SIDOARJO (RadarJatim.id) — Khatib shalat Idul Adha 1444 H di Masjid Agung Sidoarjo, Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M.Si dalam ceramahnya menyampaikan pentingnya menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Peringatan Idul Adha ini adalah salah satu bentuk kongkrit ibadah individual dan kesalehan sosial.
“Kesalehan sosial menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial,” terang Ali Maschan Moesa, pada (29/6/2023) pagi.
Hadir dalam shalat Idul Adha 1444 H tersebut, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor, Dandim 0816 Letkol Inf. Guntung Dwi Prasetyo, Wakil Ketua DPRD Emir Firdaus dan sejumlah pejabat teras di lingkungan Pemkab Sidoarjo.
Lebih lanjut KH. Ali Maschan Moesa membeberkan bentuk kongkrit kesalehan sosial diantaranya, bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati. Kesalehan sosial juga bisa diukur bagaiman seseorang mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain.
“Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya,” tuturnya.
Masih dalam ceramahnya, KH. Ali Maschan Moesa mengatakan, agama mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah” bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total. Yakni shaleh secara individual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang Islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.
Guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya itu menceritakan dalam sebuah hadis dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. Apa komentar nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Kata nabi. “Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial,” terangnya.
KH. Ali Maschan Moesa yang pernah menjabat Ketua PWNU Jawa Timur periode 1999 – 2008 itu menegaskan dalam hadis lain diceritakan, bahwa seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. Nabi bertanya, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?” tanya Nabi. Sahabat itu menjawab, “Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa.” “Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?” tanya Nabi lagi. “Kakaknya,” sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi, “Kakaknya itulah yang layak disebut saleh.” Sahabat itu diam.
“Kenapa? Karena sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya, bahwa ukuran kesalehan, dengan begitu, menjadi lebih jelas. Kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (Hablum minallah) tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkritnya dalam kehidupan bermasyarakat,” pungkasnya.(mad)







