Oleh Moch. Fikri Dwi Firmansyah
Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis yang luas dan kaya keanekaragaman hayati, saat ini tengah menghadapi krisis deforestasi yang mengkhawatirkan. Laju kerusakan hutan yang terus meningkat tidak hanya mengancam ekosistem dan lingkungan hidup, tetapi juga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang serius. Di tengah situasi ini, reformasi administrasi publik menjadi kunci penting dalam upaya mengatasi permasalahan deforestasi, namun tantangan besar masih membayangi efektivitas reformasi tersebut.
Deforestasi di Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak beberapa dekade terakhir, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan pertanian intensif telah menjadi penyebab utama hilangnya tutupan hutan. Data menunjukkan, bahwa setiap tahunnya, jutaan hektar hutan hilang, yang tidak hanya merusak habitat flora dan fauna, tetapi juga memperburuk perubahan iklim global melalui peningkatan emisi karbon. Kebakaran hutan yang sering terjadi –terutama di lahan gambut- semakin memperparah kondisi ini dengan dampak kabut asap yang meluas hingga ke negara tetangga.
Namun, akar permasalahan deforestasi tidak hanya terletak pada aktivitas ekonomi semata. Sistem administrasi publik yang lemah dan birokrasi yang rentan korupsi turut berkontribusi pada krisis ini. Reformasi administrasi publik yang digagas sejak era reformasi bertujuan untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Sayangnya, dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, reformasi ini belum berjalan optimal.
Salah satu tantangan utama adalah politisasi birokrasi yang masih kental. Banyak pejabat publik yang lebih mengutamakan kepentingan politik dan kelompok tertentu dibandingkan kepentingan publik dan keberlanjutan lingkungan. Hal ini menyebabkan kebijakan pengelolaan hutan sering
tumpang tindih dan tidak konsisten, bahkan cenderung menguntungkan korporasi besar yang memiliki akses politik kuat. Akibatnya, pengawasan terhadap aktivitas ilegal seperti penebangan liar dan alih fungsi lahan menjadi lemah.
Selain itu, kapasitas sumber daya manusia di sektor administrasi publik juga menjadi kendala. Banyak aparat yang belum memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai dalam mengelola program-program lingkungan yang kompleks. Kurangnya pelatihan dan pengembangan kompetensi membuat implementasi kebijakan sering kali tidak efektif dan tidak sesuai dengan tujuan awal reformasi.
Korupsi juga menjadi persoalan serius yang menghambat upaya penyelamatan hutan. Praktik suap dan kolusi antara pejabat dan pelaku usaha ilegal memperbesar risiko kerusakan hutan. Meski pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi dan program pencegahan korupsi, implementasinya masih jauh dari harapan. Hal ini menunjukkan perlunya penguatan sistem pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas.
Untuk mengatasi krisis deforestasi, reformasi administrasi publik harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pertama, perlu adanya komitmen politik yang kuat dari seluruh elemen pemerintahan untuk menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas utama. Kebijakan harus dibuat berdasarkan data dan kajian ilmiah yang akurat, serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan pemangku kepentingan.
Kedua, birokrasi harus dibersihkan dari praktik korupsi dan nepotisme melalui mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat. Penggunaan teknologi informasi dapat membantu memantau aktivitas pengelolaan hutan secara real-time dan membuka akses informasi kepada publik.
Ketiga, peningkatan kapasitas aparatur negara melalui pelatihan dan pendidikan lingkungan menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Aparat yang kompeten akan mampu merancang dan melaksanakan kebijakan yang efektif serta adaptif terhadap dinamika sosial dan lingkungan.
Keempat, reformasi administrasi publik harus diiringi dengan penguatan kelembagaan, termasuk pemberdayaan lembaga pengawas independen dan penegak hukum. Penindakan tegas terhadap pelanggaran menjadi sinyal kuat bahwa kerusakan hutan tidak akan ditoleransi.
Akhirnya, krisis deforestasi di Indonesia bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga cerminan dari tantangan besar dalam tata kelola pemerintahan. Reformasi administrasi publik yang berhasil akan menjadi fondasi kuat untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan adil. Tanpa perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan, upaya penyelamatan hutan akan sulit tercapai, dan generasi mendatang akan mewarisi kerusakan yang jauh lebih parah.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang mampu menjaga hutan dan lingkungan hidupnya secara baik, asalkan ada sinergi antara kebijakan yang tepat, birokrasi yang bersih, dan partisipasi aktif masyarakat. Reformasi administrasi publik adalah jalan yang harus ditempuh dengan serius dan konsisten demi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. (*)
Moch. Fikri Dwi Firmansyah, Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.