Oleh Adita Dwi Safirah*
Pendidikan merupakan hak setiap individu, tidak terbatas gender, umur, tempat, dan lain sebagainya. Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh sebab itu, saat ini Indonesia sendiri sedang berupaya meningkatkan pemerataan pendidikan melalui sistem zonasi yang mengatur penerimaan peserta didik berdasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah yang dipilih.
Tujuan pemerintah menerapkan kebijakan Pendidikan merupakan hak setiap individu, tidak terbatas gender, umur, tempat, dan lain sebagainya. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh sebab itu, saat ini Indonesia sendiri sedang berupaya meningkatkan pemerataan pendidikan melalui sistem zonasi yang mengatur penerimaan peserta didik berdasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah yang dipilih.
Kebijakan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sendiri dituangkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (PERMENDIKBUD) Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat. Dalam Pasal 15 ayat 1, disebutkan bahwa “Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.” Petaturan tersebut telah ditetapkan di Jakarta, tanggal 5 Mei 2017, dan mulai berlaku pada tanggal 8 Mei 2017.
Namun, karena ada evaluasi dari penerapan kebijakan tersebut, maka PERMENDIKBUD tersebut dicabut, dan diganti dengan permendikbud yang lain. Hingga saat ini, pedoman kebijakan sistem zonasi sekolah mengacu pada Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan.
Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa PPDB untuk SD, SMP, dan SMA dilaksanakan melalui jalur pendaftaran PPDB. Jalur pendaftaran PPDB meliputi zonasi, afirmasi, perpindahan tugas orang tua/wali, dan/atau prestasi. Pasal 13 disebutkan bahwa jalur zonasi SD, minimal menerima 70% dari daya tampung sekolah, dan untuk SMP serta SMA menerima 50% dari saya tampung sekolah. Kuota untuk jalur afirmasi paling sedikit 15%, dan untuk jalur perpindahan tugas orang tua/wali maksimal 5% dari daya tampung sekolah. Jika masih terdapat sisa kuota dari ketiga jalur tersebut, maka pemerintah daerah dapat membuka jalur prestasi. Namun, pengecualian untuk jalur prestasi, tidak berlaku untuk PPDB TK dan kelas 1 SD sebagaimana dijelaskan pada pasal 14.
Kebijakan zonasi sekolah yang telah diterapkan di Indonesia telah memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat. Diperkenalkan sebagai upaya pemerintah untuk menghadirkan pemerataan akses pendidikan, kebijakan ini bertujuan agar siswa dapat bersekolah di dekat tempat tinggal mereka, mengurangi ketimpangan antara sekolah favorit dan non-favorit. Meski memiliki tujuan mulia, implementasinya kerap menemui tantangan di lapangan.
Di sisi pro, masyarakat berpendapat bahwa kebijakan ini efektif dalam mengatasi ketimpangan pendidikan. Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan kualitas semua sekolah secara merata, sehingga siswa tidak perlu berlomba-lomba masuk ke sekolah favorit yang biasanya berada di kota besar. Selain itu, zonasi dianggap dapat mengurangi jarak tempuh siswa ke sekolah, menghemat biaya transportasi, dan meningkatkan waktu berkumpul dengan keluarga. Karena jarak sekolah yang dekat dengan sekolah, orang tua juga merasa lebih tenang dan bisa memantau pergaulan anak-anaknya.
Namun, ada pula sisi kontra yang menyoroti bahwa kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru dalam implementasinya. Beberapa kendala dan kelemahan kebijakan zonasi yang dikeluhkan oleh orang tua dan siswa sendiri yaitu sebagai berikut.
- Tidak Meratanya Kualitas Sekolah dan Fasilitas
Kualitas sekolah masih sangat bervariasi di Indonesia. Orang tua yang ingin menyekolahkan anak mereka di sekolah unggulan sering kali merasa frustrasi karena sistem zonasi tidak memperhitungkan prestasi atau kualitas pendidikan yang diinginkan. Akibatnya, beberapa orang tua bahkan memalsukan alamat agar anak mereka dapat diterima di sekolah favorit. Ketidakmerataan fasilitas dan sumber daya antar sekolah negeri, terutama antara sekolah di pusat kota dan di pinggiran, membuat beberapa siswa terpaksa bersekolah di sekolah yang tidak memenuhi standar yang mereka harapkan.
2. Kurangnya Informasi dan Sosialisasi Sistem Zonasi
Banyak orang tua dan siswa yang tidak memahami sepenuhnya bagaimana sistem zonasi bekerja, karena sosialisasi dari pemerintah atau pihak sekolah masih kurang. Beberapa orang tua tidak tahu batas zona yang tepat dan akhirnya siswa tidak bisa mendaftar ke sekolah negeri terdekat, walaupun seharusnya mereka termasuk dalam zonasi tersebut. Kondisi ini sering kali memaksa siswa untuk beralih ke sekolah swasta yang memerlukan biaya pendidikan lebih tinggi, yang menjadi beban tambahan bagi keluarga.
3. Ketidakmerataan Jumlah dan Lokasi Sekolah Negeri
Kebijakan zonasi tidak sepenuhnya mempertimbangkan lokasi dan ketersediaan sekolah di setiap wilayah, yang menyebabkan ada daerah-daerah dengan sedikit pilihan sekolah negeri. Di daerah padat penduduk atau wilayah pinggiran, siswa sering kali tidak tertampung di sekolah negeri dan terpaksa harus memilih sekolah swasta. Kondisi ini mempertegas ketimpangan akses pendidikan, yang seharusnya menjadi salah satu tujuan kebijakan zonasi untuk diatasi.
4. Rendahnya Motivasi dan Tantangan dalam Pembelajaran
Kebijakan zonasi membuat siswa dengan kemampuan beragam berkumpul di satu sekolah, yang kadang menyebabkan turunnya motivasi belajar bagi sebagian siswa, terutama mereka yang merasa tidak berada di lingkungan yang sesuai dengan minat akademik atau prestasinya. Selain itu, sistem zonasi tidak lagi menggunakan nilai Ujian Nasional (UN) sebagai syarat masuk sekolah negeri, yang juga menurunkan semangat siswa untuk serius belajar menghadapi UN.
5. Peluang Terjadinya Kecurangan Administratif
Adanya ketentuan jalur afirmasi, seperti penggunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dan prioritas jarak, membuka celah bagi beberapa orang tua untuk melakukan manipulasi administrasi. Beberapa orang tua dari keluarga mampu menggunakan SKTM untuk mendapatkan akses ke sekolah negeri atau menggunakan alamat palsu untuk memenuhi kriteria zonasi.
6. Ketidakadilan bagi Siswa Berprestasi
Sistem zonasi kurang memperhatikan prestasi individu siswa, karena faktor jarak menjadi prioritas utama. Kebijakan ini membuat siswa yang memiliki prestasi akademik tinggi tidak mendapatkan sekolah sesuai harapan mereka jika jarak tempat tinggal tidak mendukung. Untuk mengakomodasi hal ini, pemerintah memang memberikan jalur prestasi, tetapi kuotanya terbatas dan tidak merata di setiap daerah.
Bapak Moh. Irfan Abdillah, selaku guru di sekolah dasar negeri, mengungkap, bahwa “Sistem zonasi di SD pada kenyataanya diterapkan pada saat pendaftar melebihi jumlah kuota yang ditentukan. Pada saat kuota peserta didik baru masih tersedia, kebijakan zonasi ini tidak diterapkan. Karena yang terjadi di salah satu sekolah dasar negeri membuka PPDB sebanyak 20 peserta didik, sementara pendaftar masih 15, maka kebijakan zonasi ini tidak diterapkan”. Beliau juga menambahkan jika kuota pendaftar melebihi dari jumlah daya tampung, maka di situlah sistem zonasi diterapkan.
Sebagai guru sekolah dasar, Bapak Irfan juga menyampaikan adanya dampak sistem zonasi ini terjadi pemerataan jumlah peserta didik. Karena dengan adanya sistem zonasi, sekolah yang dikategorikan sekolah unggulan atau sekolah favorit sudah tidak ada. Kualitas sekolah dasar negeri di Indonesia menurutnya saat ini sudah merata. Dengan adanya sistem zonasi ini, penyebaran peserta didik di setiap sekolah merata dengan kemampuan, minat, bakat, dan karakteristik yang beragam.
Masyarakat, khususnya orang tua menyampaikan keluhan terkait kebijakan ini tidak hanya pada sesama orang tua saja, namun kerap kali menyampaikan keluhannya ke sosial media. Beberapa dari orang tua menyampaikan keluhannya di unggahan sosial media dan komentar unggahan foto atau video di sosial media. Salah satu unggahan di TikTok terkait keluhan kebijakan sistem zonasi adalah sebagai berikut.
Gambar 1. Unggahan TikTok
Dari satu postingan saja, memancing puluhan ribu komentar yang mengutarakan pendapatnya terkait pro dan kontra kebijakan sistem zonasi. Beberapa komentar yang berhasil direkam layar adalah sebagai berikut.
Gambar 2. Komentar warganet terkait pro dan kontra kebijakan zonasi
Berdasarkan diskusi warganet di media sosial, menunjukkan bahwa kebijakan zonasi memiliki dampak positif dan negatif. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap dapat menciptakan pemerataan akses pendidikan. Namun, di sisi lain, masyarakat masih berharap adanya perbaikan, terutama terkait kualitas sekolah yang belum merata dan pembatasan terhadap siswa berprestasi. Beberapa orang tua menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan ini dan mempertimbangkan penambahan kuota prestasi agar anak-anak tetap termotivasi untuk berprestasi.
Kebijakan zonasi sekolah di Indonesia, meskipun bertujuan untuk menciptakan pemerataan pendidikan, ternyata menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya. Pro dan kontra terhadap kebijakan ini mencerminkan kompleksitas dalam usaha mewujudkan sistem pendidikan yang adil dan berkualitas untuk seluruh warga negara. Di satu sisi, zonasi dapat mengurangi ketimpangan akses pendidikan dan memudahkan siswa untuk bersekolah di dekat tempat tinggal mereka. Namun, di sisi lain, ketidakmerataan kualitas dan fasilitas antar sekolah serta ketidakpahaman masyarakat mengenai kebijakan ini masih menjadi masalah besar.
Dengan berbagai kritik yang muncul, penting bagi pemerintah untuk terus melakukan evaluasi dan penyesuaian agar kebijakan ini dapat mencapai tujuannya secara efektif. Sosialisasi yang lebih intensif, pemetaan zonasi yang lebih akurat, serta peningkatan kualitas sekolah di seluruh wilayah Indonesia harus menjadi fokus utama agar kebijakan zonasi dapat benar-benar mewujudkan pemerataan pendidikan yang berkualitas. Pemerintah, masyarakat, dan dunia pendidikan harus bersama-sama mencari solusi terbaik demi kepentingan anak-anak Indonesia, agar mereka dapat memperoleh pendidikan yang adil dan merata, tanpa ada yang merasa dirugikan. (RJ1)
*) Adita Dwi Safirah, Mahasiswa Program Studi S3 Pendidikan Dasar FIP Universitas Negeri Surabaya.