| Oleh SUHARTOKO |
DI sebuah warung kopi di kawasan Surabaya Selatan, dua orang sahabat yang sama-sama alumni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya terlibat obrolan ringan seputar kampus tercinta mereka yang sejak tahun 1999 berganti nama menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Semula obrolan mereka datar-datar saja, tidak menunjukkan adanya sesuatu yang perlu diperbincangkan secara serius. Di sela obrolan ringan itu, sahabat I asyik dengan rokok dan kopi hitamnya. Sementara sahabat II, di sela menuang dan nyruput kopi susunya, lebih fokus pada lembar-lembar koran yang dia beli di kios dekat warung itu.
Beberapa menit kemudian, tensi obrolan yang semula landai-landai dan tenang itu tiba-tiba naik dan sedikit gaduh. Sambil menunjukkan berita lokal Surabaya pada koran yang dibaca, sahabat II membuka suara dengan ekspresi serius. Setengah menggugat, sahabat II berujar:
“Ini apa maksudnya, Cak? Apa wartawan dan pengelola koran ini sentimen dengan kampus kita? Masa ada banyak berita pendidikan, kampus kita nggak ada sama sekali beritanya. Yang ditulis hanya beritanya kampus negeri lain. Lha, ini juga ada berita dari kampus swasta yang mestinya tak layak. Sebagai alumni, malu aku, Cak.”
Mendengar berondongan pertanyaan dan protes sahabatnya, sahabat I tak segera merespon. Dia malah asyik memainkan asap rokok dari mulutnya hingga membentuk lingkaran menyeruapi cincin. Sahabat I hanya tersenyum mendengar sahabatnya yang ngedumel dan tidak bisa menerima arus lalu lintas informasi yang dinilainya sama sekali tak memihak ke kampusnya.
*****
Cerita singkat dua sahabat tersebut hanya sebagian kecil dari fenomena umum yang kerap menimpa instisusi, seperti kampus dan lembaga pendidikan lainnya, instansi pemerintahan, korporasi (perusahaan), dan sejumlah institusi lain yang kerap bersinggungan dengan publik. Minimnya komunikasi “mesra” yang terjalin dengan media massa berakibat pada sepinya pemberitaan atas aktivitas atau bahkan capaian sukses institusi.
Untuk “kasus” yang menimpa kampus kedua sahabat yang merupakan lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) dan telah melahirkan ratusan ribu guru, mestinya kampus itu menjadi barometer dalam melahirkan isu-isu pendidikan, Tak heran jika kemudian ada yang menilai, dari aspek pencitraan dan branding, kampus itu masih lemah dan perlu dibenahi.
Pertanyaannya, benarkah lemahnya aspek pencitraan dan branding itu membuktikan rendahnya kualitas dalam mengelola isu-isu pendidikan atau informasi lainnya untuk konsumsi publik? Seberapa penting sebuah institusi atau korporasi dalam menjalin komunikasi dengan media massa dan apa dampaknya jika mengambil jarak dengan media massa?
Tiga Kemungkinan
Setidaknya ada tiga kemungkinan mengapa sebuah institusi relatif tertinggal dalam melahirkan isu-isu penting untuk konsumsi pemberitaan di media massa. Pertama, wartawan atau jajaran redaksi menilai, di institusi itu tidak banyak isu yang bisa diangkat sebagai informasi yang memiliki nilai berita (news value) tinggi atau layak muat.
Kedua, para petinggi/pengelola institusi atau korporasi itu sengaja “memproteksi diri” dan memilih sikap low profile (baca: pasif), sehingga tidak menganggap pemberitaan media massa sebagai sesuatu yang penting. Ketiga, itu terjadi karena ketidakpahaman pengelola institusi atau korporasi dalam menjalin hubungan baik dengan media massa. Ini yang kemudian –dalam aspek komunikasi– berakibat pada jauhnya jarak lembaga itu dengan media massa, sehingga arus beritanya pun relatif sepi.
Lalu di manakah umumnya kecenderungan posisi institusi atau korporasi di antara ketiga kemungkinan tersebut? Apa pun kemungkinan yang menjadi penyebab belum optimalnya pengelolaan isu atau informasi untuk media massa, satu hal yang mesti disadari adalah, bahwa keberadaan media massa itu sangat penting. Sekali lagi sangat penting sebagai support pengembangan kinerja.
Karena itu, jangan menganggap sepele keberadaan media massa. Meski untuk itu semua, perlu kemampuan teknis dalam mengenali dan bagaimana memperlakukan media massa, dalam hal ini para wartawan (jurnalis), termasuk perusahaan medianya. Di antara pengetahuan dan kemampuan teknis yang mesti dimiliki dalam menjalin hubungan dengan media massa, di antaranya:
(1) Media massa bisa berperan sebagai sarana promosi atau support atas pengelolaan institusi atau perusahaan, baik terkait produk baranag dan atau jasa yang dikelola;
(2) Media massa bisa berperan sebagai mitra kerja dalam memengaruhi opini publik terkait kebijakan atau program perusahaan/institusi, termasuk kerja sama pekerjaan yang memungkinkan;
(3) Media massa bisa menjadi sarana efektif untuk penguatan pencitraan korporasi (corporate image) atau branding untuk mendukung pengembangan kinerja perusahaan atau institusi.
(4) Media juga bisa mengganggu, merusak, menyerang, atau bahkan menjatuhkan reputasi perusahaan/institusi dan pengelolalanya.
Seperti pisau bermata dua, secara sederhana peran media massa bisa positif atau negatif, bergantung bagaimana kebijakan pengelola dan bagaimana memanfaatkannya. Media massa bisa dimanfaatkan untuk membangun dan mengembangkan kinerja perusahaan/institusi. Sebaliknya, keberadaannya juga bisa mengganggu atau bahkan merusak kinerja dan reputasi institusi dan personel pengelolanya.
Di sinilah peran public relations (PR), sebagai sub-unit atau elemen yang biasanya melekat pada sebuah perusahaan atau institusi menjadi amat penting. Banyak perusahaan atau institusi yang masih memosisikan public relations atau yang juga dikenal dengan istilah hubungan masyarakat (Humas) ini sebagai elemen pinggiran atau sekadar pelengkap. Padahal, korporasi atau institusi mestinya makin menyadari, bahwa fungsi public relations itu strategis, tidak hanya untuk mengomunikasikan pesan manajemen, tetapi sekaligus bisa menjaga reputasi perusahaan atau institusi.
Dalam kondisi tertentu, Humas juga bisa melakukan deteksi dini dalam menjalankan fungsi “intelejennya” untuk mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi. Karena itu, dalam aksinya Humas mesti mampu melakukan tindakan antisipatif, ketimbang reaktif. Dengan demikian, selain kemampuan teknis terkait komunikasi media, seorang Humas dituntut memiliki daya penciuman yang tajam terhadap berbagai permasalahan terkait perusahaan atau institusinya dan kemampuan lobi yang hebat dalam menghadapi relasi, khususnya awak media, serta stake holders lainnya..
Apa itu sebenarnya public relations? William F. Arens (1999:310), dalam Contemporary Advertising menyebutkan, public relations adalah fungsi manajemen yang memfokuskan diri pada membangun/mengembangkan relasi serta komunikasi yang dilakukan individu maupun organisasi terhadap publik guna menciptakan hubungan saling menguntungkan.
Adapun publik yang menjadi sasaran pengembangan relasi serta komunikasi yang dimaksud Arens terdiri atas tujuh kelompok, termasuk di dalamnya media massa. Ketujuh kelompok dimaksud adalah Employees, Stockholders, Communities, Media, Government, Investment Community, dan Customers. Tulisan ini lebih fokus pada upaya, bagaimana menjalankan manajemen relasi dan komunikasi dengan media massa, sehingga tercipta pencitraan yang positif untuk mengembangkan kinerja yang tidak saja dikenal dalam skala lokal dan nasional, tetapi sekaligus secara global alias mendunia.
Memang, tidak semua media massa harus dijadikan mitra dengan kadar perlakuan yang sama. Karena itu, elemen yang bertanggung jawab menjalankan komunikasi dengan media (biasanya Humas atau corporate communication) massa mesti mampu mengelompokkannya sesuai dengan segmen pasar atau target yang diharapkan.
Media massa mana yang layak dijadikan mitra strategis dalam mengomunikasikan agenda informasi, program, atau kebijakan perusahaan atau institusi, juga bergantung pada target yang diinginkan. Di antara yang bisa dijadikan pertimbangan adalah terkait untuk kepentingan pencitraan, promosi, mencegah pemberitaan yang merugikan, atau untuk sekadar menjalin hubungan baik (relationship).
Terlepas mana media yang akan menjadi pilihan utama dalam menjalin relasi, satu hal yang harus dihindari adalah, menjauhi atau menghindar dari media massa (baca:wartawan). Tetaplah menjalin komunikasi dengan baik dan akomodatif terhadap semua wartawan, meski dalam agenda kerja tetap ada pemilahan peran.
Ketika komunikasi dengan awak media telah terjalin secara harmonis, tahap berikutnya adalah memaksimalkan peran sumber daya manusia (SDM) untuk mengisi panggung literasi yang telah terbuka lebar pada rubrikasi yang ada di media massa, baik untuk pemberitaan atau penguatan positioning sebagai penulis, melalui aliran naskah opini atau artikel.
Untuk kepentingan pemberitaan, tugas ini bisa dijalankan secara rutin oleh bagian Humas dengan aktif merancang isu atau informasi yang menguntungkan bagi pengembangan kinerja perusahaan atau institusi, kemudian memproduksi rilis berita (news release). Selain menjadikan media massa (profesional) sebagai mitra komunikasi, media-media internal hendaknya dikembangkan, baik media cetak maupun daring (online).
Jika peran relasi media yang ditandai oleh bagusnya kualitas komunikasi, lalu diperkuat dengan tersedianya SDM yang andal dan aktif mengisi panggung literasi sudah digarap, dalam waktu tidak terlalu lama perusahaan atau institusi, termasuk kampus, pasti menuai hasilnya berupa pengakuan keberadaannya oleh publik dan memiliki daya saing (kompetitif), baik dalam skala lokal, nasional, maupun global.
