SURABAYA (RadarJatim.id) – Pasangan calon (Paslon) Wali kota/Wakil Wali Kota Surabaya, Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno (MAJU) menyiapkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rencana menyusul dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pelaksanaan Pilkada Surabaya.
Rencana gugatan itu melibatkan mantan Jubir KPK Febri Diansyah dan mantan Koordinator ICW (Indonesia Corruption Watch) Donal Fariz. Selain itu, juga ada beberapa praktisi hukum, seperti M. Sholeh, Veri Junaidi, Jamil Burhan, dan Slamet Santoso. Mereka tergabung dalam tim kuasa hukum MAJU yang siap membawa kasus sengketa Pilkada Surabaya ke MK.
Kontestan nomor urut 2 ini menganggap banyak kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TMS) dalam proses Pilkada Surabaya.
“Bagi saya, langkah hukum di MK tidak sekadar menang atau kalah dalam pemilihan kepala daerah. Menang atau kalah adalah hal yang biasa dan terlalu kecil untuk diperdebatkan,” kata Machfud didampingi Mujiaman dan tim kuasa hukumnya saat konferensi pers di Surabaya, Kamis, (17/12/2020).
Machfud mengatakan, pihaknya ingin menjadikan perjuangan di MK sebagai warisan sekaligus menjadikan demokrasi yang lebih baik untuk masa ke depan.
“Karena ada persoalan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif yang terjadi secara kasat mata dan tidak bisa saya biarkan begitu saja,” tandasnya.
Selain itu, upaya hukum ke MK didorong keinginan konstituennya yang sudah memberikan pilihan politiknya dalam Pilkada yang berlangsung pada 9 Desember 2020. Dia mengatakan, berdasarkan data Sirekap, setidaknya ada sekitar 400 ribu lebih warga Surabaya yang telah memilih dirinya.
Sementara itu perwakilan tim kuasa hukum Machfud-Mujiaman, Donal Fariz, menjelaskan, rencana gugatan ke MK diajukan karena proses Pilkada di Kota Surabaya banyak terjadi kecurangan yang bersifat TMS. Kecurangan dimaksud, khususnya struktur birokrasi, kebijakan, dan anggaran yang diarahkan untuk memenangkan Paslon tertentu.
Ditambahkan, tim kuasa hukum akan mencari fakta hukum yang kuat dan akurat, sampai kepada konklusi petitum dalam permohonan ke MK.
“Saya tentu belum bisa menguraikan secara spesifik, karena banyak hal yang sedang kami kumpulkan, banyak hal yang sedang kami analisis. Khususnya dengan pola pola kecurangan yang terjadi di Pilkada Surabaya,” ujarnya.
Intinya, tim kuasa hukum MAJU menilai, problem terbesar dan fundamental adalah adanya mesin birokrasi pada kepentingan alokasi anggaran yang diduga menguntungkan Paslon tertentu.
Selain itu, rencana gugatan terkait penegakan hukum atau electoral justice menjadi macet selama Pilkada di Surabaya. Tim kuasa hukum sedang mengumpulkan sejumlah laporan yang punya tendensi administrasi sampai dengan pidana pemilu, namun tidak pernah ditindaklanjuti.
“Sehingga, akumulasi dari persoalan kecurangan yang kami sampaikan membuat pilkada berjalan secara tidak fair dan penuh dengan kecurangan. Dampaknya tentu kepada hasil penghitungan suara,” tegas Fariz.
Ia berharap, perkara ini nantinya berjalan dengan baik di Mahkamah Konstitusi. Terlebih, terdapat Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Beberapa jam sebelumnya KPU Surabaya mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pilkada Surabaya yang menunjukkan, pasangan Machfud Arifin-Mujiaman kalah dari Eri Cahyadi-Armudji. Machfud-Mujiaman memperoleh 451.794 suara. Sedangkan Eri-Armudji mendapat 597.540 suara. (tim/rj1)