Catatan Pinggiran SUHARTOKO*
Usianya kini sudah 86 tahun. Namun, memori otaknya untuk mengingat apa yang telah dilakoni di masa lalu dan mengomunikasikan kepada orang lain, masih cukup kuat. Itulah sosok H Abdul Wachid, wartawan gaek asal kota Gresik, Jawa Timur.
Memang, awalnya bapak satu anak dan kakek dua cucu ini, agak susah mengenal siapa yang menemuinya, termasuk ketika ditanya masa lalunya dalam menjalani profesi jurnalis. Namun, begitu sedikit saja berhasil diungkit, maka dari bibirnya menyembul dan meledak-ledak kisah yang terlontar. Seperti laju kendaraan yang mengalami rem blong, Abah Wachid, sapaan akrabnya, seperti sulit dihentikan dalam bertutur.
Saya yang pernah berguru dalam menulis berita-berita ekonomi padanya, juga sempat “tak dikenalinya”. Selain sudah puluhan tahun tak bertemu, usianya yang sudah begitu lanjut sepertinya menggerus daya ingatnya. Tetapi, –sekali lagi—begitu saya sebut nama saya dan Harian Sore Surabaya Post, tempat saya pernah belasan tahun menjalani profesi jurnalis, dia pun spontan tertawa lepas.
“Oalaaa, koen ta Hartoko, Surabaya Post biyen. Jik awet enom awakmu, Har (Ooo, kamu ta Hartoko, Surabaya Post dulu. Masih awet muda saja dirimu, Har),” ujarnya begitu daya ingatnya terungkit.
Abdul Wachid muda mengawali profesi sebagai wartawan pada majalah Liberty tahun 1970-an. Lalu, setelah 10 tahun, ia berlayar jurnalistik di Harian Umum Suara Indonesia, sebelum akhirnya diambil alih oleh Grup Jawa Pos dan berganti menjadi koran ekonomi di era 90-an. Pada akhirnya, koran Suara Indonesia ini pun bermetamorfosis sebagai koran Radar Surabaya hingga sekarang.
Setelah memasuki masa pensiun dari koran Radar Surabaya, bersama beberapa sahabatnya sesama “veteran”, Abah Wachid mendirikan tabloid Tanjung Perak Pos. Saat menjalani profesinya sebagai jurnalis, Abah Wachid termasuk wartawan dengan spesialisasi pada rubrik kepelabuahanan dan ekonomi. Karena itu, lewat Tanjung Perak Pos, ia ingin meneruskan hobinya menulis berita-berita seputar pelabuhan dan aneka bisnis yang melingkunginya. Tak terhitung pelabuhan mana saja di Indonesia yang pernah disinggahi dan diliputnya.
Mengelola Tanjung Perak Pos ia lakoni sejak tahun 2000 hingga 2015 sambil merangkap sebagai kontributor koran ekonomi Bisnis Indonesia terbitan Jakarta. Tanjung Perak Pos lalu berganti nama menjadi Perak News ketika ditinggalkan Abah Wachid dan kini beralih menjadi Trans & Log News, dan ia menempati posisi sebagai Penasihat hingga Agustus 2022.
Motor Disandera
Petualangan Abah Wachid sebagai jurnalis dan penulis harus berhenti sejak medio Agustus 2022 dan hingga kini waktunya nyaris habis untuk tinggal di rumah dan ibadah bersama istri tercintanya, Susiatin yang dinikahinya pada 1976. Bagaimana bisa ghirah Abah Wachid untuk melakukan liputan berita benar-benar terhenti? Kok bisa profesi yang sudah mandarah daging itu bisa dihentikan?
Adalah Anis, anak semata wayangnya yang kini dikaruniai dua putra/putri merasa tak tega jika ayahnya terus pergi pulang Gresik-Surabaya dengan mengendarai sepeda motor bututnya. Melalui diskusi dengan keluarga, dengan pertimbangan rasa sayang dan khawatir akan keselamatan ayahnya, Anis pun mengambil langkah cerdik, yakni “menyandera” sepeda motor Abah Wachid di rumahnya di bilangan Pondok Permata Suci (PPS) Manyar, Gresik.
Semula batin Abah Wachid berontak dengan sikap yang diambil keluarga besarnya tersebut. Setelah mendapat penjelasan, bahwa sikap itu diambil demi keselamatan dan rasa sayang keluarga, Abah Wachid yang telah berhaji dan tiga kali umroh ini pun luluh hatinya. Ia pasrah untuk menerima sikap anak dan istrinya untuk berhenti menjalani profesi sebagai jurnalis aktif yang harus morak-marik di jalanan.
Dan, sambil mengenang seabrek perjalanan hidupnya sebagai jurnalis yang telah puluhan tahun dilakoninya, kini Abah Wachid yang telah mengalami gangguan pada indera pendengarannya ini, menghabiskan watunya bersama istri tercintanya, anak, dan cucunya di rumah tingkatnya.
“Awalnya aku benar-benar terpukul dan nggondhok, mangkel, ngambek, ketika sepeda morotku disimpan di rumah Anis yang di Suci, Manyar. Karena itu kakiku yang mengantar ke mana-mana. Sampai saiki (sekarang) motor itu di sana. Kalau sepeda motor gak ada, aku gak bisa liputan. Kalau mau keluar paling-paling ke pasar atau ke warung kopi, ya naik becak. Tapi mau gimana lagi, fisik juga sudah gak kuat lagi,” ujarnya sambil terkekeh-kekeh seraya menambahkan, bahwa jemarinya sering gatal untuk menulis dan menulis berita.
Guru SD Swasta
Sebelum menggeluti jagat jurnalistik hingga benar-benar stop hampir dua tahun lalu (Agustus 2022) — karena faktor fisik–, Wachid muda sempat menjadi guru di SD swasta di Gresik kota sejak tahun 1960-an. Ia jalani profesi yang tak pernah dicita-citakan itu hingga 10 tahun. Namun, darah jurnalistiknya memaksanya harus melepas profesi guru yang memang bukan dunianya.
Betapa kuatnya memori Abah Wachid dalam mengingat dan mengomunikasikan kembali perjalanan hidupnya sebagai wartawan, ia tumpah-kisahkan kepada saya saat bersilaturahmi ke rumahnya, Sabtu, 29 Juni 2024. Di pagi hingga siang itu, seabrek kisah perburuan jurnalistiknya ia sampaikan. Di antaranya adalah, lewat tulisan liputannya ia berhasil “memaksa” sejumlah pengusaha rokok di wilayah Kabupaten Pamekasan untuk patungan membangun stadion di kabupaten di Pulau Madura itu.
Ketika itu, dalam kesempatan wawancara dengan bupati Pamekasan, ia sempat disambati sang bupati. Dikatakan, di kota kecil itu banyak pabrik rokok, tertapi kontribusinya kepada pemerintah daerah tidak signifikan. Lalu, kepada wartawan Wachid pun sang bupati pun berdiskusi dan menyampaikan keinginannya untuk membangun stadion.
Mendengar keinginan tersebut, Wachid yang berpenampilan kalem dan bersahaja ini pun menulis hasil wawancara dan diskusinya terkait obsesi membangun stadion. Tak berselang lama setelah berita itu tayang, beberapa pengusaha rokok itu pun merespon keinginan sang bupati. Para pengusaha rokok itu pun akhirnya patungan untuk membangun stadioan hingga berdiri megah.
“Saya juga gak nyangka kalau berita yang saya tulis itu sampai segitu dampaknya. Saat bertemu di Batu, Malang, dalam pertemuan para bupati se-Jawa TimurPak Bupati sempat menyampaikan terima kasih berulang-ulang,” ujar Abah Wahid sambil memeragakan gerapan sang bupati saat menyampaikan terima kasihnya.
Spirit Jurnalis Muda
Di usia senjanya saat ini, darah Abah Wachid pun terus mengalirkan spirit jurnalis dan terus menyemangati wartawan-wartawan muda yang ingin menimba pengalaman darinya, sambil menikmati masa tuanya di rumahnya di kawasan Jalan Jaksa Agung Suprapto, kota Gresik. Di rumahnya juga terdapat belasan ikan koi di kolam akuarium yang dibangun di ruang tengah sebagai refreshing.
Abah Wachid berpesan kepada wartawan-wartawan muda masa kini. Katanya, jangan sekali-sekali merasa atau punya niatan sombong karena punya ilmu atau kemampuan tinggi, sehingga menganggap orang lain lebih rendah. Tiap orang, lanjutnya, punya kelebihan sekaligus kekurangannya. Karena itu, banyak berkawan itu keniscayaan untuk saling melengkapi dan menguatkan.
“Dan kalau nulis, jangan asal nulis, tapi upayakan tulisan itu punya dampak baik yang bisa dijadikan inspirasi banyak orang. Jare arek saiki, tulisan yang visioner,” katanya meyakinkan.
Dengan tantanngan zaman yang berbeda dan terus berkembang, ia minta agar jurnalis muda tak pernah bosan untuk belajar untuk meng-update kompetensi dengan cara yang beragam. Hanya dengan cara itu, seorang jurnalis bisa eksis dan pada akhirnya layak disebut wartawan senior, bukan sekadar wartawan tua (usia), tapi minim kapasitas dalam berjurnalistik. {*}
*) SUHARTOKO, Pemimpin Redaksi RadarJatim.id