TULUNGAGUNG (RadarJatim.id) — Dengan tema “Tinggalkanlah Segala Sifat yang Menyalahi Kehambaan”, Pondok Pesntren (Ponpes) Pesulukan Thariqat Agung atau lebih dikenal dengan Pondok PETA Tulungagung, Jawa Timur melaksanakan haul yang ke-55 pendiri pondok tersebut, yakni KH Mustqim bin Husein.
Dalam kegiatan yang dilaksanakan pada Minggu (7/7/2024) bertepatan dengan penanggalan kalender Islam, 1 Muharram 1446 H tersebut, puluhan ribu umat Muslim dari berbagai penjuru pulau Jawa hadir tumpah ruah menghadiri haul PETA ke-55 tersebut.
Dalam peringatan haul PETA, selain haul KH Mustaqim bin Husein ke-55, juga haul Nyai Hajah Sa’diyah binti Rais ke-37 serta haul KH Abdul Jalil Mustaqim ke-20. Hadir sebagai pembicara adalah KH Abdul Qoyyum Mansur dari Lasem Rembang, KH Mustofa Aqil Siroj dari Cirebon dan Dr KH Ahmad Ismail dari Semarang.
Rangkaian kegiatan haul diawali dengan pra-acara, yakni khotmil Qur’an pada Minggu pagi oleh beberapa santri Tahfidhil Qur’an. Lalu dilanjut pada Minggu malam berup pembacaan tahlil, sambutan atas nama wakil keluarga pondok PETA, pembacaan manaqib KH Mustaqim bin Husein, serta mauidhoh hasanah oleh pembicara.
“KH Mustaqim Bin Husein selaku pendiri pondok PETA adalah asli kelahiran Tulungagung. Semasa hidup beliau pernah mondok di berbagai tempat, baik di Tulungagung, Jombang, Nganjuk, Kediri, dan beberapa pondok pesantren besar lainnya,” jelas KH Bukhori saat membacakan manaqib KH Mustaqim.
KH Bukhori juga menyebutkan, salah satu amalan yang dipesankan oleh KH Mustaqim sebagai pendiri sekaligus mursyid Thariqat Sadzilyah, semasa hidup kepada santrinya adalah seorang ahli thariqat harus sering memotong kuku. Hal tersebut dijelaskan olehnya, bahwa kuku disandarkan sebagai bentuk sifat ke-aku-an seseorang. Karen itu, dengan sering memotong kuku diharapkan, seorang pelaku thariqat dapat menghilangkan sifat takabur atas kehambaan dirinya.
“Beliau mempunyai pesan agar seorang ahli thariqat sering memotong kuku. Semasa hidup beliau adalah sesorang kiyai yang sangat alim dan menjaga kezuhudannya,” tambah KH Bukhori.
Sementara itu KH Abdul Qoyyum Mansur dalam mauidhah hasanah-nya menyampaikan dua hal penting mengenai manusia sebagai hamba. KH Abdul Qoyyum Mansur atau sering disapa Gus Qoyyum menjelaskan, seseorang dikatakan mati hatinya ketika tidak memiliki kesedihan saat kehilangan perintah agama. Selain itu juga disampaikan, seseorang dikatakan mati hatinya saat tidak ada penyesalan dalam hatinya ketika meninggakan perintah agama.
“Jaga lisan jangan menghina dan mencela, jaga mata, jangan merendahkan seseorang dan jaga telinga, jangan mendengarkan hal buruk,” tambah Gus Qoyyum.
Tidak jauh berbeda, KH Mustofa Aqil Siroj yang juga adik kandung KH Saiq Aqil Siraj menyampaikan, kedudukan agama lebih tinggi dan lebih mulia dari pada ilmu. Ilmu tanpa agama dapat menjadi sebab hancurnya seseorang, bahkan negara. Akan tetapi, dengan agama seseorang akan bisa mengetahui yang dilarang maupun yang yang harus dilakukan.
“Ilmu memang penting, tetapi agama lebih utama dari sekedar ilmu”, tegas KH. Aqil Siroj. (mal)