Oleh Vivi Nabila Azzahro
Sistem administrasi Indonesia masih dihadapkan pada dilema antara upaya efisiensi dan jebakan korupsi. Di satu sisi, pemerintah telah melakukan upaya untuk meningkatkan efisiensi dengan menggunakan teknologi digital. Di sisi lain, peluang terjadinya korupsi masih saja membayangi pengelolaan administrasi pemerintahan
Contohnya yang bisa meningkatkan efisiensi, sistem administrasi online telah memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan, seperti pengurusan KTP, SIM, dan lain-lain. Di beberapa daerah, penggunaan teknologi digital telah meningkatkan efisiensi hingga 30% dan mengurangi waktu tunggu hingga 50%. Namun, masih banyak daerah yang belum memanfaatkan teknologi digital secara optimal, sehingga masih banyak masyarakat yang harus mengantre dan menunggu lama untuk mendapatkan layanan.
Di sisi lain, korupsi masih menjadi masalah krusial terbesar dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Data terbaru menunjukkan, bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan signifikan. Ini menandakan semakin lemahnya sistem pemberantasan korupsi. Berbagai kasus besar yang terungkap hanya merupakan puncak gunung es dari masalah yang lebih kompleks. Lantas, mengapa korupsi tetap bertahan meski berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan telah dilakukan?
Berdasarkan data dari Transparency International, IPK Indonesia pada tahun 2024 berada di angka 34, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 38. Skor ini menunjukkan tingkat korupsi yang masih tinggi dan kurangnya efektivitas dalam pemberantasan korupsi. Beberapa kasus besar yang mencuat sepanjang tahun ini, di antaranya kasus korupsi proyek infrastruktur dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah, skandal suap di lembaga pemerintahan yang melibatkan pejabat tinggi negara, serta korupsi di sektor pendidikan dan kesehatan yang menghambat kesejahteraan masyarakat.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, pemerintah telah membentuk berbagai lembaga, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian. Namun, efektivitas lembaga-lembaga ini kerap dipertanyakan, terutama ketika ada indikasi pelemahan terhadap KPK yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam menangani kasus korupsi. Selain itu, proses hukum yang berlarut-larut sering membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap sistem peradilan.
Untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi korupsi, perlu dilakukan reformasi birokrasi dan peningkatan transparansi. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mengurangi kesempatan korupsi. Contohnya, pemerintah dapat menerapkan sistem pengawasan internal yang lebih ketat, meningkatkan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa, dan memberikan penghargaan kepada pelapor korupsi.
Masyarakat juga perlu diajak untuk berpartisipasi dalam pengawasan dan pelaporan korupsi. Masyarakat dapat berperan sebagai pengawas dan pelapor korupsi melalui aplikasi pengaduan online atau melalui lembaga anti-korupsi. Dengan demikian, masyarakat dapat membantu pemerintah dalam menciptakan sistem administrasi yang baik dan mengurangi korupsi.
Pada akhirnya, sistem administrasi Indonesia perlu diperbaiki untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi tindakan korupsi. Korupsi bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga budaya yang harus diubah melalui pendidikan dan ketegasan hukum.
Tanpa komitmen yang nyata dari semua pihak, korupsi akan terus mengakar dan menghambat kemajuan bangsa. Apakah Indonesia mampu keluar dari jerat korupsi, ataukah hanya akan terus mengulang sejarah yang sama? Jawabannya ada pada kesadaran dan aksi nyata bersama para pemangku kepentingan. (*)
*) Vivi Nabila Azzahro, Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.