Oleh: Moh. Husen*
Ada koruptor yang kaya, ada koruptor yang miskin. Mungkin di antara kita ada yang menyaksikannya sendiri. Namun si korup yang ini, tetap saja miskin. Belum punya rumah sendiri hingga tua. Belum punya mobil. Padahal nominal yang dikorup lumayan, kalau sekadar untuk beli rumah dan mobil.
Si korup berikutnya, dengan nominal rata-rata uang yang dikorup juga sama: tapi mampu beli rumah sendiri di sebuah perumahan serta punya mobil sendiri. Segala sesuatunya tampak lancar. Hingga bisa bersedekah dan dianggap pahlawan oleh kebanyakan masyarakat sekitar.
Kita sepakat bahwa itu contoh yang buruk, dan kita tak perlu baca wirid yang macam-macam, hingga shalat tahajud disertai puasa Senin Kamis, hanya demi cita-cita menjadi pejabat yang korup dengan kesimpulan pasti kaya karena ada contoh kawan koruptor yang kaya raya.
Hari ini anak-anak kita mungkin bertanya: jadi pahlawan itu enak apa nggak sih? Bahasa kasarnya: jadi pahlawan itu kelak bisa kaya atau nggak sih? Kenapa jadi apa saja menjadi “boleh” ketika kemudian membuat kaya raya. Namun jadi apa saja menjadi “dikecam” tatkala kehidupan ekonominya tak membuat ia kaya.
Bagaimana kalau ada orang miskin terus sampai ia meninggal dunia? Dia jalani hidup normal, ya bekerja, ya shalat, ya sedekah semampunya, ya menolong orang, tapi ia miskin terus. Apakah kesimpulannya si miskin ini jauh dari pertolongan Tuhan, sementara asal kaya, berarti kekasih Tuhan?
Seorang kiai dalam sebuah pengajian memberikan contoh, bahwa ada orang kecewa gara-gara ban sepeda motornya mendadak bocor di tengah jalan. Hatinya kesal: udah terik panas, ban bocor pula. Sudah gitu harus menuntun motornya berjalan kaki lumayan jauh.
Tapi kemudian begitu bertemu tukang tambal ban, dia sekaligus bertemu perempuan cantik yang singkatnya cerita: perempuan tersebut menjadi istrinya. Pertanyaannya, kata Pak Kiai, ban bocor tadi jelek atau tidak, baik atau tidak, menguntungkan atau tidak?
Ya, kita paham maksud pertanyaan Pak Kiai. Jangan-jangan problem itu baik dan menguntungkan. Tapi kita inginnya tidak ada problem di sepanjang jalan. Kalau bisa dari dunia hingga akhirat, hidup tanpa problem. Apalagi kalau problem itu bernama kemiskinan.
So, mau jadi koruptor, ada yang kaya, ada yang miskin. Mau jadi pahlawan, ada yang kaya, ada yang miskin. Mau jadi gubernur, ada yang masuk penjara, ada juga yang kemudian terus naik hingga menjadi presiden, hingga saat purna anaknya sukses pula jadi wakil presiden.
“Jadilah pahlawan yang baik,” kata seseorang di warung kopi. “Pahlawan yang baik itu ikhlas menjalani dan menerima segala sesuatu yang telah digariskan oleh Tuhan. Dan ingat, pahlawan itu bukan hanya mereka yang berperang dan gugur di medan pertempuran,” katanya.
Saya langsung bilang oke sepakat, tanpa saya debat: apakah jadi gelandangan itu garis Tuhan atau garis kerakusan penguasa sehingga yang satu kaya raya, yang satunya lagi gelandangan karena tidak kebagian lahan pekerjaan. (*)
Banyuwangi, 10 November 2024
*Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.