Oleh Moh. Husen*
Tidak bisa dibayangkan bagaimana Ibrahim saat itu harus percaya dengan mimpinya untuk menyembelih Ismail putra tercintanya. Sedangkan Abu Nawas saja merasa sebal dan jengkel tatkala tetangganya lebih percaya keledainya dari pada dirinya.
“Saya pinjam keledainya bentar saja Tuan Abu,” ujar si tetangga.
“Keledai ku sedang tidak ada di rumah. Dia pergi entah ke mana,” jawab Abu Nawas.
Tak sampai lama, si keledai mengaum pertanda ia ada di rumah.
“Lha, itu suara keledainya ada di rumah Tuan Abu,” ujar si tetangga.
“Kamu lebih percaya aku, apa percaya keledai ku? Sudah ku bilang dia gak ada di rumah,” bentak Abu Nawas.
Jangan tertawa, eh silakan tertawa. Abu Nawas memang begitu orangnya. Suka ndagel (bergurau) dan mengkritik sikap ke-aku-an orang dengan caranya sendiri. Pokoknya aku benar. Kalau sampai ada yang menyalahkan aku, maka yang menyalahkan itu yang salah.
Adapun Ibrahim sang nabi ini, demi mendekatkan diri kepada Allah, ia taati semua perintahNya. Sempat ragu dengan perintah yang datang lewat mimpi itu, namun pada mimpinya yang ketiga, nabi kekasih Allah ini menepis keraguannya. Ia sampaikan perintah Allah itu kepada putra semata wayangnya, yakni Ismail alaihissalam.
Pergaulan iman Nabi Ibrahim kepada Allah begitu intens, kontinu, terus menerus naik. Kepada Allah, Nabi Ibrahim begitu serius, sehingga ia begitu yakin kepada Allah, bahwa Allah tak mungkin menguji seorang hamba diluar kadar si hamba itu. Dan alhamdulillah Ibrahim lulus ujian, Ismail tak tersembelih, diganti kambing.
Iman kepada Allah merupakan pintu perjalanan seorang hamba yang terserah izin Allah perjalanan tersebut diperkenankan Allah hingga sampai ke mana. Terus percaya, terus percaya akan menghasilkan seseorang pada kondisi memahami Allah pada batas yang Allah tentukan. Batas itu, misalnya, tidak akan sampai ke maqom seseorang menjadi nabi.
Artinya, ujian kita tentu tak sama dengan ujian para nabi. Lebih jauh berbeda lagi ialah ujian dari Allah berbeda dengan ujian dari manusia. Ujian dari manusia bisa berupa uji kepatutan dan kelayakan calon kepala daerah, atau uji tesis calon doktor yang kalau benar semua dapat nilai cumlaude, lantas merasa pandai dan unggul.
Kalau memakai cara berfikir Abu Nawas, ujian dari Allah bisa berupa pertanyaan: “berapa jumlah bulu alis di matamu?” Dan di bangku “ujian nasional” dari Tuhan membuat kita sadar bahwa kita semua ini bodoh permanen sampai mati, yang membuat kita tak ada alasan untuk tidak saling rendah hati.
Diluar konteks iman kepada Allah, untunglah yang menguji kita adalah manusia sehingga diantara kita ada yang ranking satu, ada yang lulus jadi doktor, ada yang jadi rektor, ada yang diangkat jadi ketua ormas hingga ada yang jadi pejabat tinggi dengan alat-alat uji dari dan oleh manusia.
Namun dihadapan ujian Allah, siapakah yang yakin lulus?
Ah, saya ini banyak dosanya, banyak kotornya, banyak aibnya, tak pantas kiranya saya nge-gas menulis panjang-panjang bak mubaligh berceramah mengenai iman dan ujian. Selain itu, dan ini alasan saya yang asli, ide menulis saya mulai macet dan terpaksa harus saya akhiri sampai di sini.
Selamat ber-Idul Adha.
Banyuwangi, 17 Juni 2024
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.