Oleh Kristin Andayani*
Easy come, easy go. Mungkin ini istilah yang tepat dalam menggambarkan kelas menengah di belantara perekonomian Indonesia. Kelas menengah semakin terabaikan oleh pemerintah meskipun mereka berkontribusi besar terhadap perkembangan perekonomian.
Kebijakan yang ada tidak menyentuh akar masalah, sementara angka kemiskinan tidak mencerminkan realitas. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang lebih konkret untuk mendukung kelas menengah agar tidak semakin jatuh terpuruk.
Walaupun berstatus sebagai motor perekonomian, kelas menengah seolah terabaikan oleh “belas kasih” kebijakan pemerintah. Dengan populasi menjapai 47 juta orang, pengeluaran mereka menjadi kunci pendorong pertumbuhan ekonomi. Banyak yang bilang, kelas menengah sebagai juru selamat perekonomian.
Alih-alih menjadi istimewa, kelas menengah justru mengalami stagnasi gaji dan peningkatan pajak yang mengancam daya beli mereka. Awal tahun 2025, sebentar lagi akan jadi petaka karena sudah dipastikan adanya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Posisi kelas menengah akan semakin babak belur.
Menjaga kelas menengah adalah bagian penting yang harus diupayakan pemerintah agar konsumsinya tidak menurun. Sebab, besaran pengeluaran kelompok kelas menengah mencapai 81,49 persen dari total konsumsi masyarakat. Kelas menengah memiliki daya beli yang lebih tinggi, sehingga mereka berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi. Kenaikan konsumsi masyarakat kelas menengah berdampak positif pada pertumbuhan sektor-sektor seperti ritel, makanan, dan layanan.
Tengok saja peran konsumsi rumah tangga di PDRB pengeluaran. Sektor ini adalah pemain besar alias pemain kunci dari roda perekonomian Indonesia dari masa ke masa. Lebih dari setengah kue ekonomi Indonesia disumbang oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hampir 55 persen sumbangsih pengeluaran ini terhadap total PDB Indonesia, baik di triwulan I maupun triwulan II 2024.
Percaya atau tidak, kontribusi kelas menengah yang cukup besar dapat menjadi penyeimbang sosial. Kesejahteraan mereka dapat mengurangi ketegangan sosial dan meningkatkan stabilitas politik. Masyarakat, baik di dunia nyata maupun maya lebih senang jika kebijakan pemerintah mendukung insentif pajak pertambahan nilai kendaraan bermotor roda dua-empat ditanggung pemerintah, ketimbang melihat pejabat duduk nyaman di kursi DPR dengan anggaran gorden mencapai miliaran rupiah. Penurunan daya beli mereka berdampak besar pada perekonomian secara keseluruhan. Sahih betul jika ternyata tanpa kehadiran kelas menengah, olenglah prekonomian Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2019 masyarakat kelas menengah mencapai 57,33 juta, kemudian turun menjadi 53,83 juta pada 2021. Selanjutnya, jumlah masyarakat kelas menengah juga tercatat kembali turun pada 2022 menjadi 49,51 juta. Posisinya turun lagi pada 2023 menjadi 48,27 juta, dan pada 2024 turun menjadi 47,85 juta. Artinya, dalam 5 tahun saja, sudah ada 9,48 juta penduduk kelas menengah yang turun kelas.
Penurunan jumlah kelas menengah dari 57,3 juta menjadi 47,8 juta jiwa menunjukkan kondisi yang memprihatinkan dan bisa mempengaruhi konsumsi nasional. Kelas menengah di Indonesia saat ini mengalami kesulitan ekonomi yang signifikan, dengan pertumbuhan upah yang tidak sebanding dengan inflasi.
Pemerintah belum memberikan solusi konkret untuk menangani masalah ini. Pertumbuhan ekonomi yang terlihat positif sebenarnya tidak berpengaruh pada daya beli masyarakat. Kenaikan upah tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Besar pasak daripada tiang, begitu kiranya pepatah yang tepat untuk menggambrkan fenomena tersebut. Mungkin ini sudah jadi suratan takdir kelas menengah di Indonesia, banting tulang makan tabungan dan berjalan penuh kekhawatiran.
Dalam polemik ini, BPS mendapat sorotan. Bukan karena pencatatan perekonomian yang keliru, melainkan dalam mendefinisikan kelas menengah itu sendiri. Ternyata definisi kelas menengah di Indonesia masih menggunakan standar lama, yang membuat persentase kelas menengah nampak lebih tinggi dari kenyataan. Penghitungan garis kemisikinan yang digunakan secara internasional dan standar nasional memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini menyebabkan kebingungan dalam klasifikasi ekonomi masyarakat.
Banyak ahli yang mencibir BPS menggunakan kriteria yang kurang relevan untuk mengukur kemiskinan. Indikator strategis ini kerap dijadikan konsumsi politik yang dituding tidak akurat oleh para penantang petahana. Standar yang ketinggalan zaman ini memperlebar rentang kelas menengah. Standar garis kemiskinan yang digunakan saat ini dinilai sudah ketinggalan zaman dan tidak mencerminkan realitas kesulitan rakyat.
Hal itu tertuang dalam Policy Brief yang disebarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penganggulangan Kemsikinan (TNP2K). Dalam artikel ilmiah tersebut tersaji perbandingan pengukuran tingkat kemiskinan antara metode standar nasional dan internasional.
The International Poverty Line (IPL) mengacu pada batas kemiskinan ekstrem secara internasional yang didasarkan pada tahun dasar 2011. Garis kemiskinan internasional ini adalah US$ 1,90 per hari berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP), yaitu nilai tukar yang menyesuaikan dengan biaya hidup dan inflasi antarnegara. Artinya, orang yang hidup dengan kurang dari US$ 1,90 PPP per hari dianggap berada dalam kemiskinan ekstrem di tingkat global.
Sedangkan di Indonesia, garis kemiskinan diukur dengan mengalkulasi biaya untuk membeli sekeranjang kebutuhan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan minimum 2.100 kilokalori per orang per hari. Ini adalah standar minimum untuk mencukupi kebutuhan gizi dasar seseorang. Dengan kata lain, garis kemiskinan di Indonesia bersandar pada kebutuhan dasar untuk bertahan hidup dalam hal nutrisi. Menariknya, dari tahun ke tahun, ada bias kesenjngan yang semakin menganga dari tahun ke tahun antara kedua metode tersebut.
Pedoman garis kemiskinan yang lama membuat jumlah orang miskin terlihat menurun, padahal jumlah mereka mungkin meningkat. Tanyakan saja kepada para pejuang lowongan kerja dewasa ini, betapa sulitnya mencari pekerjaan yang minimal mampu membayar mereka sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR).
Fakta lain dapat dilihat dari pelamar CPNS tahun 2024 yang tidak pernah sepi peminat. Tercatat dalam laporan BKN diketahui jumlah pelamar CPNS sebanyak 3,57 juta pelamar berstatus telah mengumpulkan berkas. Ajang kompetisi masyarakat yang dibuat negara ini menjadi saksi bisu saling sikut para pelamar kerja dalam menyambung hidup.
Ramainya pelamar adalah bukti masih banyak mereka yang khawatir akan jatuh miskin jika mereka berusaha untuk menjadi pengusaha, penuh dengan spekulasi bisnis. Kekhawatiran akan jatuh miskinnya kelas menengan menjadi masalah serius. Ini tidak bisa dipandang sebelah mata dengan kacamata statistik yang sembarangan. Data kemiskinan dari BPS sangat penting untuk pengambilan keputusan negara, tetapi jika datanya tidak akurat, kebijakan yang diambil bisa merugikan masyarakat. Ini berisiko tinggi.
Banyak yang bilang juga, bahwa BPS sedang utak-atik data sesuai yang ada dalam buku How to Lie with Statistic karya Darrel Huff. Menggunakan standar lama untuk mengukur kemiskinan adalah usaha untuk memberikan kesan positif pada statistik. Tetapi ingat, ini tidak menyelesaikan masalah rakyat yang sebenarnya. Darrel Huff (2010) mengungkapkan, bahwa kamuflase indikator di balik keusangan metodologi adalah bentuk statistik yang menyesatkan, jauh dari statistik yang berkualitas.
Kebijakan pemerintah saat ini cenderung menutupi masalah kelas menengah dengan solusi sementara, bukannya menyelesaikan akar permasalahan. Kenaikan pajak dan biaya hidup menjadi beban tambahan bagi kelas menengah.
Kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen akan berdampak langsung pada kelas menengah, menyebabkan harga barang dan jasa melonjak. Tentu saja ini menciptakan beban tambahan yang signifikan bagi konsumen. Perlu diingat, bahwa kelas menengah ini adalah kelompok masyarakat yang “spending” terus. Ketika mereka berbelanja langsung digetok harga selangit, uang mereka akan tertahan karena mereka enggan untuk belanja. Jumlah uang beredar akan seret dan itu berbahaya.
Selain itu, kelas menengah sering teridentifikasi sebagai kalangan yang terdidik dan memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber daya dan teknologi. Oleh karena itu, mereka lebih mampu berinovasi dan menciptakan usaha baru. Kewirausahaan dari kelas menengah dapat menciptakan lapangan kerja dan memperkuat ekonomi lokal. Jika mereka terus diciderai dengan beban pajak yang semakin melambung, bukan tidak mungkin penyerapan tenaga kerja dari kalangan ini akan semakin menyusut sejadi-jadinya.
Beralih ke sisi pemenuhan akan pendidikan yang layak juga semakin menekan kaum kelas menengah. Saat masyarakat kelas bawah diberikan “sunami beasiswa” mulai dari Bidik Misi hingga program Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T), kaum kelas menengah tidak terdampak apa-apa. Mereka tidak cukup miskin untuk memperoleh hadiah tersebut, tetapi tidak cukup kaya untuk mendapatkan pendidikan berkualtias.
Pendidikan menjadi semakin tidak terjangkau bagi kelas menengah akibat naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga 500 persen. Perkasa, D.H dan Putra (2020) menyatakan dalam penelitiannya, bahwa biaya pendidikan yang mahal berpengaruh signifikan terhadap minat siswa untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Kebijakan ini memperburuk akses pendidikan yang seharusnya menjadi hak semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.
Kelas menengah di Indonesia saat ini menghadapi berbagai tekanan ekonomi akibat kebijakan yang membebani, sehingga mereka membutuhkan perhatian dan bantuan dari pemerintah. Kebijakan yang ada dinilai tidak cukup efektif dalam meringankan beban hidup mereka. Kenaikan tarif dan pajak yang telah dibahas sebelumnya menyebabkan kelas menengah mengalami kesulitan ekonomi yang lebih besar. Biaya hidup yang meningkat membuat mereka stres dalam mencari hiburan dan liburan.
Pemerintah perlu memikirkan solusi jangka panjang untuk membantu kelas menengah, bukan hanya mengandalkan bantuan sosial yang bersifat sementara. Ada kekhawatiran, jika kebijakan yang tidak tepat bisa menciptakan ketidakpuasan di kalangan kelas menengah. Hal ini berpotensi menimbulkan efek domino yang merugikan masyarakat secara luas.
Hanya data statistik yang berkualitas yang mampu mencegah domino ini terus runtuh. Statistik berkualitas layaknya pedoman bersama perihal langkah apa yang perlu dirubah dan apa saja yang bisa dilanjutkan. BPS yang ditunjuk sebagai si empunya statistik berkualitas ini perlu bermawas diri dan melepaskan ego sektoralnya.
Dunia telah bergerak ke arah yang dinamis. Pengetahuan dan penerapan metode baru perlu untuk dipertimbangkan dan dipublikasikan dengan bahasa yang “renyah” dan gampang dipahami oleh masyarakat. BPS juga penting untuk menjaga persepsi masyarakat agar tetap di koridor yang benar. Upaya ini bukan dimaksudkan agar lapisan masyarakat, khususnya kelas menengah, tidak gemas dalam menghadapi Indonesia Emas. Momen itu sebentar lagi datang, mari kencangkan ikat pinggang. {*}
*) Kristin Andayani, Fungsional Statistisi Pertama BPS Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.