Oleh Ali Mursyid Azisi*
Wacana libur sekolah selama Ramadhan 2025 mencuat dan menyita perhatian publik. Ini terkonfirmasi oleh Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi’i di penghujung tahun 2024 lalu. Meski belum dikaji lebih lanjut dan serius oleh jajaran Kementrian Agama (Kemenag) maupun Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), namun ini menyisakan pertanyaan mendasar apa alasan diliburkannya sekolah selama Ramadhan yang sebelumnya justru dinilai produktif dalam kegiatan sosial-keagamaan.
Kebijakan libur selama Ramadhan (sebulan penuh, Red) sebelumnya pernah diterapkan pemerintahan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) pada 1999 sewaktu menjabat presiden, namun tidak bertahan lama. Tahun berikutnya, kebijakan libur sekolah kembali ke “setelan pabrik”, yaitu awal puasa dan menjelang Idul Fitri saja. Jika menilik kembali ke belakang, kebijakan semacam ini pernah diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebelum masa kemerdekaan. Pemerintah kolonial meliburkan sekolah binaannya dari tingkat dasar, yaitu Hollandsch Inlandsche School (HIS) atau Sekolah Dasar Bumiputra hingga menengah atas, yakni Algemeene Middelbare School (AMS) dan Hoogere Burger School (HBS).
Lalu di masa kepemimpinan Soekarno pun demikian, sempat pemerintah menghentikan kegiatan resmi dan tidak resmi untuk sementara waktu. Tujuan utamanya supaya umat Muslim Indonesia dapat menjalankan puasa dengan fokus, khusyuk dan tidak terbebani oleh kegiatan-kegiatan yang menghambat ibadah. Namun, kebijakan libur di bulan Ramadhan ini pada masa Presiden Soeharto, melalui Daoed Joesoef sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan diubah menjadi lebih singkat. Atas kebijakan tersebut, sempat terjadi perdebatan hebat di kalangan Muslim. Hingga akhirnya, pada 16 Mei 1978 dalam forum pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Daoed menyatakan, bahwa libur sebulan penuh selama Ramadhan merupakan kebijakan pembodohan dari pemerintah kolonial.
Kini, wacana ini kembali diangkat hingga memantik respon berbagai pihak mulai dari instansi lintas kementerian, akademisi, organisasi keagamaan, guru, hingga masyarakat secara umum. Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tahun 2025, hanya terdapat 27 hari libur yang terdiri atas 10 hari cuti bersama dan 17 libur nasional, sementara libur selama Ramadhan tidak tercantum dalam keputusan tersebut. Relevankah kebijakan tersebut diterapkan (kembali) di era saat ini? Meski terdapat beberapa pihak yang mendukung, namun tidak sedikit pula kalangan yang cenderung kontra atas wacana tersebut.
Libur Satu Bulan: Bagaimana Kualitas Pelajar?
Libur satu bulan bagi pelajar untuk apa? Kira-kira ini pertanyaan mendasar yang perlu dijawab pemangku kebijakan ke ruang publik. Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, lalu bagaimana nasib pelajar yang non-Muslim? Apakah terimbas turut libur atau justru tetap masuk sekolah? Jikalau tidak ada alasan yang mendasar, maka pemerintah perlu mengkaji ulang secara serius, tidak hanya bertumpu pada kebijakan yang dibuat instan, namun sekiranya memberikan manfaat yang maksimal bagi siswa.
Jika kebijakan ini diterapkan, mau diisi apa kegiatan siswa selama libur? Pertanyaan ini mungkin tidak menjadi masalah bagi sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan yayasan berbasis pesantren, sebab masih terjaganya tradisi mengaji kilatan, tadarus al-Quran dan aktivitas keagamaan yang memang mengakar. Bagaimana nasib sekolah umum (formal) yang berada di naungan pemerintah? Apakah menjamin akan lebih produktif meng-upgrade kesalihan sosial, spiritual, dan intelektual di luar sekolah? Justru terkesan membuang momen spesial Ramadhan untuk meningkatkan kesalihan intelektual, sosial dan spiritual.
Selain terkesan pilih kasih terhadap agama tertentu terkait hari-hari yang disucikan, wacana libur sebulan penuh ini juga menimbulkan polemik dan meninggalkan pertanyaan lainnya, yaitu mampukah kita mengejar ketertinggalan? Fakta yang perlu direnungkan sesuai data dari International Institute for Management Development (IMD), bahwa peringkat (ranking) kualitas pendidikan Indonesia saat ini terbilang tertinggal dibanding negara tetangga, yaitu menempati urutan ke-57-58 dunia. Ketertinggalan daya saing Indonesia secara keseluruhan menempati peringkat ke-27 dunia, dengan skor 71,52. Sedangkan di level Asia Tenggara menempati peringkat ketiga di bawah Singapura dan Thailand. Lalu daya saing SDM Indonesia menempati posisi ke-46 dunia. Ini tidak lepas dari lemahnya pendidikan akhlak dan pengetahuan keagamaan yang menyebabkan pelajar tersandung kasus-kasus kriminal layaknya judi online, kekerasan, pinjaman online, dan tindakan negatif lainnya
Ketertinggalan di berbagai sektor tidak terlepas dari rendahnya kualitas SDM yang dimulai dari bangku sekolah. Jika sekolah diliburkan dengan alasan fokus beribadah, maka aspek ibadah lain seperti kewajiban belajar dan interaksi sosial jadi terkesampingkan. Proses belajar-mengajar, terlebih pendalaman ilmu agama bagi siswa di sekolah umum termasuk kegiatan positif yang patut diapresiasi. Ini merupakan bekal spiritual yang urgent bagi mereka yang belum berkesempatan belajar agama di pesantren. Aspek intelektual jalan, bekal sosial dan spiritual juga perlu ditingkatkan. Jika elemen ini hilang dengan adanya kebijakan libur selama Ramadhan, maka pemerintah secara tidak langsung tengah meninabobokan aset emas bangsanya. Maka, jangan disalahkan jika kualitas pelajar nir-akhlak, minim pengetahuan agama dan tertinggalnya ketajaman intelektualitas di masa depan.
Kesalihan dapat Dibentuk di Sekolah
Sejatinya, kegiatan Ramadhan di sekolah itu asyik. Aspek fundamental yang kerap dikesampingkan di sekolah umum (formal) adalah kesalihan sosial dan spiritual. Kerap sekolah hanya memintarkan aspek intelektual semata, namun nihil dalam segi sosial dan spiritual. Maka, dengan tidak meliburkan sekolah di bulan Ramadhan (sebulan penuh) merupakan bekal penting untuk menambal kelemahan-kelemahan bagi mereka yang haus agama di luar pesantren.
Sebagaimana mestinya, ketika Ramadhan, kita dapat menjumpai berbagai kegiatan di sekolah yang dapat mengasah kesalihan sosial dan spiritual. Upaya meng-upgrade kesalihan sosial ini penekanan menjaga hubungan baik antarsiswa, sedekah bersama, bagi-bagi takjil, hingga menerapkan sikap moderasi terhadap teman non-Muslim (habl min al-nass).
Sebagai makluk sosial, manusia tidak terlepas dari hubungan dengan manusia lain, tanpa terkecuali di bulan Ramadhan. Dalam perspektif sosiologi, George Herbert Mead dan Erving Goffman menyatakan, bahwa interaksi sosial sebagai bentuk aktivitas individu bisa menjadi buih pembentuk kepribadian setiap orang. Dengan tetap menjaga interaksi dan bersosial timbal balik (interstimulasi) selama Ramadhan maka kesalehan sosial tidak akan pernah padam.
Sedangkan upaya meningkatkan kesalihan spiritual (habl min Allah) dapat berupa kegiatan pesantren Ramadhan, pelatihan menjadi imam tarawih, pelatihan membaca al-Quran, lomba kultum, bahkan pendalaman materi keagamaan. Ini merupakan kegiatan positif yang harus didukung pemerintah supaya calon generasi emas masa depan bangsa tidak mengandalkan intelektualitasnya, namun juga cerdas dalam segi sosial dan spiritual.
Wacana libur selama Ramadhan itu sejatinya meninabobokan bangsa. Jika dulu kolonial meninabobokan untuk mematikan intelektual bangsa Indonesia. Sekarang, justru dengan adanya wacana ini sejatinya generasi bangsa tengah dininabobokan dengan cara ditumpulkan spiritual dan sosialnya secara perlahan. Dan ini, menuai efek berantai yang menjadi faktor ketertinggalan kualitas pendidikan dan SDM di Indonesia di masa depan. {*}
*) Ali Mursyid Azisi, Researcher, Cendekiawan Muda NU, Pengurus PW LTN NU Jatim 2024-2029 dan Anggota Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.