Oleh Andhika Wahyudiono*
Angin segar berhembus terkait program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) setelah gelombang protes menggema dari kalangan pekerja dan sejumlah pihak penolaknya. Sedikit demi sedikit pemerintah pun nampak mulai melunak.
Hal ini bisa ditangkap dari pernyataan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono di gedung DPR pada Kamis (6/6/2024). Ia mengaku menyesal dengan kegaduhan dan kemarahan masyarakat yang timbul terkait rencana pelaksanaan program tersebut. Penyesalan ini menunjukkan, bahwa pemerintah mulai mempertimbangkan kembali kebijakan yang telah diambil.
Kelegowoan Basuki untuk (setidaknya) mengundur program Tapera juga dinyatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, asalkan desakan tersebut disampaikan oleh DPR sesuai dengan mekanisme yang ada. Basuki menekankan, bahwa program Tapera dilaksanakan pemerintah dengan dasar hukum UU Tabungan Perumahan Rakyat yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2016. Namun, ia juga menyatakan, jika program ini memang belum siap, maka tidak perlu tergesa-gesa untuk diberlakukan, bahkan jika perlu diundur hingga 2027.
Pernyataan Basuki tersebut memberikan angin segar dalam pelaksanaan program Tapera. Meski belum pasti, namun itu adalah sinyal yang baik jika di masa mendatang ada kemungkinan program Tapera ditunda atau direvisi. Semuanya bergantung pada keputusan DPR dan pemerintahan baru nanti.
Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, menegaskan, ada peluang untuk merevisi aturan tersebut dan mengubah sifat kepesertaannya menjadi sukarela. Menurutnya, jika menteri baru melanjutkan aturan dan DPR tidak memperhatikan aspirasi masyarakat, maka penolakan terhadap program ini akan terus bergema.
Nailul juga melihat ada waktu tiga tahun bagi pemerintah dan DPR untuk mengevaluasi kembali rencana penerapan kebijakan itu, karena pelaksanaannya baru diwajibkan pada 2027. Nailul menyarankan tiga poin utama yang perlu diubah jika dilakukan revisi: pertama, mengubah sifat kepesertaan yang saat ini wajib menjadi sukarela; kedua, memastikan, bahwa dana investasi atau tabungan yang dikumpulkan oleh pemerintah bersifat liquid; dan ketiga, meningkatkan transparansi penggunaan dana secara detail kepada peserta Tapera.
Senada dengan Nailul, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita juga berharap, program Tapera tidak diwajibkan bagi pekerja swasta dan mandiri. Ronny menekankan, tujuan utama program ini adalah untuk memberikan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta. Namun, pekerja berpendapatan rendah (MBR) akan tetap kesulitan mendapatkan rumah meskipun ikut dalam program Tapera. Ia menyebut, meskipun dana peserta sudah berlipat ganda karena dikelola dan diinvestasikan oleh pemerintah, harga rumah yang selalu naik tiap tahunnya tetap menjadi hambatan utama.
Ronny menilai, program ini mestinya tetap terbatas untuk PNS saja. Sebab, semakin banyak anggotanya yang ikut, alih-alih memberikan kemudahan, justru dapat menimbulkan masalah di kemudian hari. Ia meminta pemerintah untuk memutuskan menunda program Tapera dan mengkaji ulang program tersebut secara lebih mendalam, agar lebih bisa diterima oleh publik dan menjangkau semua kalangan.
Kesediaan pemerintah untuk menunda pelaksanaan Tapera hingga 2027 memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kajian ulang dan perbaikan terhadap program tersebut. Diharapkan, dengan evaluasi yang mendalam dan perbaikan yang signifikan, program Tapera dapat menjadi solusi yang efektif dan adil dalam menyediakan perumahan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa menambah beban bagi masyarakat yang sudah berjuang keras dalam pemulihan ekonomi pascapandemi.
Namun, terdapat sejumlah tantangan dan hambatan yang harus dihadapi dalam upaya merevisi dan mengimplementasikan kembali program Tapera. Pertama, tantangan utama adalah kebutuhan untuk memastikan, bahwa revisi kebijakan itu benar-benar memperhitungkan kondisi ekonomi yang dinamis. Pascapandemi, banyak sektor usaha masih dalam tahap pemulihan, dan kebijakan fiskal yang tidak tepat waktu dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Pemerintah perlu melakukan analisis ekonomi yang mendalam untuk memahami dampak jangka panjang dari kebijakan Tapera terhadap daya beli masyarakat dan stabilitas makro-ekonomi.
Kedua, hambatan birokrasi dan koordinasi antarlembaga menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Implementasi program Tapera memerlukan kerja sama yang erat di antara berbagai kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Jika tidak ada sinergi yang baik, pelaksanaan program ini bisa menghadapi banyak kendala teknis dan administratif yang berpotensi menghambat tujuan program.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana Tapera merupakan tantangan besar. Masyarakat perlu diyakinkan, bahwa dana yang mereka setorkan akan dikelola dengan baik dan digunakan sesuai dengan tujuan awal, yaitu menyediakan perumahan yang layak. Pemerintah perlu membangun sistem pengawasan dan transparansi yang kuat untuk memastikan dana dikelola dengan efisien dan efektif. Kurangnya transparansi dapat mengurangi kepercayaan masyarakat dan memicu resistensi terhadap program tersebut.
Keempat, perubahan sifat kepesertaan dari wajib menjadi sukarela menjadi salah satu rekomendasi utama dalam revisi program ini. Namun, perubahan ini juga menimbulkan tantangan tersendiri. Pemerintah perlu merancang insentif yang cukup menarik agar pekerja tetap mau berpartisipasi dalam program Tapera meskipun tidak diwajibkan. Tanpa insentif yang tepat, partisipasi dalam program ini bisa rendah, mengurangi efektivitasnya dalam mencapai tujuan penyediaan perumahan.
Kelima, pengelolaan investasi dana Tapera harus dilakukan dengan hati-hati. Dana yang dikumpulkan harus diinvestasikan secara likuid dan aman untuk memastikan, bahwa peserta dapat menarik dana mereka kapan saja diperlukan. Pengelolaan investasi yang kurang bijaksana dapat menimbulkan risiko kehilangan dana dan merugikan peserta program. Pemerintah perlu mengembangkan strategi investasi yang memastikan keamanan dan pertumbuhan dana yang optimal.
Terakhir, faktor sosial dan politik juga berpotensi menjadi hambatan signifikan. Perubahan kebijakan besar seperti ini kerap menghadapi berbagai kepentingan dan tekanan politik. Pemerintah harus mampu menavigasi dinamika politik dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk DPR dan kelompok masyarakat, untuk memastikan kelancaran revisi dan implementasi program.
Mengatasi tantangan dan hambatan ini memerlukan pendekatan yang inklusif dan partisipatif. Pemerintah perlu melibatkan berbagai stakeholder dalam proses revisi kebijakan untuk memastikan, bahwa berbagai perspektif dan kepentingan akan dipertimbangkan. Dengan demikian, program Tapera dapat menjadi kebijakan yang tidak hanya efektif dalam menyediakan perumahan, tetapi juga adil dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pemerintah diharapkan dapat memanfaatkan waktu hingga 2027 untuk melakukan kajian mendalam dan merancang program yang lebih baik dan berkelanjutan, yang benar-benar mampu memenuhi kebutuhan perumahan rakyat Indonesia, tanpa menambah beban bagi mereka yang sedang berjuang memulihkan ekonomi pascapandemi. {*}
*) Andhika Wahyudiono, Dosen UNTAG Banyuwangi, Jawa Timur.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.