SURABAYA (RadarJatim.id)- Banyak orang tua kesal dengan kebiasaan buruk anak remajanya. Seharian telinga mereka enggan lepas headset, headphone, ataupun earphone. Bahkan ada seorang ibu, sampai geleng kepala, saat membuka kamar tidur anaknya. Bunyi musik yang keluar dari peranti penyuara telinga itu terdengar cukup keras. Sementara anaknya tertidur pulas, dengan headset nangkring di kepala.
Begitulah realitasnya, anak-anak muda zaman sekarang. Mereka tidak sadar bahwa perilaku menggunakan alat pelantang eletronik tersebut dalam jangka panjang dapat mengganggu indera pendengaran.
“Awalnya memang tidak apa-apa. Tidak direken, sepertinya juga gak apa-apa,” kata dr. Andi Roesbiantoro, Sp.THT-KL, dokter spesialis telinga, hidung, tenggorok, bedah kepala, leher (THTKL) dari RSI A Yani Surabaya. “Tetapi dalam jangka panjang bisa merusak pendengarannya,” tambahnya.
Dikatakan, telinga itu apabila mendapat paparan suara terus-menerus, maka dia akan beradaptasi. Karena mekanisme inilah yang membuat orang yang bersangkutan akan merasa baik-baik saja. Padahal tanpa disadari, secara berangsur-angsur tubuhnya telah melakukan penyesuian diri. Salah satu bentuk konkretnya adalah dia akan mendekatkan telinganya kepada orang yang sedang berbicara dengannya.
Adaptasi tahap berikutnya adalah dalam bercakap-cakap dia sering menyela dengan berkomentar, “kalau ngomong agak kerasan dikit, dong.” Padahal sesungguhnya yang terjadi adalah penurunan fungsi pendengaran, tetapi tubuhnya melakukan adaptasi.
Ketika keadaan semakin memburuk, seperti yang bersangkutan mengalami teilinga berdenging atau gangguan lainnya, ini baru tersadari. “Celakanya, biasanya kesadaran itu muncul ketika kondisi telinganya sudah parah,” katanya.
Dokter Andi menegaskan, segala sesuatu kalau digunakan secara berlebihan, diforsir, maka akan terjadi penurunan fungsi. Demikian juga dengan pendengaran. Untuk itu dia menganjurkan agar setiap orang menjalankan perilaku sehat. Apabila menemui gangguan pendengaran maka perlu segera diperiksakan ke dokter.
Salah satu alat untuk mendeteksi tingkat kenormalan pendengaran adalah audiometri. RSI A Yani Surabaya telah memiliki peralatan vital ini. Audiometri adalah suatu alat yang dapat menentukan nilai ambang batas pendengaran seseorang.
Seperti diketahui, masing-masing orang memiliki titik ambang batas dengar yang berlainan. Seberapa desibel minimal yang bisa didengar tiap orang juga berbeda-beda. Namun demikian pada umumnya, nilai normalnya adalah 25 desibel ke bawah. Jadi, berada antara 0 desibel sampai 25 desibel.
“Jika diukur dengan audiometri, ternyata mendapat nilai di atas 25 desibel, itu artinya tuli. Semakin tinggi angka audiometri berarti semakin berat derajat ketuliannya. Tuli itu sendiri bertingkat-tingkat. Ada tuli ringan, sedang, berat, sangat berat, atau tuli total.” kata dr. Andi.
Kapan audiometri digunakan dan untuk siapa? “Ya, untuk siapa saja yang ingin mengetahui sejauh mana kesehatan pendengarannya. Kalau sudah merasa berkurang pendengarannya silakan periksa audiometri,” katanya.
Ditambahkan, sebelum periksa audiometri, dokter akan memeriksa terlebih dahulu sistem pendengaran pasien, agar tidak sampai ada hal-hal yang mengganggu pendengarannya. Pasien juga dalam kondisi sehat, tidak dalam keadaan batuk dan pilek. Karena pilek sangat memengaruhi kondisi telinga. Ketika pasien dinyatakan sehat, barulah dites audiometri.
Menurut dr. Andi, terdapat tiga jenis gangguan pendengaran atau tuli. Pertama, tuli konduksi. Tuli jenis ini dikarenakan adanya kelainan di telinga bagian luar dan bagian tengah. Kedua, tuli saraf. Ini terjadi gangguan saraf pada telinga bagian dalam. Ketiga, tuli campuran. Yaitu tuli yang disebabkan oleh kombinasi gangguan telinga luar, tengah, dan dalam.
“Kebanyakan yang dapat diobati itu jenis tuli konduksi. Untuk tuli saraf atau tuli bagian dalam sulit diobati, tetapi ada obatnya. Biasanya yang banyak itu pasien penderita tuli bagian tengah dan dalam, karena letak keduanya berdekatan,” katanya menjelaskan. (rio)