Catatan Pinggiran SUHARTOKO*
Dinamika politik bisa jadi fenomena lumrah dalam praktik di panggung atau jagat demokrasi. Perubahan sikap, baik yang terskenario rapi maupun mendadak, spontan, dan sporadis tak jarang melingkungi perkembangan politik dari masa ke masa.
Langkah-langkah kejutan sebagai implementasi kebijakan elite partai pun kerap mewarnai panggung politik, termasuk dalam hajatan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak yang diagendakan berlangsung pada Rabu, 27 November 2024. Tak heran, dalam menetukan mitra koalisi antarpartai untuk mengusung dan mendukung pasangan calon (paslon), baik untuk Pilkada gubernur/wakil gubernur maupun bupati/wakil bupati ataupun wali kota/wakil wali kota, zig-zag politik dianggap sebagai hal wajar dan sah-sah saja.
Yang menjadi tidak wajar adalah ketika partai, entah itu sendiri atau berkoalisi, yang sebenarnya memenuhi syarat untuk mengusung paslon maju dalam kontestasi Pilkada, memilih menggadaikan dan menukar peluang yang ada dengan konsesi politik pragmatis. Apalagi ketika jauh-jauh hari sebelum masa pendaftaran paslon di Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah masing-masing, mereka telah tebar pesona dengan memajang bakal calonnya lewat baliho atau spanduk di ruang-ruang publik.
Ini tentu bisa mencederai atau bahkan mengkhianati rakyat pemberi suara saat Pemilu legistif (Pileg) yang berlangsung pada Februari 2024 lalu. Umumnya pemberi suara dalam Pileg itu tentu menjatuhkan dukungan dan pilihan kepada calon anggota legistalif dengan ekspektasi agar partainya kelak mengusung calon kepala daerah dari kader sendiri atau figur yang dinilai memiliki kompetensi optimum dalam memimpin daerah, baik di tingkat kabupaten/kota ataupun provinsi.
Karena itu, baik melalui struktur politik maupun relawannya, beberapa bulan sebelum masa pendaftaran paslon di KPU, sosialisasi dilakukan agar jago yang digadang-gadang mendapat perhatian dan simpati publik pemilik suara. Gerakan “memasarkan” calon kepala daerah yang mereka lakukan pun begitu masif untuk menembus ruang-ruang publik guna meluluhkan pertahanan pemilik suara.
Dinamika politik begitu terasa saat mencari, menjodohkan, dan menentukan paslon gubernur dan wakil gubernur. Demikian juga terhadap paslon bupati dan wakil bupatu, serta wali kota dan wakil wali kota. Ketika paslon telah final di tingkat partai pengusung di daerah, penetrasi terhadap masyarakat pemilik suara pun dilakukan secara terus menerus, termasuk menyewa jasa lembaga survey bayaran untuk mengangkat elektabilitas paslon, sehingga layak dan ideal untuk dipertandingkan.
Sarana komunikasi publik, seperti spanduk, baliho dan sejenisya disebar di berbagai penjuru kawasan untuk menarik perhatian dan dukungan masyarakat. Demikian juga distribusi informasi lewat berbagai platform media dengan tujuan menggiring dan mempengaruhi opini publik, juga terus dilakukan.
Tetapi, upaya-upaya penggalangan dan pengondisian tersebut menjadi sia-sia dan sama sekali tak berarti ketika partai yang memiliki hak mengusung paslon melakukan aksi zig-zag dan drama politik di luar nalar publik pendukungnya. Betapa tidak, partai dan sang calon yang semula menggebu-gebu meminta dukungan masyarakat pemilik suara, tiba-tiba meninggalkan mereka dalam penentuan final paslon yang diusung dan didukung.
Ini terjadi karena paslon yang diusung partai di tingkat daerah gagal karena “diveto” oleh pimpinan pusat masing-masing partai, tentu dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang dijadikan pembenar. Akhirnya, besarnya harapan dan ekspektasi publik terhadap calon pemimpin daerah yang digadang-gadang pun sirna.
Hal ini banyak terjadi, terutama pada daerah yang –akhirnya– hanya memiliki satu paslon, atau paslon tunggal, termasuk untuk Pilkada di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Di Gresik, semula paling tidak muncul tiga calon bupati yang siap berkompetisi memperebutkan posisi pucuk pimpinan di kota santri ini. Mereka adalah: calon petahana Fandi Akhmad Yani, Asluchul Alif, dan M. Syahrul Munir.
Beberapa bulan sebelum memasuki masa pendaftaran bakal calon yang ditentukam KPU, ketiganya sangat getol berebut simpati rakyat agar mendukungnya dalam pencalonan sebagai bupati Gresik periode 2024-2029. Langkah serius mereka bisa dilihat dari komunikasi intensif ke simpul-simpul massa, baik dilakukan sendiri maupun bersama tim sukses yang mereka bentuk.
Ribuan media komunikasi publik di antaranya berupa spanduk, pamflet, juga baliho sudah terpampang di di mana-mana, di seluruh wilayah Kabupaten Gresik. Intinya sama: mereka memproklamsikan diri sebagai calon bupati yang layak dipilih oleh rakyat. Biasa, promo kecap selalu nomor 1.
Gayung bersambut, rakyat pun secara berangsur-angsung terbentuk dalam kelompok-kelompok dukungan terhadap ketiga figur yang secara terang-terangkan telah mendeklarasikan diri sebagai calon bupati. Demikian juga partai-partai peserta Pemilu 2024 yang berkonestasi pada Pileg Februari 2024 silam. Partai-partai juga telah terpolarisasi dalam dukungan kepada calon bupati, baik delapan partai peraih kursi maupun partai-partai non-parlemen yang gagal meraih kursi di DPRD Gresik.
Tetapi, betapa mengagetkan, peta politik yang semula terbagi dalam tiga kelompok dukungan yang diberikan partai kepada ketiga bakal calon bupati yang telah mendeklarikan diri, berubah total. Dalam beberapa hari menjelang pendaftaran bakal calon bupati/wakil bupati di KPU, publik disuguhi manuver politik yang membalik kenyataan, dari semula tiga calon menjadi hanya satu calon, yang kemudian finalnya menjadi paslon tunggal, yakni paslon Bupati Fandi Akhmad Yani dan Wakil Bupati Asluchul Alif.
Drama Politik Injury Time
Bahkan yang cukup dramatis, Partai Kebangkitn Bangsa (PKB) yang menjadi pemenang alias juara Pemilu legislatif dengan perolehan 14 kursi dari kuota 50 kursi parlemen di DPRD Gresik, berubah 180 derajat. Partai pemenang yang semula menggebu-gebu akan mengusung kader terbaiknya M. Syahrul Munir yang ketika itu menduduki posisi Ketua Fraksi PKB di DPRD Gresik dan berobsesi merebut kembali tampuk kepemimpinan di Gresik sepeninggal Bupati dua periode dari PKB, KH Robbach Ma’shum, harus gembos, loyo sebelum “perang” dimulai.
Lebih mencengangkan lagi, publik akhirnya mengetahui, bahwa pergeseran bandul politik itu, justru dipertontonkan pada saat enjury time, pada hari terakhir pendaftaran bacalon bupati/wakil bupati di kantor KPU Gresik di Jalan Wahidin Sudirohusodo, Gresik. Ketua DPC PKB Gresik, M. Abdul Qodir yang waktu itu masih menjabat Ketua DPRD Gresik, datang langsung ke kantor KPU Gresik untuk memberikan dukungan kepada paslon Fandi Akhmad Yani – Asluchul Alif (Yani – Alif). Maka semakin sahihlah, bahwa Pilkada Gresik hanya menghadirkan paslon tunggal dan hanya akan melawan kolom/kotak kosong.
Sebelum PKB berbalik arah menjatuhkan dukungan kepada Paslon Yani – Alif, partai-partai peraih kursi di parlemen terlebih dahulu telah menyatakan dukungan dan mengusung paslon tersebut. Tak hanya partai peraih kursi parlemen, bahkan partai-partai non-parlemen pun mendukung paslon Yani – Alif, keculai Partai Ummat (PU). Jadinya, dari 18 partai politik peserta Pemilu, paslon Yani – Alif diusung dan didukung oleh 17 partai. Nyaris sempurna!
Perlu diketahui, gelaran Pemilu legislatif 2024 di Gresik berhasil mendudukkan 50 kader partai di kursi DPRD dengan perolehan kursi beragam dan menempatkan PKB sebagai partai pemenang. Adapun sebaran perolehan kursi di DPRD Gresik hasil Pemilu legislatif 2024 adalah sebagai berikut.
1. PKB : 14 Kursi
2. Gerindra : 10 Kursi
3. PDI : 9 Kursi
4. Golkar : 6 Kursi
5. PPP : 3 kursi
6. PAN : 3 Kursi
7. Demokrat : 3 Kursi
8. Nasdem. : 2 Kursi
Sementara data di sekretariat Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, bahwa Pilkada serentak 2024 di Indonesia dipastikan bakal diikuti oleh 37 paslon tunggal. Dari 37 daerah yang hanya memiliki satu paslon, Papua Barat merupakan satu-satunya provinsi yang akan menghelat pemilihan gubernur dan wakil gubernur melawan kolom atau kotak kosong.
Terdapat 5 kota akan memilih walikota/wakil wali kota. Kelimanya adalah Kota Pangkal Pinang (Provinsi Kepulauan Bangka Belitung), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), Kota Tarakan (Kalimantan Utara), dan dua di Jawa Timur, yakni Kota Pasuruan dan Kota Surabaya. Masih di Jawa Timur (Jatim), selain kedua Kota tersebut, sebaran paslon tunggal juga terdapat di tiga kabupaten, yakni Kabuaten Trenggalek, Ngawi, dan Gresik.
Paslon tunggal dalam Pilkada serentak 2024, secara normatif memang tidak dilarang dan dibenarkan oleh perundang-undangan maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Meski hanya ada paslon tunggal, pemilik suara masih bisa menyalurkan hak suaranya, tidak hanya untuk paslon tunggal, tetapi regulasi politik masih memberikan ruang untuk menyalurkan aspirasi politiknya ke kolom/kotak kosong. Selamat memilih sesuai hati nurani, wahai sang pemilik suara. {*}
*) SUHARTOKO, Pemimpin Redaksi RadarJatim.id