertumbuhan dua digit, untuk pertama kalinya dalam beberapa kuartal terakhir, menunjuk pertumbuhan 14,4% pada tahun 2022.
Kondisi tersebut pasti akan menjadi angin segar bagi investor ekuitas dan pengusaha yang terlibat dalam komoditas dan sektor terkait non-konsumen lainnya. Meningkatkan pendapatan dan memperluas margin akan mendorong kinerja pada tahun 2022. Akibatnya, pasar saham pun berkembang positif.
Ketika situasi kembali normal, di sisi kebijakan fiskal ada kebutuhan mendesak untuk menjauh dari kebijakan yang tidak konservatif selama dua tahun terakhir, yaitu defisit fiskal lebih dari 3% dari PDB dan kebijakan pembagian beban yang didukung bersama oleh kedua negara. Peran penting Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) mesti dijalankan.
Peningkatan penerimaan pemerintah yang didorong oleh kenaikan harga komoditas dapat dengan mudah melampaui target penerimaan pemerintah yang “hanya” sebesar Rp1.846 triliun. Dalam iklim ekonomi yang membaik ini, perlu diingat, bahwa target penerimaan APBN tahun 2022 lebih rendah dari realisasi penerimaan negara tahun 2021. Mempertimbangkan kenaikan harga komoditas tahun ini, kemungkinan penerimaan APBN yang jauh lebih tinggi tidak menutup kemungkinan meningkat Rp 200 triliun – Rp 300 triliun dibandingkan target.
Dengan APBN tahun ini yang bersumber dari penerimaan pajak dan PNBP, perlahan tapi pasti akan menghilangkan urgensi kebijakan pemerintah yang tidak konservatif. Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) akan berkurang. Menurut analisis sensitivitas penulis, setiap kenaikan harga minyak sebesar $10, akan meningkatkan pendapatan pemerintah sekitar Rp 25 triliun per tahun. Memang, beban terkait subsidi akan bertambah, namun hal ini akan lebih tecermin di neraca negara-negara semi berdaulat seperti Pertamina dan PLN.
Defisit minyak yang melebar berdampak, tetapi masih diimbangi oleh pendapatan CPO dan batubara yang lebih tinggi secara keseluruhan. Kekhawatiran selanjutnya, tentu saja, apakah harga BBM dan listrik akan naik. Dimensi politik tidak bisa dilepaskan dari keputusan ini. Di sisi lain, fleksibilitas pajak yang lebih besar dari pendapatan pemerintah yang lebih tinggi memberi pemerintah banyak pilihan untuk menaikkan harga bahan bakar dan menyubsidi masyarakat yang terkena dampak, atau tidak menaikkan harga bahan bakar.
Selain itu, pasar keuangan kini bereaksi terhadap prospek inflasi dan harga komoditas yang lebih tinggi. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun mencapai 6,7% karena partisipasi asing di pasar obligasi Indonesia menurun. Bahkan jika inflasi belum naik, ketidakpastian kebijakan pemerintah telah menyebabkan investor meminta imbal hasil obligasi yang lebih tinggi.
Dengan atau tanpa harga bahan bakar yang lebih tinggi, pasar obligasi sudah mencerminkan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi dalam imbal hasil yang lebih tinggi selama beberapa bulan ke depan. Sehubungan dengan itu, pemerintah perlu mengambil beberapa langkah untuk menjaga stabilitas di sektor keuangan.
Di antaranya, pertama, pasar keuangan perlu diinformasikan, bahwa prospek defisit anggaran akan turun di bawah target APBN 2022 dan target penerbitan obligasi. Hal ini menjaga ekspektasi ketersediaan likuiditas, bahkan ketika permintaan kredit pulih. Kedua, menyesuaikan harga komoditas yang diatur pemerintah. Kenaikan bertahap dan ketersediaan adalah kunci untuk mengendalikan ekspektasi inflasi.
Ketiga, underutilisasi kebijakan SKB-3 juga perlu diperhatikan jika kondisi ekonomi terus membaik. Hal ini penting, karena pembelian obligasi oleh bank sentral di pasar primer selama periode inflasi dapat meningkatkan jumlah uang beredar secara signifikan, meningkatkan risiko pada sektor keuangan.
Hal-hal tersebut akan terus mengkhawatirkan pasar modal Indonesia di masa pemulihan ekonomi dan tingginya harga komoditas. Mari kita semua berharap agar Indonesia mendapatkan lebih banyak keuntungan dari tingginya harga komoditas saat ini dan kembali ke kondisi ekonomi yang normal secepat mungkin. {*}
*) Dwi Angger Retno Ningsih, Mahasiswa Jurusan Agribisnis, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).