Oleh HAMIM FARHAN
Gresik tak lama lagi genap berusia 536 tahun, dan 49 tahun bagi pemerintahan kabupatennya. Itu bilangan yang cukup dewasa bagi sebuah proses ikhiyar membangun kota dan pemerintahan dengan segala daya upaya, dengan segala prestasi-prestisnya, dan (tentunya) dengan segala kelebihan sekaligus kekurangannya.
Memang untuk mewujudkan kota dan pemerintahan Gresik yang jauh lebih ideal, memiliki karakter, memiliki identitas khas, bukan hal remeh dan gampang. Bukan sambil lesehan atau cangkruk nyruput kopi sambil menikmati sego krawu, lalu tiba-tiba wujud Gresik yang besar seperti saat ini. Tapi semuanya melalui proses panjang pada keseriusan para pemimpin, para ulama, para saudagar, tokoh masyarakat, pemuda, pengusaha serta semua elemen warga masyarakatnya yang tanggap dan tangguh, serta tetap istiqamah demi terwujudnya Gresik seperti sekarang ini, sebagai kota yang menyandang predikat kota santri, sekaligus sebagai kota industri.
Karenanya, sekarang bagaimana ada terobosan untuk tetap menindaklanjuti peninggalan dan warisan para pendahulu, sebagai amanat sosial pembangunan agar tetap lestari dan memiliki nilai tambah. Maju kotanya, makmur rakyatnya, serta tidak kehilangan identitasnya, tidak kehilangan jati budaya dan nilai releginya, tapi tetap terus membangun.
Menostalgiai Gresik dari sejarah, menempatkan kota ini menyimpan beberapa keistimewaan. Gresik sebagai tempat awal datangnya agama Islam di Jawa dan sebagai pusat perdagangan internasional menempatkan kota ini pernah mengukir sejarah daerah yang banyak dikunjungi oleh para pendatang dan pelancong dari berbagai penjuru dunia.
Meminjam istilah mas Dukut, dalam Grisse Tempoe Doeloe, Gresik pernah dicitrakan sebagai Kota Tropis Indah di Dunia. Ma Huan, dalam karyanya Ying ya Sheng Lan (Pemandangan Indah di Seberang Samudra) dan Fei Xin dalam karyanya Xing Cha Sheng Lan (Menikmati Pemandangan Indah dengan Rakit sakti) pernah menceritakan gambaran keindahan Gresik.
Begitu juga Antonio de Abreu, seorang Portugis pertama yang melakukan perlawatan ke Gresik. Perlawatan itu sengaja dilakukan karena setelah mendengar dari para saudagar Gujarat, bahwa di pesisir Lavua Insula (Pulau Jawa) terdapat Kota Bandar yang indah, yaitu Gresik. Bahkan saking banyaknya orang asing yang pernah datang di Gresik, mengakibatkan aneka ragam sebutan untuk Gresik.
Nama Gresik ada yang menyebut berasal dari kata Qorrosyaik (bahasa Arab) atau Giri Gesik (jawa), T’se-T’sen atau Kersih (China), Grissee (Belanda), Agazi diucapkan Agacime (Portugis) dan masih banyak lagi yang menggambarkan Gresik sebagai kota bersejarah yang menyimpan banyak potensi peninggalan budaya yang perlu diungkap dan dikembangkan, terutama perlunya mengembangkan pariwisata berbasis budaya lokal dan religi, sebagai upaya meningkatan industri pariwisata daerah.
Melalui program Visit Indonesia Year 2008, Kota Gresik bagaimana dapat memanfaatkan peluang untuk mengukuhkan jati diri sebagai kota wisata, khususnya budaya -wisata religi. Keragaman budaya lokal – budaya religi sebagai salah satu daya tarik kota sebagai upaya peningkatan industri pariwisata daerah sudah saatnya dipropmosikan secara nasional, syukur kalau bisa internasional.
Ada beberapa pertimbangan dan alasan yang melatarbelakangi mengapa tulisan sederhana ini sengaja diangkat. Adapun pertimbangan-pertimbangan itu di antaranya:
Pertama, Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang menyimpan banyak tinggalan budaya. Dengan penduduk yang tersebar di sekitar 17 ribu pulau, Indonesia memperlihatkan kemajemukan masyarakat, bukan hanya secara horizontal tetapi juga secara vertikal. Kemajemukan Indonesia tergambar dari jumlah 470 suku bangsa, 19 daerah hukum adat, dan tidak kurang dari 300 bahasa daerah yang digunakan kelompok-kelompok masyarakatnya serta peninggalan budaya masa lalu seperti peninggalan arkeologi. Inilah aset Indonesia yang jika dikelola dengan baik akan mampu menguatkan jati diri bangsa, dimanfatkan untuk kepentingan pembangunan nasional, seperti pariwisata, khususon wabil khusus Gresik.
Kedua, budaya lokal, budaya religi tetap merupakan unsur penting dalam konsep masyarakat yang sejahtera dan merupakan sesuatu yang diidamkan. Dengan demikian, bagaimana menyelenggarakan, memberikan kesempatan dan tempat untuk melestarikan, melindungi, melahirkan, menyalurkan dan menyebarkan budaya itu menjadi sangat penting. Hal ini sebagai tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk memakmurkan rakyat dan memajukan bangsa.
Ketiga, budaya lokal, termasuk budaya religi sedang mengalami kepunahan secara cepat dikarenakan lajunya perkembangan kemajuan pembangunan dan modernisasi atau oleh budaya global. Selain itu, juga budaya semacam ini masih dianggap sebelah mata oleh para kalangan elit perkotaan. Hal itu karena dianggap terlalu sederhana, ketinggalan zaman, atau erat kaitannya dengan kehidupan kelas bawah. Kalaupun sesekali dimunculkan hanya momen-momen tertentu saja sebagai seremonial dalam kegiatan formal pemerintahan
Keempat, budaya lokal banyak mengalami pengikisan, karena satu sisi kurang meminati, dan jenis keterampilan yang mendukung budaya tersebut pun dianggap sebagian besar kurang diperlukan dibanding dengan jenis ketrampilan yang mendukung budaya tinggi (high culture) yang secara institusional lebih banyak dikembangkan
Kelima, paradigma pembangunan itu sendiri di banyak negara kini lebih menekankan kepada pengembangan sektor jasa dan industri, termasuk di dalamnya adalah industri pariwisata. Karena dengan pengembangan ini diharapkan dapat menggantikan sektor migas yang selama ini masih dianggap menjadi primadona dalam penerimaan devisa negara.
Prospek industri pariwisata Indonesia diprediksikan WTO akan mengalami semakin memiliki peluang cemerlang. Bahkan, ia diprediksikan akan mengalami pertumbuhan hingga 4,2% per tahun. Selain itu, sektor industri pariwisata nasional memberikan kontribusi bagi program pembangunan. Hal ini dibuktikan, pada tahun 1999, sektor pariwisata menghasilkan devisa langsung sebesar US$ 4,7 juta, serta menyumbang 9,61% pada PDB dan mampu menyerap 8% angkatan kerja nasional (6,6 juta orang) pada tahun yang sama.
Keenam, pengembangan pariwisata Indonesia hendaknya tidak terlepas dari arah pengembangan kebudayaan nasional Indonesia. Dengan kata lain, dalam kebudayaan nasional itulah hendaknya terletak landasan bagi kebijakan pengembangan pariwisata (Meutia Hatta, 2007). Dan, Gresik memiliki potensi itu, baik kesenian, kuliner, situs, prasasti dan bangunan peninggalan sejarah yang cukup banyak, serta potensi alam (seperti pulau Bawean) serta potensi lainnya.
Ketuju, program pembangunan desa mandiri atau mengembangkan kampung tangguh khususnya pembangunan di bidang wisata desa. Karena masing-masing desa memiliki potensi yang khas, yang perlu menciptakan satu desa satu destinasi wisata unggulan dan ekonomi kreatif desa. (*)
Gresik, 23 Januari 2023
*) Penulis adalah sosiolog dan pemerhati kebijakan publik, serta akademisi, tinggal di Gresik.