Oleh Anang Prasetyo
Dunia adalah warna. Apa jadinya jika dunia tidak ada warna. Niscaya serasa hampa, bahasa Jawanya sepo. Tidak ada dinamika. Yang ada hanya hitam dan putih. Meskipun hitam putih itu sendiri adalah warna.
Melihat lukisan pelukis cilik yang ampuh, Cailyn, kita dihadapkan pada landskap kehidupan sehari-hari yang penuh warna. Semakin ingin menggambarkan warna, akhirnya ditambahkan kata ‘warni’. Jadinya, warna-warni. Sebab, seluruh warna yang ada di dunia, baik di bumi maupun langit, keseluruhannya memang beragam warna.
Keragaman warna di alam itulah yang ditangkap dengan centil oleh Cailyn. Kehidupan setiap hari yang bagi manusia dewasa, mulai sumpeg. Sebab, beragam persoalan hidup yang dialami, oleh Cailyn ditangkap semua dengan keceriaan khas anak kecil.
Guru saya, almarhum Satya Budhi, pelukis Surabaya yang wafat dan dimakamkan di Kotagede Yogyakarta pernah menasihati saya. “Kalau kamu ingin melukis, jadilah seperti anak kecil. Bermain-mainlah. Baik dengan bentuk dan warnanya”.
Sebuah nasihat yang bagus bagi para pelukis. Sebab, berbeda dengan anak kecil, seperti Cailyn, yang menangkap bentuk dan warna dengan tawa canda, kegembiraan khas layaknya anak kecil. Kita orang dewasa tidak demikian halnya.
Rumit dan kadang berbelit. Penuh dengan pemikiran tatkala menggoreskan kuas di atas kanvas. Walhasil, terkadang karya lukisan yang dihasilkan terkesan akademis. Rohnya jadi hilang. Padahal, tesis S. Soedjojono, lukisan adalah jiwo ketok, jiwa yang nampak, merupakan spirit utama dalam kekaryaan.
Kekuatan suci Tuhan pada diri anak tentu saja masih sangat lekat dan kuat. Itulah mengapa seoarang anak kecil, secara jernih dan fitri mampu mengungkapkan ekspresi secara jernih.
Jika jernih ini disinonimkan dengan fitrah, maka Cailyn yang masih fitrah, karena memang masih sebagai anak kecil, maka ia menangkap pengalaman sehari-hari masih murni.
Apa yang ia indera dan rasakan disekelilingnya, merupakan sumber kekaryaan utamanya. Sebuah talenta visual dan kekuatan fitrah manusia kecil itulah yang menggerakkan secara dinamis jiwa Cailyn.
Uniknya, ia tidak terjebak pada pola gambar anak pada umumnya. Ia mampu secara dinamis dan progresif menggerakkan naluri fitrinya tadi secara eksploratif penuh kreativitas. Daya bermain-mainnya menjadi kekuatan dan daya linuwih di usianya.
Daya bermain-main, sebagaimana pesan Pelukis Satya Budhi itulah yang saya tangkap muncul di semua karyanya. Lebih dari itu, Cailyn mampu memberikan kekuatan imajinatif pada bentuk yang digambarkan di kanvasnya. Jadilah daya bermain-main itu menjadi berkekuatan dahsyat. Untuk anak seusianya, kanvas besar-besar itu ia lahap dengan penuh percaya diri.
Jika boleh cemburu, sungguh saya cemburu. Sebab, lukisan Cailyn kecil adalah wujud kemurnian dalam dirinya yang masih fitrah tadi. Itulah barangkali mengapa, hingga saya setua ini masih menyukai anak-anak. Setiap bulannya, saya mengajak anak-anak di Komunitas Padhang Njingglang, bermain cerita menyanyi dan berkreasi bersama. Jujur, saya sesungguhnya mendapat energi pancaran fitrah dari anak-anak itu.
Bahkan, saya masih ingat wejangan Guru saya, Abina KH Muhammad Ihya ‘Ulumiddin, dalam rumah tangga jadilah seperti anak kecil. Sehari itu satru (marah-marahan, bermusuhan), maka di hari itu pula wawuh (berdamai dan selesai persoalan). Satru dan wawuh dalam kosakata Bahasa Jawa, menggambarkan khas dunia anak-anak.
Maka, orang tua yang sudah lama menjalin hubungan tetap harus menjaga layaknya hubungan anak kecil dengan temannya.
Dunia Cailyn adalah dunia anak-anak. Ia berhasil dan mampu memvisualkan kehidupannya dengan penuh kejujuran dan keberanian. Di usianya yang ke-7 atau 8 tahun, Ibrahim yang akhirnya menjadi Nabi, sudah menanyakan perihal ketuhanan.
Maka, Cailyn sangat boleh jadi, dengan kecerdasan visualnya secara kognitif akan bertanya perihal Tuhan di dalam karya lukisnya. Sebab, tangkapan visual baik laut, manusia, hewan, tumbuhan di kanvas-kanvasnya, merupakan manivestasi ketuhanan, sekaligus pembelajaran makhluk terhadap penciptanya. Pencarian hamba kepada Tuhannya, Sang Pencipta.
Cailyn belum mencapai usia itu. Namun ia sudah berinvestasi melalui seni rupa. Dengan pendidikan kasih sayang, sifat rahman dan rahim dalam mendampingi Cailyn, Insya Allah itu menjadi bekal kekuatan baginya. Terlebih, berkat bimbingan orang tua dan gurunya, apa yang saya sebut sebagai me-maiyahi kecerdasan pemberian Tuhan Yang Maha Indah itu, merupakan modal utama bagi suksesnya Cailyn meraih prestasi dan kebahagiaannya di dunia ini.
Walhasil, Robbi habli minasholihin. Tuhanku, anugerahkanlah kesalihan pada Cailyn. Demikianlah doa yang saya pujikan di saat sujud akhir dalam salat untuk anak-anak saya dan semua murid-murid saya. Selain itulah ijazah dia dari murobbi Abi KH Muhammad Ihya ‘Ulumiddin, juga sebagaimana itulah doa Nabi Ibrahim untuk anaknya, Ismail.
Cailyn telah menemukan bakat dan talenta dalam rupa dan pesona warna yang penuh artistika dan estetika. Maka, tetaplah menjaga daya bermainnya. Kuatkan jiwanya dengan pendidikan yang penuh kasih dan sayang.
Juga lembutkan hatinya agar tetap rendah hati tanpa jumawa. Lejitkan kognisinya dengan ragam kecerdasan lainnya. Bimbinglah dengan kekuatan maiyatullah dalam membersamai perkembanganya.
Niscaya, Insya Allah ia akan hidup di masa depan dengan kekuatan penuh percaya dan talenta yang dimilikinya.
Amin Allahumma aamiin. {*}
*) Anang Prasetyo, guru dan perupa, serta Pembina Komunitas Padhang Njingglang Tulungagung.