Ketika gema takbir hari raya Idul Adha dari Masjid Al Hijrah Perumahah Bluru Permai Sidoarjo berkumandang, saya mendekati seseorang yang sedang berada di antara deretan hewan kurban. Uluk salam yang kuucap, dijawabnya dengan suara yang berat. “Waalaikum salam,” jawab Pak Djono yang saat itu bertugas menjaga sejumlah sapi dan kambing, siang dan malam.
Mengapa suaranya terdengar serak dan terkesan badannya kurang vit?“Sudah seminggu menjaga ini,” jawabnya singkat sambil merapatkan jaketnya. Lalu dia pun bercerita, tahun 2022 ini merupakan tahun yang harus dijalani dengan lebih berat. Tahun-tahun sebelumnya, paling-paling dirinya berjaga sapi dan kambing cuma satu atau dua malam saja.
Semua tahu kerumitan ini gara-gara menjangkitkan wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Problem pertama adalah harga hewan yang naik fluktuatif, ini sempat membuat panitia kelimpungan mengelola uang patungan yang sudah terkumpul.
Selain itu untuk mendapatkan binatang kurban bukan perkara gampang. Harus melewati proses birokrasi yang ketat, menggunakan surat pengantar dari pemerintah daerah pengirim sapi dan dari wilayah penerima. Harus dilengkapi surat sehat dari dokter hewan yang berwenang.
Walhasil ternak kurban harus segera dibeli dan diangkut ke lokasi masjid setempat, meski Idul Adha masih kurang sepekan. Konsekuensinya harus ada relawan yang mau menjaga harta titipan jamaah itu, nonstop 24 jam, termasuk memberi makanannya. Repotnya, di perumahan tidak gampang mencari tenaga yang mau menjadi penunggu, karena alasan pekerjaan dan kesibukan. Lalu datang Pak Djono yang ringan tangan, sanggup menangani tugas melekan itu.
Saat menjaga kadang Pak Djono ditemani cucu-cucunya yang merasa senang saja ikut begadang. Kadang istrinya nyambangi menemani atau aplosan menggantikan jaga sekitar beberapa jam. Lega lantaran Minggu ini (10/7) menjadi hari terakhir mengemban tugas.
Tapi benarkah sudah ringan bebannya. Oh ternyata tidak. Hari ini justru puncak kulminasi dari kegiatan prosesi Idul Kurban. Selepas takhiyat akhir dan salam tadi, dirinya sudah buru-buru balik ke tenda untuk berjaga, ketika jamaah yang lain masih khusuk mendengarkan khotbah tentang fadilah dan mulianya berkurban.
Pria asal Nganjuk ini turut sibuk mengerjakan apa pun yang bisa dicandak. Membantu memegang sapi yang hendak disembelih, turut mengangkut daging, hingga ngrumat usus dan jerohan. Menyaksikan semua itu saya jadi membatin, “Sampeyan juga sudah berkurban, Pak. Meskipun nama Sampeyan tidak termasuk yang disiarkan di Toa masjid, sesaat menjelang salat Ied dimulai tadi.”
Ketika banyak orang mengangguk-angguk menangkap pesan moral di balik pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, Pak Djono telah melaksanakan jauh-jauh hari, mungkin tanpa perlu menyadarinya. Tatkala orang lain ribut menyiapkan bumbu sate dan gule, dirinya masih fokus bergerak, membantu agar proses penyembelihan kurban berlangsung lancar.
Sungguh, saya respek kepadanya. Saya mendapat pelajaran berkorban justru dari tindakannya yang konkret. (Adriono)