Oleh SUHARTOKO
Padatnya arus lalu lintas yang kerap melahirkan kemacetan di ruas-ruas jalan raya dan sergapan polusi udara akibat emisi gas buang yang menyembur dari knalpot kendaraan bermotor, seperti keniscayaan dan dua hal yang saling melengkapi. Pada gilirannya, “perkawinan” keduanya kerap melahirkan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat perkotaan, selain ancaman lingkungan berupa buruknya kualitas udara yang merusak kecerahan langit biru.
Dalam jangka panjang, jika masalah tersebut tak tertangani secara tuntas, dampak buruknya tidak hanya menimpa aspek kesehatan dan kelestarian lingkungan, tetapi akan merembet ke berbagai aspek kehidupan masyarakat lainnya, seperti sosial, pendidikan, ekonomi, dan beberapa lainnya. Karena itu, format solusi jangan hanya berhenti di ruang-ruang diskusi atau seminar dan bersifat sporadis dan temporer, namun mesti mewujud dalam produk kebijakan yang implementatif dan pengawalannya bisa dengan mudah dieksekusi di lapangan secara berkelanjutan.
Meski tak semudah membalik telapak tangan, upaya-upaya serius untuk membedah masalah dan mencari format solusi ideal atas fenomena kemacetan lalu lintas dan polusi udara akibat emisi gas buang dari knalpot kendaraan, perlu terus dilakukan. Jika tidak, ancaman yang sudah di depan mata itu akan dengan cepat menggerus ketenangan dan kenyamanan warga kota-kota besar di Indonesia, yang di dalamnya ditandai dan akrab dengan pesatnya volume kendaraan bermotor.
Diskusi publik yang dikemas lewat webinar (zoom meeting) telah diinisiasi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Kantor Berita Radio (KBR), 23 November 2023 lalu. Even tersebut setidaknya menjadi pemantik untuk menggugah kesadaran, bahwa polusi udara akibat emisi gas buang kendaraan bermotor itu telah melahirkan masalah serius bagi masyarakat. Karena itu, perlu format solusi yang simultan dan tuntas, sehingga polusi tidak lagi menjadi ancaman dan “bahaya laten” bagi kesehatan masyarakat, yang dampak ikutannya menyebar ke mana-mana.
Dengan menghadirkan narasumber dari para pemangku kepentingan (stake holder), di antaranya, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, YLKI, pengusaha jasa angkutan yang tergabung dalam Organda, sejumlah pejabat di Dinas Perhubungan dan Dinas Kesehatan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Denpasar (Bali), Semarang, juga Yogyakarta, perbincangan dalam diskusi tersebut mampu memotret kondisi riil di sejumlah kota besar plus antisipasi yang melahirkan solusi konkret.
Dari aspek kesehatan, beragamnya kondisi geografis dan lapangan di kota-kota besar yang berpotensi besar terjadi polusi udara, dampaknya juga beragam. Meski begitu, tren naiknya pengidap atau pasien infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di kota-kota besar di Indonesia akibat polusi udara, tak terbantahkan.
Di Jakarta, dokter spesialis anak secara gamblang menyebut dampak polusi terhadap gangguan ISPA terhadap anak-anak. Disebutkan, jumlah pasien anak yang mengidap ISPA akibat polusi di DKI Jakarta meningkat hampir menyentuh 100 persen sejak Juni 2023 lalu. Seperti diungkap dr Handoko Lowis, pada periode tersebut jumlah pasien anak yang mengeluhkan gejala ISPA di RSIA Family dan RSIA Grand Family Jakarta meningkat hingga 90 persen.
Menurut dr Handoko, sebagian besar pasien anak yang diperiksa di RSIA Family dan RSIA Grand Family Jakarta mengeluhkan gejala batuk, pilek, dan sesak napas. Bahkan, beberapa di antaranya terpaksa harus dirawat inap, karena mengalami gejala serius dan harus mendapatan perawatan serius pula.
Data di Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, menunjukkan, terdapat 638.291 kasus ISPA di Ibu Kota ini untuk periode Januari hingga Juni (semester I) 2023. Warga DKI Jakarta yang terkena batuk, pilek, ISPA/pneumonia setiap bulannya rata-rata 100 ribu kasus dari total sekitar 11 juta penduduk.
Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ngabila Salama, mengatakan, jumlah tersebut dihimpun berdasarkan rata-rata kasus ISPA yang ditemukan di rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di Jakarta.
“Kasus ISPA Ibu Kota sempat menurun pada periode April-Mei, tetapi kasus itu kembali naik pada Juni 2023 yang terdapat 102.475 kasus,” ujar Ngabila Salama.
Sebelumnya, Dinkes DKI Jakarta melaporkan, bahwa sejumlah masyarakat menderita ISPA diduga akibat buruknya kualitas udara di Jakarta. Menurut IQAir, DKI Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk ke-4 di dunia pada pertengahan Agustus 2023. Sementara indeks kualitas udara di Jakarta menembus angka 157, yang berarti masuk dalam kategori kualitas udara tidak sehat.
Adapun polutan utama udara di Jakarta pada periode yang sama, yakni PM 2,5 dan nilai konsentrasi yang mencapai 67,1 µg/m³ (mikrogram per kubik). Angka tersebut dinilai 13,4 kali lipat di atas nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sementara standar kualitas udara ideal WHO memiliki bobot konsentrasi PM 2,5 antara 0-5 mikrogram per meter kubik.

Sumber: Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Di Surabaya, yang menjadi barometer kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta, dalam periode Januari – Juli 2023, penyakit ISPA/pneumonia tercatat masih lumayan tinggi, yakni 174.444 kasus. Meski masih lebih rendah dibanding Jakarta, dari jumlah kasus ISPA tersebut, sekitar 6.000 di antaranya menyerang balita. Ini perlu antisipasi dan tingkat kewaspadaan tinggi untuk masa-masa mendatang.
Tren naikknya kasus penyakit ISPA yang diduga lebih banyak akibat sergapan polusi udara itu, juga diakui beberapa pejabat Dinkes di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Meski polusi udara bukan satu-satunya penyebab, tak dapat dimungkiri, bahwa polusi udara memiliki andil cukup kuat terhadap merebaknya kasus ISPA.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara (PPU), Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Luckmi Purwandari, tidak menampik, bahwa polusi udara memiliki dampak negatif bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Ia mencermati, selama bahan baku dari bahan bakar minyak (BBM) masih menggunakan energi fosil, selama itu pula produksi polusi udara tak bisa dihindari. Karena itu, lanjutnya, sudah waktunya dipikirkan pemanfaatan bahan baku alternatif yang tidak berpotensi menimbulkan polusi. Rekayasa teknologi otomotif pun perlu dilakukan untuk meminimalkan tingginya tingkat polusi akibat emisi gas buang dari kendaraan bermotor, sehingga menghasilkan produk teknologi yang lebih bersahabat dan ramah lingkungan.
Alternatif Solusi
Bagaimana menyikapi tren meningkatnya kemacetan yang berujung pada polusi udara akibat emisi gas buang dari kendaraan bermotor di jalanan untuk menciptakan “langit biru” yang bersih dan nyaman bagi insan penghirup udara? Bagaimana pula menjaga dan menyelamatkan kesehatan masyarakat yang nyata-nyata terimbas atau terdampak oleh polusi udara, misalnya maraknya penyakit ISPA dan berbagai kerugian lainnya?
Apa yang terjadi di ruang-ruang diskusi publik atau seminar memang belum sampai menghasilkan solusi permanen oleh pengambil kebijakan di negeri ini. Solusi yang berkembang pada forum-forum diskusi atau seminar, lebih bersifat tawaran yang implementasinya banyak bergantung pada penentu kebijakan di lembaga pemerintahan.
Tetapi, paling tidak tawaran alternatif solusi yang beredar di ruang-ruang publik selama ini, diharapkan menjadi penawar duka berkepanjangan, karena terbukanya harapan yang mencerahkan. Harapan pada perbaikan kondisi, di antaranya terkait kesehatan masyarakat dan penyelamanatan lingkungan, serta meminimalkan berbagai kerugian lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kementerian Perhubungan, seperti disampaikan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, menegaskan, integrasi antarmoda yang memudahkan masyarakat mengakses transportasi massal, menjadi kunci mengatasi kemacetan dan polusi udara yang dihasilkan.
Karena itu, Menhub Budi Karya Sumadi pun gencar melakukan perubahan terhadap moda transportasi umum di Indonesia. Pembangunan yang dicanangkan, dinyatakan tidak hanya dari sisi infrastruktur, tetapi juga sistem maupun integrasi antarmoda untuk kemudahan masyarakat untuk mengaksesnya.
Langkah itu, katanya, bertujuan menciptakan budaya baru masyarakat dalam menggunakan angkutan massal. Dengan integrasi antarmoda dari first mile hingga last mile, diharapkan masyarakat semakin mudah dalam mengakses angkutan massal. Membangun angkutan massal, menurut Menhub, adalah keniscayaan.
“Jika tidak dilakukan, kerugiannya mencapai ratusan triliun rupiah per tahun akibat kemacetan arus lalu lintas,” tandasnya.
Dalam menyosialisasikan penggunaan moda transportasi umum, Kemenhub pun telah menggelar acara Hub Space yang dilaksanakan di JCC Senayan, Jakarta, pada 29 September-1 Oktober 2023 silam. Hadir dalam gelaran yang dihajatkan untuk kepentingan nasiional tersebut, sejumlah pejabat negara terkait, termasuk Presiden Joko Widodo.
Menhub Budi Karya Sumadi mengungkapkan, perlu mengubah kultur atau budaya masyarakat untuk mengatasi masalah kemacetan dan polusi udara yang bersumber dari banyaknya pengguna kendaraan pribadi, sehingga Kemenhub bersama stakeholder terkait, membangun berbagai moda transportasi massal seperti BRT (Bus Rapid Transit), KRL (Kereta Rel Listrik), LRT (Light Rail Transit), MRT (Mass Rapid Transit/Moda Raya Terpadu), hingga kereta cepat.
Kritik Konstruktif
Sejumlah masukan dan saran yang berkembang di ranah publik, kiranya perlu direspon dan menjadi pertimgbangan untuk mencari format solusi ideal dan permanen. Di antaranya, dari hulu dan teknis, pengurangan kadar polusi udara perlu dilakukan dengan mengganti bahan baku untuk memproduksi bahan bakar minyak (BBM).
Selain itu, penggunaan transportasi umum (public transportation) perlu digalakkan dengan terus menambah unit armadanya, termasuk payung kabijakan untuk mengawalnya. Tak kalah pentingnya, penyadaran masyarakat untuk memilih transportasi umum ketimbang transportasi pribadi dalam menopang aktivitas sehari-hari di jalanan, juga perlu terus dikampanyekan.
Secara bertahap, produksi kendaraan listrik juga layak dimasifkan, yang secara bertahap pula diharapkan bisa menggeser populasi kendaraan bermotor berbahan baku fosil yang selama ini nyata-nyata telah menghasilkan polusi udara yang amat merugikan banyak pihak.
Tidak kalah pentingnya, pejabat publik, mulai para bupati/walikota dan wakilnya, gubernur/wakil gubernur, menteri kabinet, hingga presiden dan wakil presiden, serta jajarannya, memberikan teladan yang baik kepada masyarakat dalam memanfaatkan kendaraaan dinas. Teladan dimaksud adalah, seyogyanya tidak lagi menggunakan iring-iringan kendaraan –hingga puluhan kendaraan— dalam even atau kunjungan kerja mereka.
Selain bisa berhemat BBM, dipastikan pengurangan iring-iringan kendaraan mampu mengurangi pula potensi polusi udara. Imbauan pemerintah kepada masyarakat untuk lebih menggunakan kendaraan umum ketimbang pribadi, tentu akan menguap begitu saja manakala pemangku kebijakan (pemerintah) sendiri justru bertindak berlebihan dan mubazir dalam menggunakan kendaraan dinas yang beringin-iringan panjang.
Solusi lain yang bisa dilakukan untuk mengerem polusi udara akibat emisi gas buang kendaraan bermotor adalah pembatasan produksi kendaraan di pabrik-pabrik otomotif dan kepemilikannya oleh masyarakat. Meski tak gampang dilakukan seperti membalik telapak tangan, –karena diperkirakan mendapat perlawanan dari produsen otomotif–, good will politik lewat kebijakan yang diterbitkan, perlu terus dikampanyekan oleh pemerintah dan stakeholder yang berkelindan dalam masalah transportasi.
Dari aspek infrasruktur, pembangunan ruas-ruas jalan baru, baik jalan tol maupun non-tol perlu terus dilakukan untuk mengurai simpul-simpul kemacetan lalu lintas. Lebih penting lagi, pembangunan infrastruktur itu, mampu menjawab terbentuknya rasio ideal antara jumlah kendaraan yang terus diproduksi dan kapasitas jalan yang tersedia.
Untuk maksud ini, Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi, mendesak perlunya roadmap yang jelas, tidak sekadar jargon atau slogan. Mobilisasi kendaraan pribadi di jalanan, diakuinya, punya andil kuat dalam melahirkan polusi udara, apalagi saat terjadi kemacetan lalu lintas. Karenanya, penggunaan public transportation, paling tidak akan menjadi penawar akutnya polusi yang menyembur dari knalpot kendaraan yang memproduksi asap-asap beracun.
Sebagai fenomena, polusi udara akibat kendaraan bermotor yang berimplikasi pada buruknya kualiatas kesehatan masyakat dan penyelamatan lingkungan udara, juga beberapa aspek lainnya, tidak cukup ditangani secara parsial dan sporadis. Perlu sinergi para pihak pemangku kepentingan (stakeholder), baik dari elemen pemerintah, masyarakat konsumen, pegiat lingkungan, pengusaha transportasi, dan lain-lain untuk menyamakan frekwensi guna memperoleh solusi ideal dan terukur.
Untuk maksud itu, semua pihak atau para pemangku berkepentingan layak membuka lebar-lebar telinga dan mata hati untuk semua masukan, bahkan kritik konstruktif untuk kepentingan bersama yang lebih besar dan bermartabat untuk bangsa dan negara tercinta, Indonesia. {*}
*) SUHARTOKO, Jurnalis radarjatim.id, tinggal di Gresik, Jawa Timur.