Catatan Pinggiran SUHARTOKO
Ketika mendapat undangan via WhatsApp (WA) dari sahabat saya, Dewi Musdalifah, untuk menghadiri diskusi buku karya terbarunya, tanpa banyak menawar, saya langsung menyatakan, siap insya Allah bergabung. Saya lebih tertarik menghadiri diskusi buku kumpulan cerpen berlabel Jalan Kecil itu begitu mendapat kabar, bahwa para pembahas dalam diskusi yang diinisiasi Yayasan Gang Sebelah, Sabtu, 6 Mei 2023 malam itu ternyata menghadirkan pembahas yang sebagian besar justru bukan “orang sastra”.
Dari 9 pembahas diskusi bertajuk “Menyusuri Buku JALAN KECIL” karya Mak Dewi, demikian saya biasa menyapa Dewi Musdalifah, hanya 2 orang yang oleh panitia “dilabeli” pegiat sastra. Sementara 7 lainnya berasal dari aktivis perempuan, perupa (pegiat seni rupa), pengacara, guru, pegiat kesenian, sejarahwan, juga jurnalis.
Jujur, baru kali ini saya mendapat undangan diskusi buku dengan pembahas yang sebagian besar justru bukan dari “ahlinya”. Saya penasaran dan menebak-nebak, kira-kira bagaimana alur diskusi dengan perspekrtif beragam seperti itu. Namun, itulah unik dan menariknya, sehingga membuat saya tidak kuasa menolak undangan yang dihelat di kedai kopi Gresiknesia di Jalan Nyai Ageng Arem-arem kota Gresik tersebut.
Lebih dari itu, kebetulan saya juga sudah lama merindukan diskusi dan membersamai para pegiat sastra. Sebuah kedemenan (kesukaan) yang sudah teramat lama saya tinggalkan. Sebuah kesukaan yang begitu akrap saya geluti ketika masa kuliah di IKIP Surabaya, yang kini telah berganti nama menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.

Dan benar, di kafe dengan balutan lampu-lampu yang temaram, diskusi memang berlangsung gayeng. Para pembahas, –dengan perspektif masing-masing— menyuguhkan apresiasi beragam atas apa yang terbungkus dalam buku yang dieditori pegiat sastra dan budaya, S. Jai Kumara itu. Diskusi pun mengalir deras laksana tanpa sekat, meski menghadirkan para pembahas yang beragam disiplin ilmu.
“Saya memang ingin mendapat respon yang beragam dari orang-orang yang (mungkin) tidak mengenal sastra. Saya ingin dapat banyak masukan sebagai bekal untuk karya berikutnya. Ini diskusi sastra kontekstual,” ujar Mak Dewi yang kemudian saya timpali dengan istilah ‘diskusi kontemporer’.
Terlepas dari beragamnya respon atas resepsi masing-masing pembahas, apalagi kemudian mengundang tanggapan peserta, bagi saya, diskusi kali ini seperti oase di padang gersang. Betapa tidak, saya yang telah belasan tahun berburu komunitas sastra di kota pudak Gresik ini, mulai menemukannya. Karena itu, ketika berpamitan pulang seusai diskusi tengah malam itu, saya berbisik ke salah seorang panitia dari Yayasan Gang sebelah.
“Terima kasih telah mengundang saya ikut diskusi ini. Mohon, kalau bisa acara beginian dirutinkan, paling tidak sebulan sekalilah”.
Mak Dewi telah meninggalkan prasasti untuk melegitimasi dirinya sebagai pegiat sastra dalam bentuk buku kumpulan cerpen ini. Ya, buku Jalan Kecil yang memuat 16 cerpen ini telah menjadi tetenger betapa eksistensi penulis akan lebih berarti ketika mampu meninggalkan jejak berupa karya yang terpahat dalam dinding hati dan pikiran pembacanya.
Sukses sahabatku, Dewi Musdalifah. {*}
*) SUHARTOKO, Pemimpin Redaksi RadarJatim.id.







