Oleh Andhika Wahyudiono*
Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah menjadi strategi utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Strategi ini diterapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengungkap dan menanggulangi praktik korupsi, khususnya suap dan pungutan liar, yang merajalela di sektor publik.
OTT kerap dianggap sebagai langkah tegas yang memberikan sinyal kuat terhadap komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi. Namun, meskipun memiliki hasil yang signifikan, penerapan OTT juga menghadirkan sejumlah persoalan hukum dan etika yang perlu dikritisi. Salah satu kritik utama terhadap OTT adalah ketidaksesuaian antara praktik tersebut dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Meskipun KPK terus mengandalkan OTT sebagai alat utama untuk memberantas korupsi, konsep ini belum diatur secara rinci dalam hukum acara pidana Indonesia, yang menimbulkan pertanyaan mengenai sah dan tidaknya pelaksanaannya. Berbagai ketidakjelasan mengenai dasar hukum, terutama terkait penggunaan teknik penyadapan dalam OTT, menjadi sorotan utama dalam perdebatan ini.
Selain itu, meskipun OTT sering terbukti efektif dalam mengungkap kasus korupsi besar, namun pelaksanaan tindakan ini juga dapat berdampak pada reputasi institusi yang terlibat. Kekuatan dan kelemahan OTT harus dianalisis lebih lanjut untuk menentukan sejauh mana strategi ini dapat dipertahankan atau bahkan disempurnakan.
Keberlanjutan OTT di bawah kepemimpinan KPK yang baru, khususnya dengan Setyo Budiyanto yang menjabat sebagai ketua, menunjukkan tekad yang kuat untuk terus memerangi korupsi melalui pendekatan ini. Setyo optimistis, bahwa OTT akan tetap menjadi alat yang efektif dalam mengungkap skandal besar yang menggerogoti negeri ini. Setyo bahkan menegaskan, bahwa OTT akan terus dilaksanakan dan dilanjutkan selama masa jabatannya, meskipun ada pandangan berbeda dari beberapa kandidat pimpinan KPK lainnya.
Johanis Tanak, yang sempat diusulkan menjadi pimpinan KPK, mengkritik OTT dengan alasan, bahwa istilah tersebut tidak sesuai dengan definisi yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maupun ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Tanak, istilah ‘tangkap tangan’ merujuk pada peristiwa yang terjadi secara langsung, tanpa perencanaan sebelumnya, sementara dalam praktik OTT sering melibatkan penyadapan dan persiapan matang. Pandangan Tanak ini menggugah pemikiran tentang relevansi dan keakuratan istilah OTT dalam konteks hukum yang berlaku, serta tantangan dalam penegakan hukum yang semakin kompleks.
Diskusi mengenai kelanjutan dan perbaikan OTT menjadi sangat relevan ketika mempertimbangkan dampak jangka panjang dari strategi ini. Meskipun OTT memiliki potensi besar untuk mengungkap korupsi, kritik terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia juga tidak bisa diabaikan. Penyadapan yang kerap dilakukan dalam rangka OTT menimbulkan kekhawatiran tentang pelanggaran privasi individu.
Tidak hanya itu, pengaruhnya terhadap persepsi publik juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Beberapa kalangan berpendapat, bahwa OTT memberikan dampak negatif terhadap citra lembaga penegak hukum yang terlibat, terutama jika penangkapan dilakukan tanpa bukti yang kuat atau proses hukum yang transparan. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah OTT benar-benar efektif dalam mengurangi angka korupsi, ataukah justru memperburuk hubungan antara rakyat dan lembaga penegak hukum?
Selanjutnya, perlu dicermati, bahwa meskipun banyak pihak yang mendukung keberlanjutan OTT, tetap terdapat tantangan besar dalam penerapannya. Salah satunya adalah ketergantungan pada laporan masyarakat sebagai sumber informasi. Satgas Saber Pungli, misalnya, lebih mengandalkan laporan dari publik untuk melakukan tindakan. Hal ini tentu berpotensi menciptakan bias dalam pengungkapan kasus dan berisiko menargetkan individu yang mungkin tidak terlibat dalam praktik korupsi.
Meski demikian, penting untuk diakui, OTT memberikan sinyal yang jelas, bahwa negara tidak menoleransi korupsi dalam bentuk apa pun. Keberlanjutan kebijakan ini, jika diterapkan dengan lebih selektif dan sistematis, dapat menghasilkan dampak yang lebih besar dalam jangka panjang.
Perubahan kebijakan dalam OTT di bawah pimpinan KPK yang baru, yang menyarankan agar pelaksanaannya diatur lebih rinci dan lebih selektif, menunjukkan adanya upaya untuk meningkatkan kualitas penegakan hukum. Rencana untuk mengevaluasi –dan mungkin mengubah– istilah OTT atau teknis pelaksanaannya, seperti yang disampaikan oleh Setyo Budiyanto, merupakan langkah yang positif.
Hal ini mencerminkan keinginan KPK untuk beradaptasi dengan dinamika hukum yang terus berkembang, sekaligus mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk kritik terhadap terminologi dan teknis pelaksanaan OTT. Perubahan ini, meskipun mungkin tidak sepenuhnya menghilangkan kontroversi, diharapkan dapat menghasilkan implementasi yang lebih efektif dan tepat sasaran, sehingga OTT tetap dapat menjadi alat yang sah dan diterima dalam pemberantasan korupsi.
Kritik terhadap OTT juga datang dari segi etik dan sosial. Beberapa kalangan menilai, bahwa penggunaan OTT dapat menciptakan iklim ketakutan di kalangan pejabat publik dan sektor swasta. Ketakutan akan terjebak dalam operasi OTT dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dan melakukan transaksi di dalam pemerintahan, bahkan jika transaksi tersebut sah. Ini menciptakan dilema moral, di mana pejabat mungkin merasa enggan mengambil keputusan penting yang dapat memajukan negara, dengan kekhawatiran akan tindakan OTT yang menjerat mereka.
Selain itu, meskipun OTT dianggap efektif dalam mengungkap tindak pidana korupsi, keberhasilan dalam menangkap pelaku belum tentu diikuti oleh proses hukum yang adil dan transparan. Oleh karena itu, meskipun OTT dapat menghasilkan banyak penangkapan, kualitas peradilan dan kesetaraan hukum tetap harus dijaga agar tujuan pemberantasan korupsi tidak tercoreng oleh penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam kesimpulannya, meskipun OTT telah terbukti menjadi alat yang efektif dalam mengungkap kasus korupsi, pelaksanaannya harus diatur secara lebih hati-hati dan transparan. KPK di bawah pimpinan Setyo Budiyanto berkomitmen untuk terus melanjutkan OTT, namun dengan pendekatan yang lebih selektif dan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak.
Di sisi lain, kritik terhadap OTT terkait dengan ketidaksesuaian istilah, pelanggaran hak asasi manusia, dan potensi kerusakan reputasi lembaga penegak hukum, perlu diperhatikan. Evaluasi dan perubahan terhadap pelaksanaan OTT harus dilakukan agar kebijakan ini dapat menjadi lebih relevan, efektif, dan tetap dipercaya oleh masyarakat dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. {*}
*) Andhika Wahyudiono, Dosen UNTAG Banyuwangi.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.