SURABAYA (radarjatim.id) – Sejak lahir manusia sebenarnya sudah dalam kondisi fitrah, sudah beriman dan bertauhid kepada Allah. Bukankah pada kondisi awal penciptaan manusia, Tuhan sudah bertanya, sebagaimana tersurat pada Al-Quran surah al-Ahraf 172? Pada saat itu setiap calon manusia, siapa pun, sudah baiat atau ikrar meng-iya-kan ketika Allah SWT bertanya, “Bukankah aku Rabb-mu?”
“Pengertian Rabb itu bukan sekadar Tuhan, tetapi lebih luas, ya termasuk Sang Maha Pengatur, Maha Mendidik, Maha Memiliki, Yang Maha Menata. Pokoknya saya belum menemukan terjemahan Rabb dalam satu ungkapan dalam bahasa Indonesia,” kata Prof Dr KH M. Roem Rowi, MA, dalam acara Kajian Ahad (27/9/2020) malam pukul 19.30 secara daring dengan tema Melahirkan Generasi Qur’ani.
Menurut Prof Roem, tugas manusia yang tidak boleh dilupakan adalah mempertahankan ikrar tersebut sampai kapan pun. Caranya adalah dengan menjalani perintah sesuai perintah Allah dan menaati larangan sesuai larangan Allah. Dari mana kita tahu perintah dan larangan? Tidak lain adalah dari Al-Quran. Dari kitab suci itu kita mengenal halal dan haram, mengenal kebaikan dan kebatilan.
Oleh karena itu umat Islam diperintahkan membaca Al-Quran. Membaca itu bisa dimaknai sebagai membunyikan kata-kata yang terulis di dalamnya. Tetapi diingatkan, seyogyanya jangan puas pada sekadar membaca.
“Harus ditingkatkan membaca dalam pengertian menghimpun makna. Dari Al-Quran, kita akan mendapat informasi. Selanjutkan kita harus merespons informasi itu menjadi tindakan nyata. Tidak berhenti pada merespons tetapi juga mengajarkannya kepada orang lain,” katanya.
Apalagi perintah pertama yang turun adalah Iqra’, “Bacalah. Bacalah atas nama Rabbmu.” dalam ayat itu tidak tertulis “bismillah” tetapi “bismirabbi”. Oleh karena itu Prof. Roem kurang sependapat jika ayat tersebut diartikan sebagai atas nama Tuhan, yang lebih tepat adalah atas nama Rabb. Sebagaimana diulas tadi, pengertian Rabb lebih luas dari pengertian Tuhan.
“Maka perintah membaca dalam surah al-Alaq itu lebih mengarah kepada konteks Rubbubiyah. Misalnya kalau kita membaca kata pohon, kita perlu melihat dan mempelajari proses fotosintesisnya, sampai bagaimana pohon bisa menghasilkan oksigen,” katanya.
Ditambahkan, manusia terbuat dari jasad dan ruh. Untuk dapat bertahan hidup, jasad manusia perlu makan minum nutrisi empat sehat lima sempurna. Namun sebenarnya manusia menbutuhkan lebih dari itu. Ruh manusia juga butuh nutrisi. Pasokan nutrisi yang sempurna adalah Al-Qur’an.
“Bahkan dalam surah al-Fussilat 52 disebutkan bahwa al-Qur’an itu wahyu, al-Qur’an itu juga disebut sebagai ruh kedua, yang cocok untuk digunakan memberi makan ruh pertama yang ada dalam diri manusia,” katanya. Ruh kedua bakal memberikan nilai plus kepada jasad.
Isi pikiran dan nafsu muslim dapat dikendalikan karena sudah mengenal halal dan haram. “Yang menarik, jika nutrisi untuk jasad ada dosisnya, tidak boleh berlebihan takarannya, maka nutrisi untuk ruh tidak demikian. Semakin banyak semakin baik,” katanya. (adriono/Red)