Oleh Kemil Wachidah
Bulan Ramadhan 1444 H telah tiba, dan orang-orang telah bersentuhan dengan spiritualitas mereka. Selama Ramadhan, umat Islam berpuasa, dan berdoa untuk menjadi lebih dekat dengan Allah SWT serta berkumpul dengan teman dan keluarga untuk merayakan dan menjadi lebih dekat bersama.
Selama 30 hari ke depan, umat Muslim yang dalam kondisi sehat melakukan puasa dengan tidak makan dan tidak minum dari fajar (Subuh) hingga Maghrib. Pelaku puasa mencoba memfokuskan energi pada spiritualitas mereka.
Berpuasa di bulan ramadahan mungkin mustahil bagi mereka yang tidak terbiasa. Tetapi, lebih menyenangkan bagi mereka yang tahu bahwa Ramadhan adalah tantangan mental sekaligus fisik dan akan memiliki kekuatan untuk melaksanakannya. Dan, itu hubungannya dengan sebuah keyakinan. Ramadhan bukan hanya bulan menemukan kedamaian dan iman kepada Allah SWT, tetapi juga menemukan kedamaian dengan diri sendiri.
Mindfulness berarti mempertahankan kesadaran momen demi momen dari pikiran, perasaan kita dan itu bagus untuk berlatih selama bulan suci Ramadhan. Apa yang terlintas dalam pikiran banyak orang ketika Ramadhan tiba, sangat terkait dengan apa yang juga dipraktikkan dalam terapi. Banyak Muslim melihat Ramadhan, sebagai waktu refleksi spiritual dan pribadi, waktu untuk penyembuhan dan pengampunan, untuk kasih sayang dan memberi, serta waktu untuk penerimaan.
Mindfulness Ramadhan juga mengalihkan fokus diri untuk mengelola perasaan dan emosi dalam mengatasi kehidupan sehari-hari dengan lebih baik melalui latihan-latihan spiritual sebagai bekal pembentukan pribadi yang lebih baik pascabulan Ramdhan. Salah satunya, latihan spiritual berupa halaqah dzikir membantu individu untuk lebih mampu menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dan spiritual.
Pada gilirannya, terbentuklah kecerdesan emosional. Fakta mengatakan, pada masa kini kegalauan hidup, kekeringan jiwa menjadi fenomena yang menjamur di mana-mana. Orientasi manusia saat ini yang lebih mengedepankan alam materi menjadikan manusia bak robot yang otaknya hanya terperas memikirkan duniawi.
Hati yang terlalu banyak mengonsumsi ingar-bingar dunia material produk peradaban modern akan membuatnya terlupa mendengarkan suara nuraninya sendiri. Akibatnya, orang terjerumus pada rasa cemas, ketakutan, kesepian. Bukan suatu yang mustahil jika timbul berbagai kecemasan, kegelisahan dan konflik batin yang timbul secara besar-besaran (Jawa Pos, 2002).
Maka dari itu, perlu adanya riyadhah atau latihan untuk melatih diri agar memiliki kecerdasan emosional yang baik melalui halaqah zikir. Sebagaimana kegiatan halaqah zikir di majelis Sirojul Munir Majalengka Jawa Barat.
Majelis Sirojul Munir Majalengka merupakan majelis di bawah bimbingan Thariqah Azmiyah. Thariqah tersebut berpusat di Alexandria, Mesir dengan Murobi Imam Mujaddid Muhammad Madhi Abu Al Azaim.
Kegiatan selama Ramadhan di Majelis Sirojul Munir menumbuhkan dan menamkan nilai-nilai spiritual melalui jamaah Tarawih, dan dilanjutkan dengan halaqah zikir Thariqah Azmiyah.
Syekh Imanuddin Najib selaku pimpinan majelis tersebut menyampaikan, seluruh jamaah yang hadir merupakan orang-orang yang memang Allah gerakkan untuk dapat mengikuti majelis taklim tersebut. Jika seseorang belum mendapatkan ridha dari Allah, maka ia tidak akan dapat istiqomah mengikuti majelis zikir tersebut.
Beberapa ajaran lainnya yang sangat mendukung bagi para jamah dalam menyucikan jiwa. Ajarannya berawal dari keikhlasan atau niat yang tulus untuk mengikuti majelis tersebut.
Berzikir adalah proses pelistrikan (electric process), yakni satu energi lahir yang bergerak layaknya listrik dalam pola sirkuit (memutar) di dalam otak. Dia akan mengontrol coping sistem saraf, yakni menormalkan kondisi diri dan dalam diri agar stabil termasuk membina berdirinya kekuatan berpikir positif (homeostasis).
Pada saat berzikir sebenarnya zakir (orang yang berzikir) sedang terbawa ke alam kepekaan pusat rasa-positif di sebelah kiri lobus-lobus prefrontal secara aktif. Di sini ruang potensi akan membuka setelah zikir khusyuk itu terjadi dengan terbitnya wujud-wujud imateri, misal rasa bersama alam kewibawaan (kemuliaan rasa) yang dirasakan zakir (Goleman, Daniel. 2009).
Jelaslah, bahwa secara fitrah medan ujian dan cara penyelesaian bagi manusia sudah terprogram agung di dalamnya. Maka wajar, jika potensi baik dan buruk, pun sudah ada di dalamnya, tinggal bagaimana manusia mengakses keluarnya.
Pada sisi lain, otak sebenarnya dapat dibuat stres oleh pribadi yang belum mengenal dirinya sehingga lahir penzaliman diri. lewat pembuatan ragam gambaran suram di otak. Stres dapat dijadikan stimulus bagi para zakir bukan kesengsaraan.
Inilah yang menjadikan zakir sebenarnya dicerdaskan oleh Allah tanpa zakir sadari rutenya. Orang yang tidak berzikir memandang zikir sebagai pukulan berat. Sebaliknya, para pezikir memandang sebagai kekuatan untuk melatih kesabaran (positive mind).
Bahkan cinta yang akan menjadi warna pezikir akan mengambil kedudukan dalam membuang sampah-sampah ego (keburukan-keburukan) dengan memandang realitas penuh dengan kasih dari pancaran kasih-Nya yang sudah diterima dan dirasakan dalam lautan kalbunya. {*}
*) Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.