SURABAYA (RadarJatim.id) – Pendidikan bagi anak adalah jembatan menuju masa depannya. Maka tugas kita adalah menemukan pendidikan yang tepat. Agar anak kelak tidak “kecemplung” ke sungai. Atau kalau sampai ke seberang jalan, jangan salah arah. Jangan sampai materi yang dipelajari di sekolah sudah kedaluwarsa karena tidak sesuai dengan kebutuhan hidup pada 16 sampai 20 tahun mendatang.
Pertanyaan reflektif itu dilontarkan oleh pakar pendidikan Dr. Martadi, M.Sn, dalam acara Meet & Greet di Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) Surabaya, Jl. Medokan Semampir Indah 99-101, Sabtu (1/7) siang. Dalam pertemuan yang dihadiri wali murid siswa baru KB, TK, dan SD SAIM tersebut, Wakil Rektor IV Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu menyarankan perlunya lembaga pendidikan menyesuaikan diri dengan ciri dan karakter peserta didik, yang saat ini disebut sebagai generasi alpha. Gen-alpha adalah generasi yang lahir antara tahun 2010 hingga 2024.
Menurutnya, berdasarkan penelitian ciri Gen-A memiliki kecemasan yang tinggi. Maka lembaga pendidikan hendaknya dapat membangun optimisme sehingga dapat mengurangi kecemasan mereka. Ciri berikutnya adalah multitasking, anak sekarang lihai mengerjakan banyak hal dalam waktu yang bersamaan, tetapi tidak mampu fokus pada satu kegiatan dalam tempo yang lama. Maka pendidikan harus dapat melayani karakteristik seperti itu.
“Saya meyakini bahwa setiap anak adalah hebat. Maka tugas kita sebagai orang tua dan guru adalah menemukan potensi dan bakat yang ada pada dirinya. Kemudian mengungkitnya, memfasilitasinya, sehingga potensi itu muncul menjadi kompetensi nyata,” ujar salah seorang konseptor pendidikan SAIM itu.
Ditambahkan, tantangan ke depan semakin sulit. Jumlah penduduk dunia yang kian bertambah otomatis akan menambah tingkat kompetisi antarmanusia. Di sisi lain kemajuan teknologi juga makin tinggi, maraknya penggunaan AI (artificial intelligences) membuat banyak tenaga kerja yang tersingkir.
“Itulah sebabnya setiap orang harus melakukan reskilling, meningkatkan keterampilan diri. Upgrade kemampuan. Terus belajar berapapun usianya, agar tidak dilibas zaman,” katanya.
Narasumber lainnya dalam forum itu adalah human capital coach Drs. Asep Haerul Gani. Dirinya menyetujui pendapat bahwa generasi muda sekarang banyak dilanda cemas. Wajar jika tema pendidikan yang menjadi perhatian saat ini adalah masalah penanganan emosi.
“Dari pengamatan saya, ada dua kata yang paling sering diucapkan oleh anak muda. Yaitu kata cemas dan kata ‘overthinking’ (menghabiskan waktu untuk memikirkan hal tertentu secara berlebihan dan berulang-ulang. red),” kata Pengasuh Ponpes Psikoterapi Tasikmalaya itu.
Dijelaskan, terdapat perbedaan antara kata “takut”, “phobia”, dan “cemas”. Dalam kasus takut, ada objek yang ditakuti. Misalnya orang takut dengan singa. Maka solusinya lebih mudah yaitu menghindari singa. Tetapi kalau disodori boneka singa dia masih takut, maka itu dinamakan phobia.
“Yang repot itu dilanda cemas. Karena dalam kecemasan, objeknya tidak terlihat jelas. Orang dapat mencemaskan hal-hal yang mungkin tidak akan terjadi. Bahkan mencemaskan bayang-bayang yang diciptakannya sendiri,” katanya.
Untuk itu setiap orang perlu sekali mempelajari kecerdasan emosi. “Kecerdasan emosi meliputi tiga hal. Pertama mengenali emosi, kedua memfasilitasi, dan ketiga mengendalikan emosi,” kata pakar human capital SDM ini.
Menurutnya, dengan menangani masalah emosi diharapkan kita semua menjadi well being, menjadi sejahtera. Ciri seseorang dikatakan sejahtera adalah apabila dia: merasa bahagia, merasa puas, dan kadar stresnya rendah. (rio)