Oleh SUHARTOKO*
Hari Anak Nasional (HAN) setiap tahun diperingati pada 23 Juli, demikian juga pada 2024 ini. Tetapi, begitu seluruh agenda terlewati, selalu saja menyisakan perhatian publik dan juga pemerintah yang mesti dilunasi pada tahun-tahun berikutnya. Perhatian akan masa depan anak-anak di antara isu yang selalu menyedot perhatian, terutama terkait dengan kondisi kesehatan mereka.
Salah satu yang tak lepas dari perhatian publik adalah masih tingginya tingkat stunting setiap tahunnya, tak terkecuali di tahun 2024 ini. Tak heran, HAN selalu menjadi momentum penting dan komitmen untuk melindungi anak-anak dari penyakit berbahaya, serta stunting. Untuk mewujudkannya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) selaku leading sektor kesehatan, berupaya mewujudkannya melalui dua upaya strategis. Keduanya, yakni memastikan setiap anak tumbuh dan berkembang melalui intervensi pencegahan stunting, dan melakukan perlindungan dari penyakit berbahaya, salah satunya polio.
Tahun ini, peringatan HAN mengangkat tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Tema tersebut tentu membawa konsekuensi adanya komitmen pemerintah untuk selalu melindungi anak-anak Indonesia agar tumbuh dan berkembang dengan baik untuk kemajuan bangsa. Konkretnya, kemajuan bangsa ini bisa dicapai jika negara mampu membebaskan anak-anak dari stunting yang hingga kini menyergab mereka. Mampukah?
Stunting masih menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia. Dampak stunting tidak hanya memengaruhi kondisi fisik anak, tetapi juga perkembangan kognitif dan kinerja jangka panjang mereka. Sebab, anak yang terpapar stunting umumnya didera perkembangan otak yang tidak bisa berfungsi secara optimal.
Angka stunting di Indonesia pun masih jauh dari target penurunan yang ditetapkan pemerintah sebesar 14 persen pada 2024 ini. Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting nasional tercatat sebesar 21,5 persen, turun sekitar 0,8 persen dibandingkan kondisi tahun 2022. Capaian itu masih di bawah batas maksimum yang ditentukan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen.
Juru Bicara Kemenkes M. Syahrir mengatakan, untuk mencapai target itu, pemerintah telah melakukan dua langkah intervensi, yakni intervensi gizi spesifik dan intervensi sensitif. Dijelaskan, intervensi gizi spesifik berfokus pada penanganan penyebab langsung stunting, seperti kekurangan asupan makanan dan gizi dan penyakit infeksi. Sementara intervensi gizi sensitif menyasar keluarga dan masyarakat, karena berkaitan dengan penyediaan air bersih dan peningkatan akses pangan.
Umumnya, intervensi gizi spesifik dilakukan oleh instansi sektor kesehatan, dalam hal ini jajaran Kementerian Kesehatan. Intervensi gizi spesifik dilakukan dengan menyasar remaja putri, ibu hamil, bayi, dan balita. Program intervensinya, yakni mencegah remaja putri mengalami anemia melalui pemberian tablet tambah darah seminggu sekali, melakukan pemeriksaan kehamilan pada ibu hamil minimal 6 kali, dan memberikan tablet tambah darah pada ibu hamil.
Kemenkes juga mendorong pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif 6 bulan pertama pada bayi, memantau pertumbuhan balita setiap bulan di pos pelayanan terpadu (Posyandu). Selain itu, juga diberikan makanan pendamping ASI kaya protein hewani pada balita 6-23 bulan, serta menerapkan tata laksana balita bermasalah gizi dan imunisasi dasar lengkap untuk mencegah penyakit, melalui imunisasi.
Pemerintah tentu butuh kerja ekstra keras dan serius untuk mengejar target 14 persen tingkat stunting di tahun 2024. Dengan melihat capaian dan data terkini tingkat prevalensi stunting nasional, di sisa waktu yang tinggal tiga bulan ini (Oktober-Desember), rasanya mustahil untuk bisa merealisasikan target 14 persen itu.
Sebelumnya, beratnya tantangan untuk mencapai target prevalensi stunting di angka 14 persen pada akhir 2024 juga diakui Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin. Pada acara pembukaan virtual Indonesia SDGs Corporate Summit (ISCOS) 2022 yang diselenggarakan oleh CSR Development Companies Forum (CFCD) di Jakarta, 9 Juni 2022 silam, Wapres mengaku terdapat tantangan yang signifikan terkait penanganan stunting.
“Angka stunting memang turun dari 30,8% pada 2018 menjadi 24,4% pada 2021, tetapi masih ada tantangan yang signifikan untuk mengurangi 10,4% selama 2,5 tahun ke depan,” ujarnya.
Upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di berbagai negara saat ini, katanya, juga menghadapi tantangan besar akibat krisis ekonomi global yang sedang berlangsung. Apalagi pandemi Covid-19 yang terjadi selama tiga tahun sebelumnya, sempat menghentikan atau paling tidak memperlambat kemajuan dalam upaya masyarakat internasional untuk mencapai SDGs.
Begitu pula dengan peringkat Indonesia dalam upaya pencapaian SDGs, naik dari peringkat ke-97 dari 163 negara pada tahun 2021 menjadi peringkat ke-82 pada tahun 2022, namun Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan hingga saat ini.
Di banyak tempat, upaya pemerintah untuk mencegah stunting dilaksanakan melalui Program Peningkatan Gizi Masyarakat yang teknisnya ditempuh melalui peningkatan gizi anak dengan Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Program ini banyak diadopsi di sekolah-sekolah dasar negeri maupun swasta di berbagai daerah di Indonesia. Namun seberapa signifikan hasilnya, masih perlu pembuktian di lapangan.
Perlu Partner Strategis
Namun, sebagai bangsa tentu tidak cukup menerima takdir dan hanya berpangku tangan atau pesimistis melihat perkembangan stunting di negeri ini. Banyak hal bisa dilakukan untuk melakukan langkah akselersi (percepatan) untuk menekan angka stunting secara optimal dan signifikan, bahkan ke titik 0 (nol) persen, sehingga benar-benar membebaskan anak-anak dari stunting.
Salah satu yang bisa dilakukan untuk menekan tingkat prevalensi stunting adalah, pemerintah mencari mitra (partner) kerja yang siap bersinergi dan berkolaborasi. Dengan frekwensi dan obsesi yang sama, yakni menjadikan Indonesia bebas stunting, pemerintah bisa menggandeng perusahaan-perusahaan yang berkinerja sehat lewat program Corporate Social Responsibility (CSR).
Ini yang kini banyak dilakukan pemerintah daerah (Pemda), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, meski secara spesifik belum menyasar stunting secara maksimum. Ini yang perlu terus ditingkatkan lewat sinergi dan kolaborasi untuk bersama-sama berkontribusi menekan stunting. Dan, keterlibatan mereka dalam upaya-upaya menekan stunting –lewat alokasi anggaran CSR—merupakan bentuk nyata tanggung jawab sosial perusahaan.
Yang perlu diseriusi lagi adalah bagaimana semua pihak, baik pemeritah daerah maupun semua stakeholder berkontribusi konkret dalam menekan tingkat stunting di daerah masing-masing. Jika peran tersebut bisa dijalankan secara maksimal, obsesi membebaskan negeri ini dari jerat stunting, bukanlah hal mustahil.
Data di Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, pada 2023 sebaran stunting di Indonesia telah marata di seluruh provinsi, dengan skala atau tingkat yang beragam. Artinya, tidak satu pun provinsi di negeri ini yang bebas dari stunting. Bagaimana peta sebaran stunting di berbagai provinsi di Indonesia, dengan gamblang terpapar dalam tabel di bawah ini.
Sumber: Ditjen Bina Pembangunan Daerah – Kementerian Dalam Negeri.
Peran Japfa Comfeed
Dalam perbincangan dengan awak media di hotel Mercure Grand Mirama Surabaya, pertengahan Agustus 2024, Corporate Affairs Director PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk, Rachmat Indrajaya, menegaskan, perusahaannya ikut terpanggil untuk berkontribusi dalam upaya penanganan stunding di Indonesia. Hal itu dilakukan lewat sebagian produk hilirnya yang kaya protein hewani yang pas untuk dikonsumsi oleh anak-anak pengidap stunting, termasuk untuk anak-anak lainnya (baca: non-stunting) sebagai ihtiar menjaga kesehatan mereka.
Dalam perspektif penanganan stunting di seluruh wilayah provinsi di Indonesia, yang dilakukan Japfa sesungguhnya merupakan langkah konkret dan rasional. Pasalnya, distribusi produk Japfa Group memang telah masuk ke hampir seluruh wilayah di Indonesia. Bahkan, unit-unit produksi atau pabriknya pun telah tersebar ke sejumlah daerah di Indonesia. Karena itu, bukan hal sulit dilakukan untuk ikut berkontribusi mengangani stunting lewat produk yang dihasilkan.
“Kami berkomitmen untuk ambil bagian dalam masalah penanganan stunting. Banyak program yang kami lakukan lewat CSR kami, baik lewat bantuan langsung maupun penyediaan produk dengan harga khusus yang kami subsidi untuk anak-anak stunting,” ujar Rachmat Indrajaya.
PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk adalah salah satu perusahaan agri-food terkemuka di tanah air. Perusahaan dengan kode emiten JPFA ini merupakan penghasil protein hewani berkualitas dan tepercaya, yang dengan setia melayani kebutuhan serta menjadi kebanggaan Indonesia sejak tahun 1975.
Berbagai produk lahir dari perusahaan berkantor pusat di Wisma Millenia Lt. 7 Jl. MT Haryono Kav. 16 Jakarta ini. Di antaranya produk pakan, peternakan unggas, pembibitan dan penggemukan sapi, budi daya, pembuatan vaksin dan obat-obatan hewan, juga berbagai produk makanan olahan kaya protein hewani. Pada produk protein primer, ada ayam, daging sapi, ikan, dan susu, hingga produk protein turunannya, di antaranya produk daging olahan dan produk penunjang lainnya.
Dalam praktiknya, Japfa menerapkan rantai produksi yang terintegrasi untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi secara terus menerus. Karena itu, perusahaan ini menjadi salah satu produsen protein hewani bermutu dan terkemuda di Indonesia.
“Dalam berbagai kesempatan, kami juga mengajak masyarakat untuk memahami pentingnya asupan protein hewani,” tandas Rachmat Indrajaya.
Ia menjelaskan, sebagai perusahaan pemasok protein hewani Indonesia, Japfa terus berupaya menyediakan produk dengan kualitas terbaik dengan harga terjangkau. Untuk memastikan kualitas produk, katanya, Japfa selalu memperhatikan penerapan standard operating procedure (SOP) yang ketat dan didukung oleh tenaga layanan lapangan yang profesional.
“Oleh karena itu, produk olahan protein hewani yang dihasilkan, kami pastikan memenuhi konsep ASUH, yaitu Aman, Sehat, Utuh, dan Halal,” katanya meyakinkan.
Sebagai salah satu perusahaan yang salah satu produknya berupa makanan olahan yang kaya protein hewani, manajemen Japfa menyadari, bahwa apa yang dilakukan hanya sebagian kecil dari peran besar yang bisa diambil untuk menangani masalah stunting. Masih perlu dukungan perusahaan-perusahaan lain untuk mem-back up pemerintah dalam menangani kasus stunting di negeri ini.
Tetapi, paling tidak Japfa telah menunjukkan kiprahnya dalam berkontribusi riil sebagai perusahaan “plus-plus”, terutama terkait penanganan stunting. Artinya, dalam pengelolaannya, perusahaan ini tidak hanya memburu keuntungan semata, namun sekaligus melakukan aksi sosial lewat program CSR-nya, termasuk dalam penanganan stunting.
“Kalau dibilang sampai seberapa besar andil kami dalam ikut menangani atau menekan kasus stunting, ya masih kecil. Masih banyak perusahaan yang bisa melakukan hal serupa. Tapi paling tidak, kami harapkan, bahwa apa yang kami lakukan adalah semacam pengungkit bagi yang lain untuk ikut berpartisipasi,” tambahnya.
Apa yang dikemukakan Rachmat Indrajaya boleh jadi, bahwa peran Japfa memang masih relatif kecil dalam menangani kasus stunting di Indonesia. Tetapi, sebagai gerakan tidak bisa dimungkiri, bahwa apa yang dilakukan manajemen Japfa merupakan praktik plus-plus perseroan yang layak diadopsi dan dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan lainnya di Indonesia. {*}
*) SUHARTOKO, Jurnalis radarjatim.id, tinggal di Gresik, Jawa Timur.