SURABAYA (RadarJatim.id) — Kelompok Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang beranggotakan Elma Nur Islamiyah (2021-204), Louis El. M (2021-223), Nurul M. A (2020-025), Sri A. S (2021-125), dan Weni Y (2021-237) melakukan kegiatan magang sebagai pemenuhan tugas dari penyelenggara Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada 19 Februari – 21 Juni 2024. Magang dilakukan di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya di Jl. Raya Ir H Juanda 87, Semawalang, Semambung, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur.
Pada kegiatan magang tersebut, kelompok mahasiswa UMM menganalisis tindak pidana desersi yang terjadi pada lingkup Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya. Peradilan militer merupakan lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan TNI untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Ketua Kelompok Mahasiswa UMM, Elma Nur Islamiyah, mengungkapkan, pengadilan militer tidak berpuncak dan tidak diawasi oleh markas besar TNI, tetapi berpuncak dan diawasi oleh Mahkamah Agung (MA) RI. Secara umum, kata Elma, lembaga peradilan militer terdiri atas Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama.
“Pengadilan Militer Tinggi mengadili perkara pada tingkat pertama oleh TNI yang berpangkat Mayor ke atas dan mengadili perkara pada tingkat banding dari TNI yang berpangkat Prajurit hingga Kapten. Salah satu perkara yang diadili adalah terkait desersi,” ujar Elma, Kamis (4/7/2024).
Dijelaskan, desersi merupakan tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya secara langsung, pada suatu tempat dan waktu yang telah ditentukan oleh dinas, lari dari kesatuan, meninggalkan
dinas kemiliteran, pergi dan melarikan diri tanpa izin. Sementara tindak pidana desersi adalah suatu tindak pidana secara khusus yang dilakukan seorang militer, karena sifatnya melawan hukum dan
bertentangan dengan Undang-undang dalam lingkup militer.
Ditambahkan, seorang prajurit TNI dapat dijatuhi hukuman tambahan berupa pemecatan. Pasal 87 KUHPM menjelaskan, bahwa batas dari ketidakhadiran tanpa izin dalam militer, yakni selama 4 hari dalam masa perang dan 30 hari dalam masa damai. Karena itu, dengan melakukan ketidakhadiran tanpa
izin dan tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya, desersi yang dilakukan
dalam waktu damai diancam dengan pidana penjara maksimum 2 tahun 8 bulan. Sementara desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum 8 tahun 6 bulan.
Dikatakan, selama periode 2024 terdapat 6 perkara desersi di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya.
Tantangan yang dihadapi dalam menangangani perkara desersi, lanjutnya, tentu tidaklah mudah. Pasalnya, terdakwa tidak hadir dalam persidangan.
“Sebelum adanya Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan, maka diselesaikan melalui penetapan Mahkamah Agung yang menyatakan penolakan tuntutan Oditur dengan putusan niet ontvankelijke (NO).
Penetapan NO ini menyebabkan status putusannya mengambang, sehingga terdapat banyak
perkara yang belum diperiksa dan apabila dikemudian hari terdakwa hadir, maka perkaranya
dapat diperiksa kembali. Setelah adanya Undang-undang 31 Tahun 1997 sebagaimana diatur
dalam pasal 141 ayat (10), dijelaskan, bahwa dalam perkara desersi yang terdakwanya tidak
hadir dalam persidangan, maka diupayakan pemeriksaan secara in absensia.
“Adapun perkara desersi yang tidak diputus atau diperiksa dapat menyebabkan penumpukan perkara dan status hukum terdakwa tidak memiliki kepastian,” katanya.
Kepastian hukum terdakwa yang pelakunya adalah TNI sangat berpengaruh terhadap pembinaan kesatuan, keutuhan pasukan, dan mobilitas tugas. Karena itu, kecepatan dan ketepatan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dalam penyelesaian tindak pidana desersi, perlu mendapat penanganan khusus dan efektif. (red)