Oleh Ali Mursyid Azisi, MAg*)
Gerakan terorisme selalu mengalami perkembangan di setiap waktu. Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai tujuan besarnya, yaitu melawan mereka yang tidak sependapat, sekalipun harus menerobos batas kemanusiaan, yaitu pertumpahan darah.
Terlalu banyak kasus untuk diceritakan, mulai dari aksi internasional yang booming tahun 2000-an, pengeboman gedung WTC Amerika, beringasnya kelompok ISIS, hingga aksi bom rumah-rumah ibadah di Indonesia menjadi realitas yang menjadi track record buruk. Tentu demikian merugikan berbagai pihak, apalagi hingga hilangnya nyawa.
Karakter yang melekat pada kelompok teroris di antaranya: 1) Menyerang siapa pun tanpa pandang identitas; 2) Melegalkan membunuh atas perintah Tuhan; 3) Mengafirkan orang yang tidak sepemahaman; 4) Mengorupsi teks-teks suci/menafsirkan serampangan teks-teks suci tentang jihad, perang, dan membunuh. Di Indonesia sendiri, organisasi teroris terlarang yang masih aktif adalah Mujahidin Indonesia Timur, Jamaah Ansharud Dulah, Jamaah Islamiyah, Negara Islam Indonesia, Mejelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Ansharut Khilafah, dan Jamaah Ansharut Tauhid.
Islam menurut M. Hasyim Kamali dalam bukunya The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasathiyyah (2015), pada hakikatnya damai, penuh kasih sayang (rahmah), tidak melegalkan kekerasan, mengakui pluralitas sosial, memiliki nilai kemanusiaan (humanity). Istilah populernya saat ini dikenal moderasi beragama (religious moderation) atau Islam wasathiyah.
Maka dari itu, kajian ini berupaya memberikan kontribusi teoritis dalam mendefinisikan puncak kefatalan yang disebut kebrutalan beragama. Kata ‘brutal’ artinya: kasar, kejam dan galak. Jika redaksi ini diadopsi dalam ranah socio-religious yang tindakannya mengarah pada kekerasan, kekejaman, dan galak, maka cocok disebut dengan brutal religiousity (pola keberagamaan yang brutal).
Unsur-unsur kebrutalan beragama memang beririsan, sedikit mirip dengan definisi radikalisme, bahkan konservatisme beragama. Namun, pembeda dalam brutal religiousity di sini adalah penekanannya pada tingkat kefatalan beragama dan bermuara pada kekerasan, hingga pembunuhan. Mereka gagal memahami Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Gus Dur pernah mengatakan, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”, “memanusiakan manusia, berarti memuliakan penciptanya, dan sebaliknya”.
Gus Dur dalam bukunya Islamku, Islam And, Islam Kita (2011) menolak kelompok-kelompok berideologi ekstrem masuk ke Indonesia, layaknya sebangsa konservatif, radikalis dan puritanis dan bahkan teroris yang melegalkan kekerasan atas nama agama. Ketika sudah sampai pada titik melakukan kekerasan/pembunuhan/genosida/bom, Gus Dur menganggap hal ini sudah tidak mau dikompromi. Gus Dur menganggap, Indonesia adalah negeri moderat yang dibentuk dari kultur lokal dalam menjalankan aktivitas keagaman.
Jika mengacu pada aspek sosiologis, fungsi agama menurut Thomas F. O’Dea dalam bukunya The Sociology of Religion, menuliskan terdapat enam komponen: 1) Sebagai pendewasaan agama; 2) Mengoreksi fungsi yang telah ada; 3) Penguat norma dan nilai yang sudah tertanam; 4) Upacara adat & sarana ibadah (merupakan penghubung transendental); 5) Memberikan identitas diri; 6) Perekonsiliasi, pelipur lara dan pendukung manusia.
Sedangkan Hendropuspito melayangkan gagasannya bahwa fungsi agama salah satunya yaitu fungsi edukatif, penyelamatan, dan memupuk perdamaian. Dalam Al-Qur’an terkhusus dalam Surah Al-Maidah: 77, menyebutkan secara spesifik bahwa berlebihan dalam beragama (ghuluw) dilarang.
Wahbah Az-Zuhaili dalam karangannya Tafsir Al-Munir menjelaskan, bahwa ayat ini merupakan perintah Allah SWT terhadap Nabi-Nya, termasuk ahlul kitab (Yahudi & Nasrani). Allah SWT melarang melampaui batas dalam mengikuti kebenaran (agama), dan melarang terlalu berlebihan untuk mengagungkan al-Uzair dan Isa. Sedangkan dalam kontekstualisasinya pada hukum dan fiqih kehidupan, bahwa ayat tersebut menjadi peringatan Allah SWT terhadap ahlul kitab (manusia) supaya wajib tetap pada jalan yang lurus. Ayat tersebut memuat larangan untuk fanatik, taqlid buta dan mengikuti nafsu.
Redaksi ‘laa taghluw‘ oleh Zuhaili diartikan “janganlah melampaui batas”, sedangkan kata ‘ghuluw‘ artinya: (gegabah, ceroboh, melampaui batas dan berlebihan). Kemudian disusul redaksi ‘fii diinikum ghaira al-haqqi‘ (dalam agama kalian secara batil dan tidak benar). Dalam konteks gerakan teroris, maka “brutal religiousity” yang masuk kategori melampaui batas dan dilarang keras dalam agama.
Istilah brutal religiousity belum digunakan oleh akademisi atau peneliti, baik di level nasional maupun internasional untuk mendefinisikan pola beragama yang keras. Pada umumnya, akademisi global maupun regional dalam mendefinisikan kekerasan, kekakuan, kebengisan, kebencian dan kejahatan.
Brutal religiousity jika dikaji secara sosiologi, maka berbeda pula hasilnya dengan kebrutalan dalam perpolitikan atau perusahaan (ekonomi). Oleh karenanya, dalam potret sosiologi pertanyaan mendasar hanya berkutat pada “whatiit is aboutia society that increases or decreases the likelihood of violence” atau dalam konteks kajian ini kata ‘violance‘ dikenal sebagai ‘brutal‘. Kebrutalan ataupun kekerasan sampai dikatakan problematik sosial (social problem) apabila: “brutal or violence must also arouse widespread subjective concern”.
Aksi terorisme lekat kaitannya dengan kejahatan. Kejahatan oleh Paul B. Horton dikatakan sebagai kondisi alamiah masyarakat (crimeiis a naturalipart ofisociety). Ia mengatakan demikian karena dalam lingkup sosial, kejahatan hampir ditemukan di berbagai bentuk serta lapisan masyarakat. Sebagaimana jika ditilik dari kacamata ideologi, yaitu agama mau tidak mau akan dihadapkan pernyataan sebagai identitas seseorang.
Sebaliknya, bahwa dari ideologi tersebut akan berdampak pada pola keberagamaannya. Dari prinsip ideologi ini, seseorang memantapkan diri dan meyakini suatu kebenaran apa yang ia lakukan merupakan hal yang benar melalui teks-teks suci. Dampaknya adalah menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran, bahkan muncul tuduhan-tuduhan terhadap agama atau kepercayaan tertentu.
Maka dari itu, aksi terorisme (brutal religiousity) adalah tindakan yang bertolak belakang dengan hakikat agama. Islam pada dasarnya memiliki 9 nilai sikap seimbang dalam beragama, yaitu: 1. Rahamutiyah (kasih sayang) yang diberikan Allah terhadap hamba-Nya. Rahamutiyah meniscayakan aliran dan curahan kasih sayang tanpa batasan, tanpa deskriminasi dan tanpa jeda, 2. Insaniyah (memiliki nilai-nilai kemanusiaan), 3. ‘Adliyyah (bersikap adil), 4. Mubadalah (kesalingan atau kesetaraan), 5. Maslahah (kemaslahatan), 6. Mu’ahadah Wathaniyah (menjaga ikatan bangsa), 7. Dusturiyah (menaati aturan yang sudah disepakati, contoh hukum yang berlaku di suatu negara), 8. Tasamuh (toleransi), 9. ‘Urfiyah (tidak menolak adat/tradisi, bahkan bisa menjadikannya sebagai komponen sumber hukum).
Oleh karenanya, gerakan terorisme patut untuk diwaspadai bersama dan pekerjaan rumah bersama untuk menyelematkan generasi muslim dan agama apa pun di masa mendatang supaya tidak terjaring ideologi dan gerakan terorisme. {*}
*) Ali Mursyid Azisi, MAg, Peneliti di Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation, Researcher di Nursyam Centre Indonesia & Pengurus Asosiasi Penulis-Peneliti Islam Nusantara Se-Indonesia (ASPIRASI).
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.