Oleh Andhika Wahyudiono*
Penegakkan hukum tanpa menjunjung tinggi etika/moralitas, ibarat berlayarnya kapal di lautan tanpa air. Norma hukum dan norma etik/moral ibarat dua sisi mata uang.
Artinya, sebuah teks normatif dan perilaku hukum penyelenggara negara pun mengandung kedua sisi tersebut. Hukum berfungsi sebagai pengatur sekaligus operator yang hubungannya berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi negara dan bagaimana penyelenggara negara menjalankan kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Etika –pada bagiannya– berusaha mengontrol perilaku dan melindungi kehormatan dan martabat pejabat negara (manusia yang amanah, profesional, berakhlaq, dan beradab).
Dalam konteks negara hukum Pancasila, fungsi negara tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menegakkan moralitas rakyat (termasuk keadilan substantif). Sebab, isi Pancasila adalah ketuhanan dan kemanusiaan.
Dalam konteks inilah negara hukum yang demokratis dan negara hukum yang demokratis akan berjalan sesuai dengan Pancasila dan konstitusi, jika dipimpin oleh pejabat negara yang andal, profesional, berakhlak mulia, dan beradab. Sebaliknya, korupsi, suap, dan penyalahgunaan wewenang menjadi bukti, bahwa penyelenggara negara tersebut tidak amanah dan tidak beradab, serta melanggar hukum.
Masalah pelanggaran etika penyelenggara negara menyebabkan turunnya kepercayaan warga negara terhadap lembaga tersebut. Misalnya, dalam bidang peradilan, putusan-putusan tidak dipercaya. Ini terjadi, bisa jadi karena putusan yang diambil merupakan produk komitmen politik. Menyadari bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut merusak sistem ketatanegaraan dan menghancurkan sendi-sendi kekuasaan negara, maka perlu dilakukan penataan ulang ketentuan etika dan penegakannya melalui pembentukan lembaga peradilan etis yang mandiri dan tidak memihak.
Pancasila merupakan landasan moralitas sekaligus sebagai sumber hukum, sumber moralitas/etika di Indonesia, mengandung nilai-nilai hukum dan nilai-nilai moral/etis yang luhur, serta berfungsi sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem aturan hukum harus berdasarkan Pancasila, sehingga otoritas hukum yang rendah harus diperbaiki agar sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Sekaligus menjadi kelonggaran bagi setiap perilaku penyelenggara negara.
Pancasila juga menjadi pembatas perilaku diperbolehkan atau dilarang oleh penyelenggara negara dalam konteks nilai dan prinsip. Pada bagiannya, UUD 1945 tidak hanya memuat norma hukum, tetapi juga norma moral/etis, tidak hanya sebagai pedoman hukum, tetapi juga menjadi pedoman moral/etis.
Istilah moral dan etika memiliki arti yang sama/berdampingan, yaitu berkaitan dengan tingkah laku manusia, tingkah laku yang dianggap baik/buruk, benar/salah, memadai/kurang, etis/tidak etis, bermoral/tidak bermoral. Moralitas atau kesusilaan sering digunakan dalam proses menilai suatu perbuatan (pikiran dan perbuatan hukum).
Etika dan moral dapat berdiri sendiri dalam arti tertentu, misalnya dalam arti konstitusi. Konstitusi memuat norma hukum, norma etika, dan norma moral, yang kesemuanya merupakan cara pandang untuk memahami kontekstualisasi konstitusi.
Gagasan perlunya peradilan etis yang independen dan tidak memihak sangat mendesak mengingat maraknya pelanggaran etik yang dilakukan penyelenggara negara. Apalagi, sampai saat ini belum ada standar etika yang menjadi pedoman perilaku penyelenggara negara. Beberapa lembaga etik masih berada di bawah kendali lembaga negara yang menaunginya dan masih menempatkannya pada posisi di bawah pimpinan lembaga negara, sehingga intervensi kepentingan sangat dimungkinkan.
Dalam membangun desain peradilan etik yang mandiri dan tidak memihak, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: dibentuk undang-undang yang secara khusus mengatur tentang etika penyelenggara negara; pengadilan etika yang independen dan tidak memihak didirikan; proses penerapan kode etik yang transparan dan bertanggung jawab; memperkuat prinsip hukum prosedur keadilan etis yang bertanggung jawab; serta keputusan peradilan etis yang bersifat final dan mengikat. {*}
*) Andhika Wahyudiono, Dosen UNTAG Banyuwangi.