Catatan Pinggiran SUHARTOKO
Judul di atas kiranya pas untuk disematkan pada penyelenggaraan pesta demokrasi, pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang dijadwalkan berlangsung, Rabu, 9 Desember 2020. Bonek merupakan diksi yang melekat dan senyawa pada supporter kesebelasan kesayangan arek-arek Suroboyo, Persebaya.
Pada Bonek (akronim bondo nekat) tersimpan pesan bermodal tekat yang kuat tanpa sedikit pun rasa takut untuk men-support dan membela kemenangan klub sepak bola kesayangannya. Bahkan, Bonekmania memiliki idiom atau jargon yang telah mendarah-daging, “Satu nyali: WANI”. ‘Wani’ merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti ‘berani’. Berani mengerahkan dukungan dan semangat, sekaligus berani mengambil segala bentuk risiko, termasuk hilangnya nyawa sekalipun.
Dan, itu pula semangat yang kini melekat pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku institusi bentukan pemerintah untuk menyelenggarakan Pilkada serentak. Di tengah merebaknya pandemi virus corona (coronavirus disease) atau dikenal dengan Covid-19, KPU menunjukkan sikap maju tak gentar, meski sudah banyak pihak yang mengingatkan dan minta agar pelaksanaan Pilkada ditunda.
Mengapa mesti ditunda? Cuma satu pertimbangan rasionalnya: menyelamatkan nyawa rakyat bangsa ini dari sergapan ganasnya virus corona yang hingga kini belum ada obat yang cespleng dan paten. Sejumlah pihak, jauh-jauh sebelumnya telah memberikan warning agar pemerintah, melalui KPU, tidak memaksakan diri dan menunda pelaksanaan Pilkada serentak ini. Sebab, ada potensi kuat, penyebaran dan penularan virus corona terjadi pada tahapan-tahapan Pilkada yang tak bisa lepas dari kerumunan massa. Bahkan, terbentuknya klaster baru dari pelaksanaan Pilkada, sempat memantik kekhawatiran banyak pihak.
Di antara para pihak yang pernah meminta agar Pilkada serentak ditunda bukanlah orang sembarangan, baik secara personal maupun institusi. Ada mantan Wakil Presiden yang juga Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla, ada juga Gubernur Banten Wahidin. Dari akademisi, ada pakar politik Universitas Gajah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim yang minta agar Pilkada serentak ditunda.
Sementara dari institusi yang care pada penyelamatan nyawa rakyat dari serangan Covid-19, sehingga minta Pilkada ditunda, datang dari Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Tak kalah getolnya dalam menyuarakan penundaan Pilkada serentak adalah dua Ormas terbesar di Indonesia, yakni Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PPM) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Tanpa ada komando, mereka kompak minta KPU menunda pelaksanaan Pilkada serentak, hingga pandemi Covid-19 reda dan secara medis situasi dinyatakan benar-benar aman oleh pihak yang berkompeten. Meski begitu, toh pendirian pemerintah sedikit pun tak goyah dan tetap mengagendakan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020, dengan komitmen menerapkan protokol kesehatan secara ketat pada setiap tahapannya.
Domain Kesehatan vs Politik
Apa yang membuat pemerintah bersikeras tetap menggelar Pilkada serentak yang pelaksanaannya tinggal menghitung hari? Inilah argumentasi yang disampaikan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud M.D. Katanya:
“Pilkada serentak tetap dilaksanakan 9 Desember 2020 dengan penegakan disiplin protokol kesehatan dan penegakan hukum yang tegas.”
Pernyataan tegas itu ia kemukakan saat menyampaikan pengantar secara virtual Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada Serentak Tahun 2020, di Jakarta, 22 September 2020 lalu. Argumentasi yanag disampaikan Menko Polhukam untuk tetap menggelar Pilkada serentak di antaranya, pertama, menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih sesuai dengan agenda yang telah diatur di dalam undang-undang dan atau di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Alasan kedua, kalaupun Pilkada ditunda, misalnya sampai selesainya bencana Covid-19, hal tersebut juga tidak memberikan kepastian kapan pandemi itu akan berakhir. Ia juga merujuk pada negara-negara yang serangan pandemi Covidnya lebih besar, seperti Amerika dan beberapa negara lainnya, ternyata Pemilu tidak ditunda.
Pertimbangan berikutnya, sebenarnya Pilkada yang akan digelar 9 Desember 2020 itu sudah ditunda dari jadwal semula, yakni 23 September 2020. Artinya, kata Mahfud, penundaan Pilkada sebenarnya sudah pernah dilakukan untuk menjawab suara-suara masyarakat yang menginginkan penundaan.
Selain itu, pemerintah tidak ingin menunda (lagi) pelaksanaan Pilkada serentak, karena tidak ingin di 270 daerah dijabat oleh pelaksana tugas (Plt) dalam waktu bersamaan. Sebab, Plt itu tidak boleh mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis. Padahal, dalam situasi di tengah pandemi Covid-19, kebijakan-kebijakan strategis yang berimplikasi pada penggerakan birokrasi dan sumber daya lain, seperti dana, memerlukan pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang sifatnya strategis.
Itulah sederat pertimbangan argumentatif pemerintah, mengapa Pilkada serentak tetap akan dilaksanakan Rabu, 9 Desember 2020. Dan, inilah sejatinya pertarungan dua kutub kepentingan, yakni aspek kesehatan dengan misi menyelamatkan rakyat dari sergapan pandemi Covid-19 dan kepentingan politik yang bersandar pada perundang-undangan sebagai bentuk pemenuhan hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih.
Dilematis, memang. Ini semacam pertarungan dan pertaruhan antara nyawa rakyat karena kekhawatiran akan ganasnya pandemi virus corona di satu sisi, dan konsistensi melaksanakan agenda politik sebagai perwujudan pesta demokrasi dan pemenuhan hak politik rakyat, di sisi lain. Mana yang harus mendapat penanganan lebih dulu, di sinilah pemerintah dihadapkan pada pilihan serbasulit.
Meski begitu, toh akhirnya pemerintah telah menjatuhkan pilihan final yang dinilai moderat dan akomodatif terhadap dua kutub tersebut (baca: nyawa rakyat dan agenda politik). Pemerintah tetap menghelat Pilkada serentak dengan catatan, penyelenggaraannya harus mematuhi disiplin protokol kesehatan dan penegakan hukum yang tegas.
Sebagaimana diketahui, Pilkada serentak yang dijadwalkan 9 Desember 2020 akan digelar di 270 daerah di Indonesia. Seperti dilansir Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dari 270 daerah dimaksud, rincinya: di sembilan daerah provinsi akan digelar Pilkada untuk memilih gubernur/wakil gubernur, di 224 kabupaten untuk memilih bupati/wakil bupati, dan sisanya di 37 kota akan memilih walikota/wakil walikota baru.
Untuk pemilihan gubernur, meliputi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.Terdapat dua provinsi yang seluruh daerah kabupaten/kotanya sama sekali tidak melaksanakan pemilihan kepala daerah pada 2020. Keduanya, yakni Provinsi DKI Jakarta dan Aceh.
Sementara di Jawa Timur (Jatim), pemilihan bupati/walikota akan berlangsung di 19 daerah kabupaten/kota. Rincinya adalah: Kota Surabaya, Pasuruan, Blitar, Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Tuban, Jember, Situbondo, Banyuwangi, Kediri, Blitar, Ponorogo, Ngawi, Trenggalek, Pacitan, dan Sumenep.
Ancaman Golput
Kontroversi penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 tentu berdampak secara signifikan terhadap tingkat partisipasi masyarakat untuk turut ambil bagian dalam hak politik mereka. Diperkirakan, Pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini, tingkat partisipasi masyarakat menurun, bahkan mencapai titik terendah dibanding Pilkada-Pilkada sebelumnya.
Sejumlah lembaga survey melansir hasil penelitiannya, tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilkada kali ini tidak sampai menyentuh angka 70%. Ini artinya, lebih dari 30% mayarakat akan memilih untuk tidak memilih alias Golput (golongan putih). Besarnya prediksi angka Golput ini memang tidak serta-merta akibat kekhawatiran atau ketakutan terhadap serangan Covid-19, sehingga pemilik suara tidak mau mendatangi tempat-tempat pemungutan suara (TPS).
Ada juga yang sejak awal (ada atau tidak adanya pandemi Covid-19) memang sengaja memilih sikap Golput. Kalau kelompok ini mau datang ke TPS, mereka akan mengondisikan agar surat suara jadi tidak sah ketika memasuki tahap penghitungan. Alasannya bisa macam-macam. Di antaranya, tidak ada pasangan calon (Paslon) dari kontestan Pilkada yang layak untuk dipilih dengan berbagai pertimbangan, atau juga terkait ideologi yang mengharuskan mereka untuk tidak memilih siapa pun.
Nah, dengan demikian, potensi Golput makin menguat. Golput akan mendapat “tambahan amunisi” dan dukungan dari sebagaian masyarakat yang takut mendatangi tempat-tempat pemungutan (TPS), karena khawatir tertular Covid-19.
Genderang akan dilangsungkannya Pilkada serentak telah ditabuh. Dan, hari H pelaksanaannya pun juga telah ditentukan, yakni Rabu, 9 Desember 2020. Dalam Pilkada di masa pandemi Covid-19 ini tentu kita, rakyat Indonesia, berharap agar korban meninggal akibat terbentuk klaster baru saat Pilkada tidak terjadi.
Cukuplah data korban meninggal yang sudah mencapai belasan ribu orang itu tak bertambah lagi. Cukuplah nyawa anak bangsa yang terenggut sejak awal Maret hingga 5 Desember 2020 akibat ganasnya virus corona itu, terhenti pada angka 17.589 jiwa, tidak lagi bertambah dan terus bertambah, hanya karena memperturutkan syahwat politik.
Semoga Pilkada serentak kali ini berjalan aman dan lancar, tanpa diiringi korban yang terus berjatuhan akibat sergapan Covid-19. Wallahu a’lam bisshawab. (*)