Catatan Pinggiran SUHARTOKO
Menyelami proses kreatif Budi Darma, seperti berenang di lautan tak bertepi. Menapaktilasi jejak Budi Darma, bak menjelajah hutan rimba dan mendaki gunung tanpa mengetahui di mana puncaknya. Menerbangi pemikiran Budi Darma, tak ubahnya menembus angkasa tanpa titik perhentian. Pun pula, menelusuri kepakaran Budi Darma, seperti tenggelam dalam segarnya mata air yang tak pernah kerontang meski di musim kemarau sekalipun.
Ya, membincang sang maestro sastra Budi Darma memang tak pernah khawatir kehabisan bahan. Sebab, luberan khazanah keilmuan yang dinamis dan tak jarang terasa absurd, terus mengalir menembus kokohnya dinding tanpa batas apa pun. Dunia sastra di negeri ini menganggap guru besar emeratus Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini sebagai pelopor dan peletak fondasi prosa modern yang kerap menjungkirbalikkan teori-toeri sebelumnya yang terlanjur “diimani”. Ini terefleksi dalam karya-karyanya, baik novel, cerpen, juga pemikiran yang terbungkus dalam esai-esainya.
Maka, ketika beredar kabar duka berpulangnya Prof. Budi Darma, M.A., Ph.D., Sabtu, 21 Agustus 2021 lalu, para pegiat dan pengembang dari berbagai elemen dan entitas sastra, seakan syok dibuatnya. Mereka sepertinya tak siap menerima kenyataan itu, apalagi mewarisi kekayaan sastra yang ditinggalkan pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937. Jagat sastra benar-benar berduka!
Upaya mengidentifikasi sekaligus menggali kekayaan sastra yang ditinggalkan Budi Darma mulai dilakukan. Diinisiasi oleh Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unesa (dulu IKIP Surabaya), simposium nasional pun digelar, Selasa, 14 September 2021, tepat 24 hari sepeninggal pria bersahaja dan rendah hati ini.
Tak tanggung-tanggung, 16 pakar yang dinilai memiliki kapasitas mumpuni, dihadirkan dalam simposium nasional yang digelar secara online itu. Di antaranya ada Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn, M.Hum, Prof. Dr. Suyatno, M.Pd, Dr. Tengsoe Tjahjono, Triyanto Tiwikromo, Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, Eka Budianta, juga penulis buku produktif Much. Khoiri.
Tema yang diangkat: Menuju Teori Sastra “Dunia Jungkir Balik Budi Darma”. Ini seperti obsesi untuk mempertegas identitas sastra yang diwariskan Budi Darma sebagai salah satu genre yang perlu dikembangkan, baik dalam tataran keilmuan maupun praksis.
Upaya Serius
Keseriusan membedah dan mengidentifikasi kejungkirbalikan Budi Darma dalam bersastra sangat terlihat dalam simposium ini. Bahkan, seperti diungkap Rektor Unesa, Prof. Dr. Nurhasan, M.Kes, pascasimposium, akan ditindaklanjuti dalam bentuk konferensi internasional. Ini jelas ada obsesi ingin mengangkat teori sastra “jungkir balik” itu tidak hanya dalam skala nasional, tetapi global atau internasional.
Karena itu ia berharap, para pakar dan pemangku kepentingan (stake holder) turun gunung untuk merealisasikan niat mulia ini. Dan, mempertimbangkan kiprah dan peran, serta kepakaran Budi Darma (melalui sejumlah karya fenomenalnya), bukanlah sesuatu yang mustahil untuk mewujudkannya.
“Mohon dukungan para narasumber, tahun depan akan kita selenggarakan, dan tahun ini mulai digagas serta diinformasikan agar pelaksanaannya nanti bisa lancar dan sukses. Saya percaya, kekayaan wawasan dari berbagai pihak dalam simposium ini dapat memperkaya cakrawala teori sastra Indonesia dan mengilhami sastra para generasi bangsa,” ujar Nurhasan sebelum membuka simposium.
Tentang warisan karya yang telah mendapat pengakuan dan mewarnai jagat kesastraan di negeri ini –bahkan dunia—tentu tak terbantahkan. Beberapa di antaranya, sebut saja Olenka, Orang-Orang Bloominton, Rafilus, Solilokui, Harmonium, Nyonya Talis, juga Kritikus Adinan. Karya-karya besar itu pula yang mengantarkan Budi Darma mendapat pengakuan dunia yang direpresentasikan lewat beberapa penghargaan yang dikantonginya. Di antaranya adalah Olenka yang dinobatkan sebagai novel terbaik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1983, dan Hadiah Sastra dari Balai Pustaka (1984).
Juga penghargaan dari Southeast ASEAN Award dari Pemerintah Thailand atas karyanya Orang-orang Bloominton (1984). Pengharaan lainnya berupa Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1993) dan Freedom Institut Award (Ahmad Bakrie Award, 2005). Selain itu, ia juga pernah mendapat penghargaan dari koran ternama Kompas, termasuk beberapa cerita pendek (cerpen) terpilih sebagai cerpen-cerpen terbaik versi media tersebut.
Seperti apa dunia jungkir balik dalam konteks proses kreatif Budi Darma, seperti digambarkan Dr. Sutejo (sastra-indonesia.com, 4/1/2009), sesungguhnya merupakan dunia karakter yang mengalir pada para tokohnya. Hal ini sebagaimana nampak gamblang dalam Olenka dan Rafilus yang memperkuat dunia jungkir balik itu. Dunia absurd diakui kerap tak terdeteksi oleh logika. Karena itu, logika pun ditabrak dan filsafat diusung. Sebuah penjungkirbalikan yang sah-sah saja dalam karya sastra.
Terkait dengan penjungkirbalikan itu, maka hal yang menarik adalah bagaimana pentingnya tema dalam penulisan karya. Ia memandang tema seperti sumur yang dalam, tanpa dasar. Sementara muara cerita tempat mengalirnya karakter melalui tokoh yang lahir melalui tema itu. Dengan demikian, tema seperti rumah pertama yang dirancang dan dibangun, sementara tokoh dan karakter, juga alur dan peristiwanya, lebih merupakan penyangga cerita. Hal lain yang mengiringi proses kreatif Budi Darma adalah nalar dan bahasa. Keberadaannya saling menguatkan dalam bingkai karya yang dilahirkan.
Dalam konteks berbahasa, bagi Budi Darma, sebagaimana diungkap Prof. Dr. Fabiola D. Kurnia, pertama-tama syarat penulis ada dua hal, yakni adanya ketajaman hati dan kecerdasan berpikir. Dua hal itu menjadi perpaduan yang harmonis untuk menghasilkan karya. Tak heran, jargon Budi Darma yang sering disampaikan adalah menulis itu berpikir, yang di dalamnya mencakup berpikir sadar dan bawah sadar.
Selanjutnya dipaparkan, ada kekuatan dunia dualistik yang menyatu dalam konsep diri Budi Darma. Keduanya adalah dunia ‘tatanan’ dan dunia ‘jungkir balik’. Menyatunya dua kekuatan itulah yang menandai kemapanan Budi Darma sebagai penyemat dan pendongeng. Sebagai penyemat atau peniti sastra, karyanya bisa amat ilmiah, runtun dalam menyemati dan meniti untuk dapat mencermati lika-liku tatanan karya sastra. Di sisi lain, sebagai pendongeng atau seniman sastra, karyanya amat populis-humoris dan sedemikian eiditik tuntunan art tulisannya dalam memukau para penggemarnya.
Konsep jungkir balik Budi Darma dalam bersastra kerap ditunjukkan lewat fenomena karut-marut kehidupan yang ia temui, lalu disikapinya dengan kearifan penuh tawa. Ya, tawa yang tertahan, tawa yang tercekat. Parodi yang disuguhkan Budi Darma pada akhirnya cenderung mengedepankan laugh of laugh.
Dunia jungkir balik dalam sastra ala Budi Darma saat ini memang masih layak didiskusikan, bahkan diperdebatkan, sekalipun, untuk melahirkan teori sastra baru yang menjadi pembeda dari teori-teori sebelumnya. Namun, sebagai embrio untuk melahirkan teori baru, berhimpunnya para pakar dalam simposium nasional untuk membidani lahirnya teori sastra “Dunia Jungkir Balik Budi Darma” merupakan upaya serius yang bukan mustahil untuk mewujudkannya. (*)