Oleh Ahmad Chuvav Ibriy
Rasulullah saw bersabda: “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah).
Hadis tersebut menyampaikan prinsip penting dalam Islam, bahwa ada tiga jenis sumber daya alam yang tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok tertentu. Ketiganya: air, padang rumput, dan api. Dalam konteks modern, para ulama kontemporer memperluas makna tiga hal ini menjadi:
Air → sumber daya air bersih, sungai, dan air tanah. Padang rumput (al-kala’) → hutan, padang penggembalaan, dan kekayaan hayati. Api (al-nār) → energi panas, bahan bakar, tambang, hingga listrik dan energi fosil.
Hadis itu dikuatkan oleh kaidah al-milkiyyah al-‘āmmah (kepemilikan umum) dalam fikih Islam. Artinya, sumber daya tersebut bukan milik perorangan, melainkan milik bersama yang dikelola demi kemaslahatan umat.
Fikih Sumber Daya Alam dan Keadilan Ekologis
Maqāṣid al-syarī‘ah secara klasik dirumuskan oleh ulama, seperti Imam al-Ghazālī (wafat 505 H) dalam al-Mustaṣfā dan al-Syāṭibī (wafat 790 H) dalam al-Muwāfaqāt. Mereka menyebut lima tujuan pokok syariat (al-uṣūl al-khamsah), yaitu:
1. Ḥifẓ al-dīn (menjaga agama);
2. Ḥifẓ al-nafs (menjaga jiwa);
3. Ḥifẓ al-‘aql (menjaga akal);
4. Ḥifẓ al-nasl (menjaga keturunan); dan
5. Ḥifẓ al-māl (menjaga harta).
Secara eksplisit tujuan menjaga lingkungan hidup tidak termasuk di dalamnya. Meski demikian, aspek lingkungan dapat dikaitkan dengan maqāṣid tersebut secara tidak langsung.
Seiring dengan berkembangnya realitas sosial dan tantangan global, sejumlah pemikir kontemporer seperti Ṭāhā Jābir al-‘Alwānī, Dr Jasser Auda, dan Yusuf al-Qarḍāwī mengusulkan agar perlindungan lingkungan ditetapkan sebagai maqṣad tersendiri. Mereka menyebutnya sebagai maqāṣid zā’idah (tujuan tambahan), atau maqāṣid mustaḥdatsah (maqāṣid baru) dalam rangka merespons problem ekologis.
Mereka berargumen, bahwa rusaknya lingkungan dapat menyebabkan hilangnya jiwa, keturunan, dan harta, sehingga menjaga lingkungan adalah bentuk integral dari maqāṣid al-syarī‘ah.
Dalam fikih Islam, pengelolaan sumber daya alam wajib menjunjung tinggi keadilan distribusi dan keberlanjutan lingkungan. Dengan begitu, ḥifẓ al-bī’ah (menjaga keberlangsungan lingkungan hidup) sebagai bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah yang harus diupayakan dan diperjuangkan.
Tambang dan Fasād fī al-Arḍ
Al-Quran memperingatkan: “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS al-A‘rāf: 56)
Dalam konteks ini, eksploitasi tambang yang menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air, dan penghancuran ekosistem laut merupakan bentuk fasād fī al-arḍ. Maka, ulama dan pemangku kekuasaan harus menjadi pelindung bumi, bukan sekadar penjaga regulasi administratif.
Ketika seorang ulama terlibat dalam sektor strategis, seperti industri tambang, maka ia tidak bisa netral secara moral. Posisi itu bukan sekadar administratif, tapi membawa dimensi etis dan religius. Apakah sumber daya itu dikelola dengan prinsip syar‘i? Apakah masyarakat sekitar turut sejahtera? Apakah lingkungan dijaga, atau justru dikorbankan?
Jika jawabannya negatif, maka tanggung jawab ulama adalah menasihati dari dalam, dan — jika perlu–melepaskan jabatan sebagai bentuk sanksi moral. Sebab, Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim.” (HR. Abu Dawud).
Jika tambang merusak lingkungan, menyingkirkan masyarakat adat, atau menciptakan kerusakan ekologis, maka ia tidak sah secara syar‘i, sekalipun memiliki legalitas administratif. Karena dalam Islam, legalitas tidak bisa menggugurkan tanggung jawab moral.
Nilai ini selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Konstitusi kita memosisikan negara sebagai pemegang amanah rakyat, bukan pemilik mutlak. Maka ketika tambang hanya menguntungkan segelintir elite dan menyengsarakan rakyat serta ekosistem, itu adalah pengkhianatan terhadap syariat dan konstitusi. Ulama tidak boleh diam, bukan malah menjadi bagian di dalamnya.
Dari Rakus Menuju Rahmat
Islam tidak menolak industrialisasi. Namun, Islam menolak kerakusan, monopoli, dan kezaliman ekologis. Dalam kerangka ini, hadis “al-nāsu syurakā’ fī tsalāts” adalah kompas moral: bahwa bumi dan kekayaannya adalah milik bersama, yang wajib dikelola secara adil untuk kemakmuran bersama, transparan, dan penuh amanah.
Semoga para pengelola tambang, regulator, dan ulama yang terlibat dalam industri ekstraktif dapat menjadikan hadis ini sebagai dasar etik, agar kekayaan bumi Indonesia tidak menjadi kutukan, tapi rahmat yang membawa berkah bagi manusia dan lingkungan.
Mari kita belajar dari beberapa contoh negara yang kaya sumber daya alam (SDA), namun justru mengalami kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan ketergantungan ekonomi, fenomena yang dikenal sebagai resource curse, seperti Negeria, Kongo, Venezuela dan lain-lain. Allāhu a‘lam bi al-shawāb. {*}
*) Ahmad Chuvav Ibriy, Alumni Ponpes Lirboyo Kediri; Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku, Kedamean, Gresik, Jawa Timur; Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.