Seorang kiai dalam sebuah bukunya sangat rapi “menampar” para pembacanya: “Nabi Ibrahim lulus tatkala diuji untuk rela melepaskan nyawa Ismail, sehingga oleh Allah kemudian digantikan dengan seekor kambing yang tersembelih. Sementara kita melepas seribu dua ribu rupiah kepada pengemis saja susahnya bukan main.”
Saya lupa-lupa ingat kalimat persisnya dari tulisan Pak Kiai tersebut. Saya juga tak menyebut nama beliau, karena khawatir saya akan “disembelih” dengan anggapan mengkultuskan, menyembah-nyembah, mengidolakan, dan seterusnya. Saya jauh-jauh menemui beliau dan salaman cium tangan saja, dianggap fanatik tokoh.
Padahal, saya biasa-biasa saja tatkala entah ada siapa kuliah ke luar kota atau bahkan keluar negeri. Apakah kalau ada hamba Allah dari Indonesia berguru kepada seorang syekh yang sangat jauh di Mesir, lantas kita tuduh fanatik dan menyembah syekh asal Mesir?
Apakah jutaan kaum Muslimin yang kini menunaikan ibadah haji di Mekkah, sholat di depan ka’bah dan mencium hajar aswad, kita simpulkan mereka sedang menyembah ka’bah dan batu hitam? Apakah sholat kita bisa dipastikan benar-benar menyembah Allah atau menyembah mertua agar warisannya cair terus kepada kita?
Semua tergantung niatnya. Nabi Ibrahim rela menyembelih putranya demi taat kepada perintah Allah. Ujian loyalitas Ibrahim kepada Allah sangat berat. Kita bisa naik haji saja terkadang sudah merasa “sejajar” dengan para nabi. Omongan kita, usul kita, perilaku kita, semua masyarakat diharuskan “menabikan” kita.
Hari ini, kita perlu menanyakan kembali loyalitas diri kita masing-masing. Loyalitas memojokkan kita hanya pada dua pilihan: iya atau tidak, mau melaksanakan atau tidak. Mau naik haji monggo, tidak naik haji juga monggo. Kalau naik haji ke Gunung Kidul dianggap sudah naik haji, loyalitas kita kepada Tuhan perlu dipertanyakan. (Moh. Husen)