Catatan Pinggiran SUHARTOKO*
Rabu Pon, 27 November 2024 hari ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia punya gawe besar. Lewat Komisi Pemilihan Umum (KPU), di negeri ini berlangsung hajatan politik: Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak. Di daerah masing-masing, masyarakat yang telah memiliki hak suara bakal memilih pasangan calon (paslon) gubernur/wakil gubernur dan bupati/wakil bupati, atau wali kota/wakil wali kota.
Salah satu fenomena menarik yang mewarnai pesta demokrasi ini adalah maraknya paslon tunggal dalam hajatan Pilkada serentak 2024. Artinya, di sejumlah daerah di Indonesia –dalam pelaksanaan Pilkada serentak– hanya memiliki satu paslon yang oleh KPU akan dipertndingkan dengan kolom atau kotak kosong.
Meski secara riil tidak ada lawan dalam kontestasi Pilkada, paslon tunggal tak bisa leha-leha menapaki tahapan-tahapan Pilkada yang telah terjadwal. Perlawanan khusus dari relawan kotak kosong menggema di mana-mana. Dibilang demikian, karena bentuk perlawanannya tidak berangkat dari partai politik (parpol) yang lazim mengusung dan mendukung paslon, tetapi justru dari parlemen jalanan yang lahir dari rahim relawan atau elemen masyarakat yang kecewa dan terpinggirkan.
Mereka memilih menjatuhkan dukungan kepada kolom atau kotak kosong, yang oleh sebagian masyarakat dinamai bumbung kosong. Deklarasi dukungan pun menguat di sejumlah simpul-simpul massa yang melakukan penguatan terhadap eksistensi kotak kosong. Wujudnya memang kotak kosong, tidak ada paslon, tetapi eksistensi sejatinya tidaklah kosong.
Muncul kelompok atau bahkan aliansi yang menyatukan berbagai elemen masyarakat yang menolak fenomena paslon tunggal. Bagi kelompok ini, fenomena maraknya paslon tunggal merupakan pertanda matinya demokrasi. Sebagai perlawanan atas terpasungnya aspirasi –karena tidak ada alternatif paslon– mereka lalu beramai-ramai mendeklarasikan dukungan terhadap kotak kosong.
Dinamakan kotak kosong, karena meski penyelenggara Pilkada, dalam hal ini KPU yang telah menetapkan paslon tunggal, pada surat suara Pilkada tetap disediai kolom pilihan khusus untuk mengakomodasi pemilik suara yang menolak paslon tunggal dalam menyalurkan aspirasi politiknya.
Di seluruh wilayah Indonesia, berdasarkan data Sekretariat KPU, Pilkada serentak dipastikan bakal diikuti oleh 37 paslon tunggal. Dari 37 paslon tunggal itu, Provinsi Papua Barat merupakan satu-satunya yang akan menghelat pemilihan gubernur dan wakil gubernur melawan kolom atau kotak kosong.
Dari 37 paslon tunggal itu pula, terdapat 5 kota yang akan memilih wali kota/wakil wali kota. Kelimanya adalah Kota Pangkal Pinang (Provinsi Kepulauan Bangka Belitung), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), Kota Tarakan (Kalimantan Utara), dan dua di Jawa Timur, yakni Kota Pasuruan dan Kota Surabaya. Masih di Jawa Timur, selain kedua Kota tersebut, sebaran paslon tunggal juga terdapat di tiga kabupaten, yakni Kabuaten Trenggalek, Ngawi, dan Gresik.
Jika dicermati, lahirnya para relawan yang kemudian membentuk aliansi untuk mendukung kotak kosong (tanpa paslon), paling tidak karena dipicu dua hal. Pertama, ia lahir akibat kekecewaan sebagian elemen masyarakat akan penyelenggaraan Pilkada yang dinilai menafikan eksistensi demokrasi. Partai politik (Parpol) yang semestinya memiliki peluang untuk mengusung paslon, justru memilih “menggadaikan” haknya dalam konsesi pragmatis, lalu seperti tengah berada dalam kenduri politik dan beramai-ramai mendukung dan mengusung paslon tunggal.
Kedua, dukungan terhadap gerakan kotak kosong merupakan bentuk perlawanan sekaligus meledek parpol. Mereka ingin menunjukkan kepada para elite parpol, bahwa perlawanan masih bisa dilakukan terhadap paslon tunggal di tengah mati surinya peran parpol yang memiliki hak konstitusional dalam menghadirkan paslon untuk berkontestasi dan menjadi alternatif pilihan masyarakat yang memiliki hak suara.
Akan efektifkah gerakan dukungan kotak kosong dan mampukah mengalahkan paslon tunggal dalam Pilkada serentak yang berlangsung hari ini? Kalau mau jujur, sesungguhnya peluang kotak kosong untuk mengalahkan paslon tunggal, apalagi jika paslon itu datang dari petahana (incumbent), sangatlah kecil. Meski harus disadari, bahwa dalam dunia politik tidak ada yang tidak mungkin. Dan, Provinsi Sulawesi Selatan adalah bukti nyata yang dalam pelaksanan Pilkada serentak sebelumnya, mampu memenangkan kotak kosong dari paslon tunggal.
Memang, kalkulasi matematik-politis, secara rasional rasanya berat untuk bisa mengalahkan paslon tunggal. Pasalnya, selain tidak memiliki mesin politik yang mampu bekerja efektif sebagaimana dimiliki parpol, relawan kotak kosong tidak didukung oleh tersedianya kekuatan “amunisi” dan logistik yang mampu menjangkau calon pemilih dalam jumlah yang signifikan.
Sementara paslon tunggal memiliki segalanya. Ya adanya mesin politik dari partai-partai pengusung dan pendukungnya, ya tersedianya loyalitas tim sukses dan relawan yang dibentuk. Tak kalah pentingnya dan ini justru menjadi penentu, kesiapan “amunisi” dan logistik berupa pendanaan yang memadai. Prediksi penulis, bisa meraih suara 25-30 persen saja, itu sudah cukup bagus bagi pendukung dan pejuang kotak kosong.
Sekali lagi, kalkulasi matemtik-politis itu bukan tidak disadari oleh para relawan ataau aliansi pendukung kotak kosong. Ada hal fundamental yang mereka tancap-tegakkan dalam spirit perjuangan mereka, bahwa demokrasi tidak boleh mati dan dimatikan.
Kalah atau menang itu konsekuensi logis yang harus diterima dalam berkontestasi. Tetapi, tegaknya keberlangsungan nafas demokrsi adalah harga mati, meski harus berjibaku dalam bingkai dan perspektif parlemen jalanan. Wallahu a’lam bisshawaf. {*}
*) SUHARTOKO, Pemimpin Redaksi RadarJatim.id.